Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Sejarah RT/RW di Indonesia, Benarkah Warisan Jepang?

RT/RW merupakan salah satu organisasi yang cukup tua di Indonesia, bahkan lebih tua dari usia kemerdekaan Republik Indonesia.

15 Oktober 2021 | 16.01 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Rukun Tetangga dan Rukun Warga atau disingkat RT/RW merupakan salah satu organisasi yang cukup tua di Indonesia, bahkan lebih tua dari usia kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarah RT/RW berawal dari bentukan pemerintahan kolonial Jepang yang bernama Tonarigumi dan Azazyookai, yang masing-masing berarti rukun tetangga dan rukun kampung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Organisasi bentukan Jepang ini dimaksudkan untuk memobilisasi dana dan daya penduduk demi kepentingan serta pemenuhan kebutuhan untuk memenangkan perang Asia Pasifik. Mengutip dari jurnal Eko Survianto yang dimuat dalam jurnal ilmu administrasi Vol 5, No 3 (2008), Quo Vadis RT RW, Tonarigumi diadopsi dari organisasi serupa di Jepang yang awalnya memang dirancang untuk kota-kota besar di sana pada 1938.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Melansir dari Kodansha Encyclopedia of Japan, dua tahun kemudian, tepatnya 11 September 1940, diberlakukan secara nasional sebagai neighborhood group. Nicole Niessen dalam tulisannya, Indonesian Municipalities Under Japanese Rules dalam Issues in Urban Development-Case Studies from Indonesia, mengungkapkan, aktivitas RT pada saat itu didasarkan pada semangat gotong royong sebagai dasar dari kegiatan RT dalam membangun solidaritas komunitas. Beberapa aktivitas RT yang masih berlanjut hingga dewasa ini di antaranya seperti kerja bakti membersihkan lingkungan, menjaga keamanan warga, mengurus kematian atau resepsi warga dan lainnya. 

Dalam jurnalnya, Eko menyebutkan bahwa Niessen menyatakan RT merupakan unit terendah dalam sistem pemerintahan pendudukan Jepang yang terdiri dari 10 hingga 20 unit rumah tangga. Seorang antropolog Amerika Clifford James Geertz dalam penelitiannya pada 1986 menemukan hal serupa di daerah yang disebut Geerzt sebagai Mojokuto pada masa pendudukan Jepang meskipun dilaporkan dalam jumlah unit rumah tangga yang berbeda. Mojokuto merupakan sebuah ‘nama samaran’ untuk sebuah kota kecil di Jawa Timur yang menjadi lokus penelitian Geerzt, diperkirakan kota kecil tersebut adalah Pare, Kediri.

P.J Suwarno dalam bukunya: Dari Azazyookai dan Tonarigumi ke Rukun Kampung dan Rukun Tetangga di Yogyakarta (1942-1989) yang terbit pada 1995 menyebutkan, meski secara formal pemerintah Jepang telah menjadikan Tonarigumi dan Azazyookai sebagai embrio dari RT dan RW, dalam penelitiannya di Yogyakarta, Suwarno meyakini bahwa jauh sebelum Jepang hadir di Nusantara dan melahirkan Tonarigumi dan Azazyookai pada 1943, telah terdapat perkumpulan atau paguyuban sosial seperti sinoman, pralenan dan sebagainya.

Kemiripan latar belakang sosial budaya dan politik di Yogyakarta seperti kerukunan, kesetiaan kepada atasan atau raja serta sifat kegotongroyongan dengan latar belakang sosial budaya dan politik Tonarigumi dan Azazyookai di Jepang menjadikan organisasi tersebut mudah diterima masyarakat sebagai sebuah institusi sosial.

Setelah Indonesia merdeka, Tonarigumi dan Azazyookai kemudian diadaptasi menjadi bentuk Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) dengan fungsi yang berubah. Pada masa pemerintahan kolonial Jepang, Tonarigumi dan Azazyookai difungsikan sebagai mobilisator untuk mengerahkan romusha. Setelah Indonesia merdeka, RT/RK merupakan pelayan masyarakat yang menyediakan bahan makanan bagi masyarakat yang membutuhkan, mengusahakan perlindungan bagi gerilyawan, mengamankan barang-barang yang ditinggalkan pemiliknya dan lain sebagainya. 

Pada 1960 hingga 1989 ketika demokrasi terpimpin dan Orde Baru berkuasa dengan paham sentralisme, RT/RK semakin terikat pada birokrasi pemerintahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 1983 menetapkan Rukun Tetangga/Rukun Warga sebagai kepanjangan tangan birokrasi pemerintahan tanpa mengubah statusnya sebagai lembaga sosial.

Reformasi 1998 menjadi jalan bagi perubahan struktur kemasyarakatan Indonesia. Sejalan dengan perkembangan reformasi dan luruhnya asas sentralisme dalam pemerintahan negara dan tumbuhnya paradigma otonomi masyarakat, pemerintah melalui Departemen Dalam Negeri mulai mengganti dan merevisi peraturan-peraturan hukum yang tidak selaras dengan semangat perubahan dan paradigma otonomi daerah yang diawali dengan Permendagri Nomor 4 Tahun 1999, termasuk di dalamnya mencabut Permendagri Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pembentukan RT/RW.

Namun demikian, setiap daerah, baik pemerintah provinsi maupun kabupaten atau kota, diberikan kebebasan untuk tetap mempertahankan, mengubah, atau memodifikasi sesuai kebutuhan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden nomor 49 Tahun 2001 tentang Penataan Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau sebutan lain.

HENDRIK KHOIRUL MUHID

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus