DARI Universitas Trisakti (Usakti), Jakarta, datang kritik.
Pekan lalu, dalam pengambilan sumpah lima dokter baru, Dekan
lakultas Kedokteran Usakti Prof. dr. Oetama mengucapkan sesuatu
yang memberi kesan bahwa dokter-dokter Indonesia
hanyalah--seperti tukang obat--"memberi pengobatan secara
individual saja." Mereka terbatas hanya mendiagnosa penyakit
seseorang, lantas menulis resep.
Ditemui di rumahnya, dr. Oetama, 70 tahun, pensiunan dosen Fak.
Kedokteran UI ini, menjelaskan maksudnya. Beberapa tahun lalu ia
tahu dar seorang dokter yang baru mengadakan peninjauan ke
sejumlah Puskesmas Jawa Barat, bahwa Puskesmas sepi. Sebabnya
antara lain, dokter di situ hanya pasif. Kemudian, 1977, Prof.
Oetama membaca laporan WHO (Badan Kesehatan Dunia), bahwa "80%
rakyat negara berkembang belum pernah mencicipi pelayanan
kesehatan primer."
Itulah titik tolak Oetama, untuk kemudian mengatakan bahwa
kurikulum pendidikan kedokteran di Indonesia belum memasyarakat.
Padahal sebagian besar kawasan Indonesia adalah pedesaan dan
sebagian besar rakyatnya terhitung kurang mampu.
Menurut Prof. Oetama, kurikulum fakultas kedokteran hanya
mendidik dokter yang "tahu riwayat penyakit, sanggup membuat
diagnosa dan sanggup menentukan pengobatannya." Yang diperlukan
kini adalah dokter yang aktif, yang "berpikir epidemiologis dan
lebih berpandangan luas."
Sebuah contoh. Pasien yang menderita malaria, tak cukup hanya
diberi obatnya. "Tapi perlu penelusuran lebih jauh. Bagaimana
lingkungannya, keadaan keluarganya," tutur Oetama. Sebab, hanya
dengan mengobati orang itu, "kemungkinan besar ia akan datang
lagi dengan penyakit yang sama, karena sumbernya belum diobati."
Dengan singkat, menurut Oetama, dokter kini, terutama yang
bekerja di daerah, harus aktif dan "berhasil mengikutsertakan
masyarakat menjaga kesehatannya sendiri."
Menimbulkan Keguncangan
Sebenarnya kurikulum yang berorientasi ke masyarakat, "rakyat
kecil" sudah juga dijalankan. Ini komentar Rektor UI Prof. Dr.
Mahar Mardjono. Bukti: adanya kuliah masalah kependudukan,
epidemi penyakit, masalah sosial-budaya dan kesehatan
masyarakat. "Kalau ada dokter biasanya cuma menulis resep, itu
masalah integritas pribadi," tambah Mahar.
Prof. Oetama pun mengakui bahwa di fakultasnya pun kurikulum
semacam itu telah juga dijalankan. Tapi,"belum ada evaluasi
hasilya." Belum ada penelitian apakah dokter kemudian merasa
cukup dengan bekal kurikulum tersebut, dan masyarakat puas
menerima dokter itu.
Pihak CMS (Consortium Medical Centre) pun mengakui, dari
pihaknya penelitian yang dimaksud belum pernah diadakan. "Belum
ada penelitian, bagaimana kerja dokter lulusan baru baru ini
dibandingkan dengan yang lalu-lalu," kata dr. Djuhar Max Arifin,
Sekretaris Eksekutif CMS. Toh, dia pun membantah kalau kurikulum
fakultas kedokteran tak berorientasi ke masyarakat. "Memang tak
sekaligus perbaikan itu, tapi sedikit demi sedikit, supaya rak
menimbulkan keguncangan." Diceritakannya pula, baru tahun depan,
mungkin, akan dilaksanakan kurikulum inti. Artinya, kurikulum
sederhana yang telah mencakup pengetahuan luas, agar dokter yang
dihasilkan siap menghadapi segala sesuatunya.
"Tukang obat" akademis ini agaknya memang sering disorot.
Mungkin karena pendidikannya pun mahal. Menurut Mahar, lebih
dari Rp 1 juta untuk setahunnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini