Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Perwakilan warga Dago Elos Bandung dan kuasa hukumnya kembali melapor ke Kepolisian Daerah Jawa Barat atau Polda Jabar terkait kasus sengketa tanah. Pelaporan pada Senin, 28 Agustus 2023 itu untuk mengadukan dugaan tindakan perbuatan jahat oleh pihak yang ingin menguasai lahan hunian warga. “Laporan kemarin jadi bukti keterangan tambahan,” kata Heri Pramono dari Tim Advokasi Dago Melawan di Dago Elos, Selasa 29 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, kuasa hukum mendampingi empat orang warga Dago Elos yang melapor ke polisi. Sebelumnya laporan pertama mereka sampaikan pada 15 Agustus lalu. Materi serupa telah tiga kali warga dan kuasa hukum sampaikan ke Polda Jabar juga Polrestabes Bandung namun semuanya dikembalikan dengan alasan kurang bukti. Hingga muncul keresahan warga yang berujung kerusuhan pada Senin malam, 14 Agustus 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu sepulangnya dari pelaporan ke Polrestabes Bandung, warga yang kecewa memblokir jalan raya di depan Terminal Dago. Tindakan itu kemudian ditanggapi kepolisian untuk membuka jalan dan membubarkan massa sambil menembakkan gas air mata hingga ke perkampungan. Beberapa orang warga ditangkap termasuk anggota tim kuasa hukum yaitu Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia atau PBHI Jawa Barat Rizky Ramdani. Mereka yang ditahan kini telah dibebaskan. “Penahanan tiga warga yang terakhir ditangguhkan,” kata Heri.
Seorang warga yang ikut melapor ke polisi, Sahrul Arif mengatakan, petugas kepolisian di ruangan sempat menanyakan status tanah yang ditempatinya. Menurutnya sertifikat tanah belum dimiliki namun ada surat pembelian dari penggarap tanah sebelumnya. Di surat tagihan pajak bumi dan bangunan juga ada nominal yang harus dibayar dan berapa meter persegi yang mereka tempati. “Jadi kami bukan warga ilegal,” ujarnya.
Awal Mula Sengketa Lahan Dago Elos
Sengketa tanah di Dago Elos antara warga melawan Keluarga Muller itu bermula pada 2016. Kasus itu sudah melalui Peninjauan Kembali pada 2022. Mahkamah Agung dalam Putusan Nomor 109 PK/109 PDT/2022, mengabulkan gugatan Keluarga Muller dan menyatakan bahwa mereka memiliki hak atas kepemilikan objek tanah Eigendom Verponding Nomor 3740, 3741, 374 dan menyerahkan tanah tersebut kepada sebuah perusahaan. Di atas tanah itu kini antara lain ditempati 300-an keluarga di lingkugan RT 01 dan 02 RW 04 dan terminal.
Eigendom Verponding menurut Amalia Nurfitria Syukur, Hajriyanti Nuraini, Yusmiati Yusmiati dalam Jurnal Poros Hukum Padjadjaran, adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak barat. Menurut Undang-undang Pokok Agraria, hak atas tanah tersebut harus dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya pada 24 Desember 1980 yaitu sejak aturan itu berlaku. Berbekal Eigendom Verponding itu keluarga Muller menggugat warga Dago Elos dengan dasar perbuatan melawan hukum.
Pada Agustus 2017, Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan tanah-tanah yang menjadi objek sengketa adalah sah milik Keluarga Muller dan memerintahkan agar warga dan pihak lainnya yang berkedudukan sebagai tergugat untuk meninggalkan lahan Dago Elos dan membayar biaya perkara yang jumlahnya Rp 238 juta. Warga kemudian mengajukan banding dan kalah di Pengadilan Tinggi Bandung. Kepala Kantor Pertanahan juga diperintahkan untuk memproses permohonan sertifikasi tanah yang sebelumnya sudah diminta penggugat.
Upaya warga sempat berhasil ketika Hakim Pengadilan Tingkat Kasasi menyatakan Keluarga Muller tidak berhak atas lahan Dago Elos. Alasannya karena mereka dinilai tidak melakukan konversi atas Eigendom Verponding dari nama kakeknya sehingga lahan menjadi tanah negara, sehingga warga Dago Elos dinyatakan sah untuk menduduki objek sengketa karena telah menguasainya dalam kurun waktu lama, terus menerus dan sebagian sudah diberikan sertifikat hak milik.
Di tengah masa pengajuan sertifikat oleh Warga Dago Elos ke Kantor Pertanahan Kota Bandung, keluarga Muller dan perusahaan mengajukan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung dan menang. Mereka pun mengurus surat pernyataan ahli waris ke Pengadilan Agama Cimahi pada 2014 yang menyatakan bahwa ketiga saudara itu sebagai cicit dari Georgius Hendrikus Wilhelminus Muller, seorang kerabat dari Ratu Wilhelmina Belanda yang ditugaskan di Indonesia.
Menurut Heri, pihaknya membantah klaim itu. Dari hasil penelusuran yang dijadikan sebagai bukti bagi pelaporan warga ke kepolisian, Georgius bukan kerabat Ratu Belanda. Lelaki kelahiran Salatiga pada 1842 itu kata Heri, anak seorang pensiunan KNIL dengan pangkat terakhir kapten bernama Georgius Hendrikus Muller. Bukti lain yang dilaporkan ke polisi, Georgius Hendrikus Wilhelminus Muller bukan orang yang ditugaskan Ratu Belanda melainkan oleh seorang penyewa lahan untuk menjadi tenaga administrasi di perkebunan Sindangwangi.
Pilihan Editor: PBHI Jawa Barat Ungkap Kronologi Kericuhan di Dago Elos