Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Putusan Mahkamah Kontitusi (MK) memperbolehkan calon kepala daerah melakukan kampanye di kampus. Sejumlah kalangan mengingatkan Komisi Pemilihan Umum atau KPU terkait aturan kampanye di kampus tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan Ketua KPU Ilham Saputra mengatakan, KPU harus segera membuat Peraturan KPU (PKPU) mengenai aturan teknis kempanye di kampus itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Jangan sampai, kampanye nanti bisa jadi permasalahan,” kata Ilham dalam webinar bertajuk 'Kampanye di Kampus dan Optimalisasi Politik Gagasan’ yang digelar Consid, Senin, 16 September 2024.
Menurut Ilham, KPU perlu mengatur aturan teknis kampanye, mulai dari bentuk izin hingga teknis para kontestan melakukan kampanye.
Setelah membuat Peraturan KPU, KPU harus melakukan sosialisasi kepada KPU Provinsi dan KPU Kabupaten. Bimbingan teknis juga perlu dilakukan. Pun sosialisasi juga harus dilakukan kepada pihak kampus, mahasiswa, dan masyarakat.
“Saya khawatir kalau tidak disosialisasi dengan baik. Akan ada pemahaman putusan MK berbeda satu sama lain,” kata Ilham.
Berorientasi politik dan dialektika
Senada Ilham, pengajar hukum pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Titi Anggraini mengatakan, putusan MK itu perlu diikuti PKPU tentang kampanye dalam kampus. Peraturan KPU itu harus memastikan hadirnya kampanye berorientasi politik dan dialektika gagasan.
Menurut Titi, kampus merupakan wadah tepat untuk menguji visi-misi dan program pasangan calon. Kampus juga menjadi tempat mengupas tuntas program pasancan calon. Sivitas akademika bisa menjadi instrumen yang sesuai untuk memastikan pemimpin yang berkapasitas.
Namun, pihak kampus tidak boleh bias dalam melakukan kampanye di kampus. Pihak kampus harus memberikan kesempatan yang adil dan setara kepada semua pasangan calon. Pun pihak kampus tidak boleh melakukan politik praktis.
“Prinsip utama kampanye harus izin penanggung jawab, tanpa atribut, dan memberlakukan dengan adil dan setara,” kata Titi.
Adapun MK telah mengabulkan permohonan mengenai kampanye kepala daerah di perguruan tinggi. Hal itu tertuang di dalam Putusan MK Nomor 69/PUU-XXII/2024 tentang Kampanye Kepala Daerah di dalam Perguruan Tinggi.
Mahasiswa UI, Sandy Yudha bersama Stefanie Gloria, merupakan pemohon yang mengajukan perkara itu. Keduanya mengajukan permohonan uji materi Pasal 69 huruf i Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015. Pasal tersebut berisi larangan menggunakan tempat ibadah dan tempat pendidikan dalam kampanye pemilihan kepala daerah.
Majelis hakim menyatakan frasa "tempat pendidikan" dalam norma Pasal 69 huruf i bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Aturan itu juga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
"Sepanjang tidak dimaknai dikecualikan bagi perguruan tinggi yang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi atau sebutan lain, dan (peserta kampanye) hadir tanpa atribut kampanye pemilu," kata Hakim Konstitusi, M. Guntur Hamzah, dikutip dari laman resmi MK, Selasa, 20 Agustus 2024.
Dalam pertimbangannya, Guntur Hamzah, mengatakan konstruksi norma Pasal 22E ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tidak hanya sekadar dibaca pemilu untuk memilih anggota dewan perwakilan rakyat, dewan perwakilan daerah, presiden dan wakil presiden, dan dewan perwakilan rakyat daerah. Pemilu juga harus dimaknai termasuk di dalamnya pemilihan kepala daerah.
"Berkenaan dengan hal tersebut, salah satu tahapan pemilu dan pemilihan kepala daerah yang dapat dinilai memiliki kesamaan adalah penyelenggaraan kampanye," kata Guntur.
Berdasarkan amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 15 Agustus 2023, kampanye di tempat pendidikan dapat dikecualikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab perguruan tinggi dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu.
Berdasarkan kutipan pertimbangan hukum tersebut di atas, Guntur melanjutkan, pengecualian terhadap larangan kampanye di kampus dimaksudkan untuk memberi kesempatan civitas akademika menjadi penyelenggara kampanye pemilu untuk mendalami visi, misi, dan program kerja yang ditawarkan calon.
Menurut Guntur, karena substansi yang dimohonkan para Pemohon pada pokoknya sama dengan substansi Perkara Nomor 65/PUU-XXI/2023, tidak ada keraguan bagi Mahkamah untuk memberlakukan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-XXI/2023 secara mutatis mutandis terhadap permohonan a quo. Selain itu, pemberlakuan secara mutatis mutandis tidak dapat dilepaskan dari keberlakuan prinsip erga omnes.