TAK seperti yang diduga, kampus UI-Salemba ternyata sepi.
Mereka yang menengok pengumuman penerimaan mahaisuaibaru untuk
perguruan tinggi Proyek Printis (PP) I lewat UI Jumat pekan
lalu, tak mengubah suasana halaman kampus Salemba itu. Juga
keesokan harinya, setelah pengumuman yang dicetak berbentuk
sebuah surat kabar setebal 26 halaman itu ditempel di dinding
parkir UI Salemba. Tak banyak yang datang untuk mencari namanya.
Diperkirakan karena mereka cukup di rumah mendapatkan 26 halaman
daftar hasil tes PP 1, yang diselipkan di koran Kompas dan Suara
Karya (untuk Jakarta) edisi Jumat lalu itu.
Untuk seluruh Indonesia datar ilu dicetak 155 ribu eksemplar,
Jakarta kebagian 60 ribu. Tentu, ini bagi panitia PP I pusat
merupakan tambahan biaya: biaya cetak dan distribusinya.
Kabarnya hanya Surabaya Post yang dengan sukarela, artinya
gratis, menyelipkan lembaran itu dalam korannya.
Padahal kenaikan calon mahasiswa tahun ini dibanding tahun lalu,
sekitar 30%. Tahun ini calon lewat PP I (UI, ITB, IPB, UGM,
Unpad, Undip, Unair, ITS, Unibraw dan USU) terdaftar 125. 761.
Tahun lalu hanya 96.767. Dan UI termasuk favorit setelah UGM.
Mereka yang mendaftar untuk masuk UGM 28 ribu lebih, UI 27 ribu
lebih.
Tentu saja yang diterima di PP I sekarang juga naik. Tahun lalu
13.732, tahun ini 14.530. Persentasenya memang turun: tahun ini
tak ada 12% yang diterima, tahun lalu lebih dari 14%.
Ada jalan keluar? Menurut Rektor UI Prof. Dr. Mahar Mardjono,
agar lulusan SLTA terjamin kelangsungan pendidikannya, bisa
diadakan pendidikan ketrampilan atau "universitas terbuka".
Bukan pikiran baru, memang. Dan kelanjutannya pun masih menjadi
masalah bagi negara sedang berkembang seperti Indonesia. Seperti
yang dikatakan Mahar juga "Pendidikan ketrampian baru sukses
bila disertai kebijaksanaan pemerintah yang jelas." Maksudnya:
penyediaan lapangan kerja. Juga, dibukanya dan didorongnya
rangsangan berwiraswasta.
Soal menganggur itu rupanya yang menjadi momok. Maka Mahar pun
mensinyalir, banyak yang masuk PT hanya supaya tak menganggur.
"Motivasi mereka tidak cukup kuat, mengapa melanjutkan kuliah,"
kata Mahar.
Dan pasal menganggur itu pula, mungkin, yang menyebabkan Rektor
UGM Prof. Dr. Sukadji Ranuwihardjo mendapat kesibukan baru.
Beberapa hari sebelum pengumuman ia menerima banyak surat --
konon ribuan -- dari orang-orang yang meminta agar anak atau
familinya diterima di UGM. Tentu tak ada gunanya. Sebab selain
"saya bukan panitia," juga seleksi dilakukan komputer.
Kasus Lilin
Lantas muncullah kasus lilin." Konon pada sejumlah lembar tes di
PP I, ruang jawaban yang lima ini (sistem multiple choice) diisi
semua: satu, yang dianggap benar, dengan pensil (seperti vang
diharuskan), yang lain dengan lilin -- entah dari mana akal ini
datangnya. "Ini merugikan calon itu sendiri," kata Sukadji.
Sebab, biarpun komputer mencatat ada jawaban yang betul, tapi
karena yang salah juga diisi, nilainya tetap nol.
Semua itu menunjukkan betapa bernafsunya mereka untuk menjadi
mahasiswa--untuk tidak menganggur Padahal 41 perguruan tinggi
negeri dengan daya tampung mahasiswa baru 50.000 orang lebih,
plus 200-an yang swasta dengan daya tampung kurang dari 50.000,
diperkirakan hanya mampu menyerap 50% dari lulusan SMA yang
lebih dari 200 ribu. "Masalah kita terutarna karena kepadatan
penduduk," kata Ki Suratman, sesepuh Perguruan Taman Siswa
beberapa waktu lalu. Memang. Lalu apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini