Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Zainal Arifin Mochtar*
"In a democracy, someone who fails to get elected to office can always console himself with the thought that there was something not quite fair about it." Thucydides (c. 460 BC-c. 395 BC)
PASAL 18 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 memaklumkan bahwa kepala daerah dipilih secara "demokratis". Kata "demokratis", yang galibnya bermakna jamak, melahirkan implikasi pemaknaan yang tidak tunggal atas pemilihan umum kepala daerah, termasuk semua implikasi prosesnya.
Pemaknaan kata "demokratis" didekatkan dengan pemilihan langsung. Demokrasi yang disinonimkan dengan makna prosedural pemilihan secara one man one vote tersebut telah berlangsung hampir satu dasawarsa. Perjalanan sepuluh tahun itu ternyata meninggalkan jejak begitu banyak persoalan.
Pertama, perihal keamanan. Di banyak tempat pemilihan—seperti disitir dari Thucydides—kekalahan diasosiasikan sebagai ketidakjujuran pelaksanaan. Akhirnya kekalahan tidak dapat diterima, yang sering berubah menjadi kekerasan dan aksi massa. Menurut data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, 59 orang meninggal dan 230 terluka akibat kekerasan seusai pemilihan kepala daerah. Sebanyak 279 rumah, 30 kantor pemerintah, 6 kantor polisi, dan 10 kantor Komisi Pemilihan Umum Daerah juga dirusak dalam kejadian di pelbagai daerah.
Kedua, kegagalan menegakkan pemilu yang bersih, jujur, dan adil. Pemilihan di banyak tempat malah melanggengkan konsep pemilu berbiaya mahal. Ada dua jenis ongkos yang harus dibayarkan guna memenangi kontestasi. Biaya pertama adalah uang politik untuk membeli suara dan mempengaruhi pemilih secara langsung. Biaya berikutnya: ongkos membeli perahu partai, biaya kampanye, ataupun biaya proses sengketa di Mahkamah Konstitusi. Kontestan pemilihan sering kali terpaksa "menikahi" pemilik modal. Bisa ditebak ujungnya: para pencari rente inilah yang memimpin daerah. Pemerintahan menjadi bayang semata alias shadow state.
Ketiga, daya rusak ke institusi penegakan pemilu bersih. Dalam kontestasi berbiaya mahal, uang menjadi segalanya. Pelbagai cara digunakan untuk memenanginya. Seperti hukum pasar, banyaknya permintaan melahirkan penyedia. Lahirlah pemberi banderol kewenangan institusional. Walhasil, banyak pelaksana dan pengawas pemilihan rontok "diadili" Dewan Kehormatan Pelaksanaan Pemilu akibat uang ataupun persoalan lain. Puncaknya adalah penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar, yang menjual kewenangan dalam menangani sengketa hasil pemilihan.
Keempat, meskipun proses panjang telah dilalui hingga sengketa di MK, tak ada jaminan proses pemilihan selesai. Masih ada peluang menguji pengangkatan kepala daerah ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Membingungkan karena putusan MK tidak lagi dianggap final dan mengikat.
Sayangnya, dari sekian banyak problem, belum ada solusi ideal yang ditawarkan negara. Misalnya usul untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan penanganan sengketa hasil pemilihan ke Mahkamah Agung. Alih-alih menjadi jawaban, dua usul itu berpotensi menimbulkan persoalan.
Dua usul itu tidak akan menyelesaikan empat persoalan besar dalam pemilihan kepala daerah. Apakah pemilihan di DPRD akan mengakhiri kemungkinan kekerasan? Tidak. Bahkan, boleh jadi, hanya memindahkan tempat kekerasan dari kantor-kantor pelaksana pemilihan ke kantor DPRD atau kantor partai.
Begitupun praktek pemilu berbiaya mahal. Kontestan tetap harus mengeluarkan uang untuk membeli perahu partai dan membayar anggota DPRD. Hal yang persis sama terjadi di masa lalu. Calon-calon tertentu yang sudah menabur uang di DPRD hanya akan dipertandingkan dengan kandidat "kayu bakar". Proses pemilihan seakan-akan penuh warna, tapi sudah ditentukan pemenangnya oleh uang yang sudah dibagi sebelum pemilihan. Memang sistem ini bisa mengurangi biaya yang dikeluarkan negara.
Mengembalikan pemilihan ke DPRD juga sangat berpotensi mematikan kandidat independen. Di tengah buruknya kualitas kepartaian di Indonesia, kandidat independen bisa menjadi teguran dan sekaligus motivasi bagi partai untuk berbenah. Hasil pemilihan di DPRD juga akan jauh lebih mudah digugat di PTUN. Sebab, keputusannya tidak lagi menjadi obyek keputusan yang dikecualikan oleh Undang-Undang Pengadilan Tata Usaha Negara Nomor 5 Tahun 1986.
Ide pemilu serentak sesungguhnya jauh lebih menarik. Sistem itu bisa mengurangi pengeluaran negara serta menyelesaikan problem terlalu seringnya "pesta demokrasi" tingkat nasional dan lokal.
Ide mengembalikan penanganan sengketa hasil pemilihan seperti pada masa lalu juga punya masalah. Dulu sengketa hasil pemilihan kepala daerah provinsi ditangani MA. Adapun pemilihan bupati atau wali kota diselesaikan di pengadilan tinggi. Jangan-jangan banyak yang lupa dengan cara MA dan hierarkinya menyelesaikan sengketa hasil pemilihan Wali Kota Depok, Gubernur Sulawesi Selatan, dan Gubernur Maluku Utara yang kisruh. Aroma uang, inkonsistensi pemikiran, dan pelanggaran atas aturan juga sangat kental ketika itu.
Para mafia peradilan akan lebih nikmat memainkan kebiasaan mereka karena tidak lagi harus menembus ketatnya MK, tapi cukup bermain di daerah. Bahkan salah satu alasan kuat memindahkan sengketa hasil pemilihan ke MK ketika itu adalah agar daerah tidak mudah menjadi sarang amuk massa. Dapat dibayangkan, dengan mengembalikan sengketa ke MA, akan terjadi penyerangan atas pengadilan-pengadilan di daerah.
Memang pemilihan kepala daerah telah melahirkan jejak kekerasan. Tapi jangan pernah mencoba menegasikan beberapa daerah lain yang mampu menjalankan pemilihan secara bersih dan damai. Artinya, masih sulit menggeneralisasi pemilihan kepala daerah langsung harus diakhiri hanya karena banyak melahirkan kekerasan dan praktek koruptif.
Ada yang harus diperbaiki dari konsepsi pemilihan kepala daerah. Negara harus mau menegakkan putusan MK dalam sengketa hasil. Jika ditemukan pidana dalam penetapannya, letakkan pada proses hukum, yang dapat berujung pada pemberhentian pemenang pemilihan. Karena kasus hukum umumnya baru diketahui setelah pelantikan, kandidat di bawahnya berhak menggantikan. Mau tidak mau harus masuk konsepsi pemberhentian di tengah jalan atas kepala daerah sebagaimana diatur Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Tidak perlu mengoreksi kesalahan lama dengan membuat kesalahan baru. Cara yang elegan adalah memperbaiki sistem sekarang. Kualitas penyelenggara dan pengawas pemilu harus diperbaiki. Kalau penyelenggara dan pengawas pemilu telah diperbaiki, MK tidak perlu lagi menilai pelanggaran yang masif, sistematis, dan terstruktur. Lembaga ini bisa kembali ke khitahnya, hanya menghitung perselisihan hasil pemilihan.
Memperbaiki kualitas partai juga bisa menjadi pilihan. Harus diakhiri kemungkinan partai menjajakan perahu guna mengisi keuangan partai. Banyak cara perbaikan bisa dilakukan, misalnya aturan pendanaan partai yang memungkinkan partai bisa mencari dana tanpa mengisap uang negara. Demikian juga mutu relasi antara kandidat dan partai pengusungnya perlu ditingkatkan.
Sama halnya dengan memperbaiki mahal biaya pemilihan kepala daerah. Menyederhanakan pemilu menjadi jauh lebih menarik dibandingkan dengan serta-merta mengirimkan pemilihan ke DPRD. Apalagi ada konsep pemilihan yang akan memiliki implikasi pada urusan dan kewenangan daerah yang juga seharusnya dapat terkoneksi dengan konsep otonomi daerah.
Memang banyak pekerjaan rumah yang mustahil diselesaikan dengan cepat. Tapi jangan sampai pemilihan kepala daerah dikembalikan ke konsepsi lama, yang sudah terbukti menyisakan jejak koruptif. l
*) Pengajar Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Ketua Pukat Korupsi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo