Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Seperti Tukang Obat

Kurikulum fakultas kedokteran dipermasalahkan, banyak dokter bertindak pasif, mereka terbatas hanya mendiagnosa lantas menulis resep. pasang tarip terlalu mahal. (pdk)

26 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DARI Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta, datang kritik. Pekan lalu, dalam pengambilan sumpah lima dokter baru, Dekan lakultas Kedokteran Usakti Prof. dr. Oetama mengucapkan sesuatu yang memberi kesan bahwa dokter-dokter Indonesia hanyalah--seperti tukang obat--"memberi pengobatan secara individual saja." Mereka terbatas hanya mendiagnosa penyakit seseorang, lantas menulis resep. Ditemui di rumahnya, dr. Oetama, 70 tahun, pensiunan dosen Fak. Kedokteran UI ini, menjelaskan maksudnya. Beberapa tahun lalu ia tahu dar seorang dokter yang baru mengadakan peninjauan ke sejumlah Puskesmas Jawa Barat, bahwa Puskesmas sepi. Sebabnya antara lain, dokter di situ hanya pasif. Kemudian, 1977, Prof. Oetama membaca laporan WHO (Badan Kesehatan Dunia), bahwa "80% rakyat negara berkembang belum pernah mencicipi pelayanan kesehatan primer." Itulah titik tolak Oetama, untuk kemudian mengatakan bahwa kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia belum memasyarakat. Padahal sebagian besar kawasan Indonesia adalah pedesaan dan sebagian besar rakyatnya terhitung kurang mampu. Menurut Prof. Oetama, kurikulum fakultas kedokteran hanya mendidik dokter yang "tahu riwayat penyakit, sanggup membuat diagnosa dan sanggup menentukan pengobatannya." Yang diperlukan kini adalah dokter yang aktif, yang "berpikir epidemiologis dan lebih berpandangan luas." Sebuah contoh. Pasien yang menderita malaria, tak cukup hanya diberi obatnya. "Tapi perlu penelusuran lebih jauh. Bagaimana lingkungannya, keadaan keluarganya," tutur Oetama. Sebab, hanya dengan mengobati orang itu, "kemungkinan besar ia akan datang lagi dengan penyakit yang sama, karena sumbernya belum diobati." Dengan singkat, menurut Oetama, dokter kini, terutama yang bekerja di daerah, harus aktif dan "berhasil mengikutsertakan masyarakat menjaga kesehatannya sendiri." Menimbulkan Keguncangan Sebenarnya kurikulum yang berorientasi ke masyarakat, "rakyat kecil" sudah juga dijalankan. Ini komentar Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono. Bukti: adanya kuliah masalah kependudukan, epidemi penyakit, masalah sosial-budaya dan kesehatan masyarakat. "Kalau ada dokter biasanya cuma menulis resep, itu masalah integritas pribadi," tambah Mahar. Prof. Oetama pun mengakui bahwa di fakultasnya pun kurikulum semacam itu telah juga dijalankan. Tapi,"belum ada evaluasi hasilya." Belum ada penelitian apakah dokter kemudian merasa cukup dengan bekal kurikulum tersebut, dan masyarakat puas menerima dokter itu. Pihak CMS (Consortium Medical Centre) pun mengakui, dari pihaknya penelitian yang dimaksud belum pernah diadakan. "Belum ada penelitian, bagaimana kerja dokter lulusan baru baru ini dibandingkan dengan yang lalu-lalu," kata dr. Djuhar Max Arifin, Sekretaris Eksekutif CMS. Toh, dia pun membantah kalau kurikulum fakultas kedokteran tak berorientasi ke masyarakat. "Memang tak sekaligus perbaikan itu, tapi sedikit demi sedikit, supaya rak menimbulkan keguncangan." Diceritakannya pula, baru tahun depan, mungkin, akan dilaksanakan kurikulum inti. Artinya, kurikulum sederhana yang telah mencakup pengetahuan luas, agar dokter yang dihasilkan siap menghadapi segala sesuatunya. "Tukang obat" akademis ini agaknya memang sering disorot. Mungkin karena pendidikannya pun mahal. Menurut Mahar, lebih dari Rp 1 juta untuk setahunnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus