Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Setelah pidato habis dan suara ...

Pemberian suara selesai. tindak kekerasan terhadap pemilih ternyata terjadi di mana-mana. umumnya dari golongan parpol. orang berharap agar semua pengalaman pahit ini tak terulang pada pemilu nanti. (nas)

7 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

2 MEI 1977 sudah lewat. Suara sudah diberikan dan dihitung. Yang pasti dapat kursi boleh senyum, yang berhasil melipat uang kampanye ke kantong sendiri boleh berpesta, sementara yang tidak puas mungkin masih panas tapi bagaimana pun juga, satu kerja besar sudah selesai. Apa pun hasilnya, mudah-mudahan orang masih bisa berharap: pemilu yang akan datang lebih baik. Dan ke arah itu, Indonesia harus bekerja untuk suatu perdamaian nasional - tak cuma membangun jembatan. Sebab, meskipun agak pahit untuk diakui, pemilu 1977 bukan saja terkadang mengungkap luka lama, tapi juga menoreh luka baru. Sejumlah orang telah mengungsi dari desa-desa sekitar Karawang dan Subang. Rakyat kecil itu takut pulang. Ada semacam 'ancaman' dari petugas-petugas setempat. Di beberapa tempat, tak kurang dari 700 orang telah ditahan. Tapi menjelang pencoblosan 2 Mei seperti dijanjikan oleh Presiden minggu lalu mereka segera dibebaskan agar bisa menggunakan hak pilihnya. Mereka anggota Partai Persatuan Pembangunan. Dan akhir April kemarin 21 dari 52 warga PPP Subang yang mengungsi ke Bandung telah pulang ke kampung halaman masing-masing atas instruksi Laksusda Jawa Barat. Sementara 31 pengungsi lainnya akan menyusul dipulangkan, sampai pekan lalu masih 50 orang lagi yang belum kembali dari pengungsian di beberapa daerah Jakarta. Di Bali ada pengeroyokan. Di Jawa Tengah ada rakyat direndam dalam air - bukan supaya bersih. "Siapa lagi yang berani merendam orang selain petugas negara", kata Usep Ranuwidjojo pekan lalu. Ia berusaha membela kepentingan calon-calon pemilih anggota partainya, Partai Demokrasi Indonesia. Ada yang tewas? "Pokoknya banyak yang menyedihkan", kata Usep. Bahkan sampai menjelang minggu tenang, beberapa komisaris PPP dan PDI daerah Banyuwangi (Muncar, Glenmore, Genteng, Jajag, Giri) sudah bersiap-siap mengungsi. Mereka takut 'diciduk' Koramil seperti penga}aman tahun 1971. Siang bekerja seperti biasa di sawah, malam hari 'pindah tidur' di mana saja asal tak diketahui petugas. Di Jember, tahun 1971, anggota hansip bertugas ronda malam dan ronda subuh. Ronda malam menjaga keananan kampung, ronda subuh --pagi sebelum saat pencoblosan - mengetuk pintu rumah-rumah penduduk memerintah agar mencoblos tanda gambar anu. Tahun ini penekanan seperti itu diharap tak ada lagi. Tapi tokoh-tokoh parpol 'berkepala batu', terutama dari PPP, sudah banyak yang 'pindah tidur'. Beberapa peristiwa di Bali, meski tampaknya sulit disebut sebagai 'percikan' kampanye, yang jelas korban-korbannya anggota PDI. Awal April lalu, rumah Dewa Made Masta, anggota DPRD dari PDI di desa Plaga Badung Utara, dirampok. Esoknya, Made Soka, aktifis PDI dan anggota perkumpulan pencaksilat "Bhakti Negara" dikeroyok di hotel Melati Dewi, Kuta. Ia terpaksa berbaring di RSUP Sanglah. Sehari sebelumnya Soka memang ikut kampanye PDI. Dinihari, 6 April, Ketut Lami dikeroyok 7 pemuda tak dikenal di stasiun bus Ubung. Sopir colt ini bersama rekannya, Witra, terpaksa pula dirawat di rumahsakit. Sehari kemudian Nyoman Sudi dari desa Pedungan diculik orang. Tangannya diikat dalam colt, ia kemudian dibuang di sebuah kuburan. Masih di Pedungan, beberapa hari kemudian terjadi pelemparan batu terhadap sebuah rumah plus pengeroyokan. Para penjaga di Balai Banjar dilucuti. Para pejabat di Bali menyatakan, itu hanyalah peristiwa kriminil belaka. Tapi pimpinan PDI di sana jadi sibuk mengurusi para anggotanya yang memang jadi sasaran teror itu. Bagi Cosmas Batubara dari DPP Golkar, "sulit menebak konflik di Bali sebagai konflik politik. Sebab segala yang terpendam di masa lalu. dalam masa kampanye bisa meledak". Di pihak Golkar sendiri, tercatat 62 orang dari berbagai tempat di Jawa Tengah, luka berat akibat kecelakaan kendaraan. Tapi di Lombok ada seorang yang meninggal dunia karena pengeroyokan. Meski begitu, kata Cosmas, "Golkar selalu menghindari adu fisik. Kalau diganggu, jangan dibalas. Kalau kita balas, bakal habis mereka. Golkar kan lebih banyak? Tapi dalam hal konsepsi, boleh diadu". Dari angka-angka korban di pihak parpol yang mati -- tidak semuanya karena kekerasan - yang baru dapat diperoleh ialah dari PPP. Ada 11 orang yang meninggal. Di Subang seorang: H. Abdul Ghani, 50 tahun, karena dibacok. Demak 2 orang, kejatuhan podium. Jakarta seorang, jatuh dari truk. Bandung dan Gorontalo masing-masing seorang karena dikeroyok, Kendal 5 orang tidak disebutkan karena apa. Semua korban mendapat bantuan uang dari PPP. Dan koran Pelita pun membuka dompet mengumpulkan dana untuk mereka. Ada yang diselesaikan dalam Forum Kontak dan Komunikasi, kasus-kasus seperi itu ada pula yang dibawa ke pengadilan. Para tertuduh umumnya anggota PPP. Pengadilan Negeri Kandangan bulan lalu memeriksa Sahlia bin Garugu yang mengaku anggota Golkar. Ia dituduh merobek selembar tanda gambar beringin yang tertempel di tiang listrik. Sementara itu H. Angin Bugis Lubis, sekretaris DPW PPP Sumatera Utara, Sabtu lalu telah diperiksa Pengadilan Negeri Medan. Terdakwa yang anggota DPRD tingkat I Sumatera Utara itu dituduh memalsukan 60.000 surat suara (lihat box). Sebelumnya, Pengadilan Negeri Magelang memeriksa Ahmadi dari Temanggung, dituduh menghina Kyai Muhdi anggota GUPPI/Golkar. PENGADILAN Negeri Bekasi, 7 April menyidangkan perkara Soprih bin Mail dari kampung Kaliabang, karena nengucapkan kata-kata "kalau Golkar menang kita minggir". Tapi akhirnya ia divonis bebas. Di hari yang sama, Pengadilan Negeri Bekasi juga telah mengganjar Ny. Aisyah binti M. Thoib dengan 1 bulan kurungan (masa percobaan 2 bulan) lantaran melakukan kampanye untuk PPP tanpa izin. Untuk membela para tertuduh, Biro Pembela Hukum - LPUI-DPP PPP telah membentuk Korps Sukarelawan Pembela Hukum. Sudah sekitar 17 orang mendaftarkan diri sebagai anggota. Ketua Biro Pembelaan Hukum, H. Zain Bajeber, menyerukan para sarjana dan mahasiswa hukum untuk membela para tertuduh di beberapa Pengadilan Negeri seluruh Indonesia, secara sukarela. Itu sebagian dari 'percikan-percikan' selama masa kampanye pemilu 1977. Yang jadi soal ialah, apakah kekerasankekerasan semacam itu memang dibutuhkan. Ataukah itu sudah jadi "kebiasaan". Sejak mula, tak ada yang mendebat bahwa Golkar bisa dipastikan menang. Dekatnya hubungan Golkar dengan ABRI, dan adanya ketentuan tentang jumlah anggota DPR yang diangkat - belum lagi simpati para pemilihnya. Golkar tak akan terdesak. Dan dengan akal sehat dapat diperhitungkan: sesungguhnya tak perlu dikhawatirka bahwa PPP dan PDI akan merubah struktur pemerintahan secara mendasar. Mereka, dari dalam? tak teramat kokoh pula. Apalagi sudah ada kesepakatan untuk tetap mempertahankan Pancasila dan UUD '45. Juga akan kembali memilih Soeharto sebagai Presiden. Dan sebagai Mandataris MPR, seperti ditentukan oleh UUD '45, Presiden mempunyai hak prerogatif untuk memilih pembantunya menyusun kabinet presidensiil. Maka guna pemilu dewasa ini pada hakekatnya - seperti sudah sering dikatakan - ialah sebagai salah satu pendidikan politik. Artinya, bagaimana kita menjalankan tradisi berpolitik yang sehat, sehingga pembaharuan dan pergantian bisa berlangsung secara teratur dan damai. Apakah pendidikan politik itu tercapai? Yang jelas, apa yang disebut 'pembaharuan struktur politik' - gagasan sejak 1966 - nyatanya tidak tercermin dalam kenyataan proses politik selama ini. Dulu pernah diperkenalkan perlunya "orientasi program" (sebagai ciri orde baru) menggantikan "orientasi ideologi", ciri orde lama itu. Sebab ideologi ang dibenarkan hanya satu: Pancasila. Toh yang terdengar dari pidato para juru kampanye bukanlah program-program, melainkan, seperti disinyalir Mendagri Amirmachmud sendiri, "membakar emosi rakyat". Pangkowilhan lJ/Jawa-Nusatenggara, etjen Widodo, juga menyesalkan masih dipertaruhkannya keyakinan bersifat ideologis dalam kampanye. Baginya, seyogyanya setiap pemilu dijadikan momen penyegaran kehidupan nasional, bukan kesempatan menyentuh luka lama atau menanamkan rasa getir baru. Tapi untuk menjaga national fitness. Widodo juga menilai, tema kampanye belum banyak mengutamakan alternatif program terhadap kritik-kritik yang dialamatkan pada kelemahan pembangunan. "Jika kita hanya membatasi diri pada kritik terhadap kelemahan-kelemahan yang memang selalu ada dalam negara yang sedang membangun, maka pendidikan politik tidaklah amat konstruktif. Jangan lupa, alternatif program merupakan bekal politik terpokok bagi setiap calon yang akan menduduki lembaga-lembaga legislatif", katanya. Kas Kopkamtib Sudomo juga terkenal dengan penilaiannya bahwa kampanye pemilu belum bermutu - satu hal yang juga didukung oleh banyak Dewan Mahasiswa beberapa perguruan tinggi. Barangkali, salah satu sebabnya, karena kritik terhadap program pemerintah satu di antara 4 tidak bolehnya Sudomo -- memang dilarang. Seperti halnya Sudomo, penyair Rendra pun mengkritik praktek kampanye yang katanya hanya memperkeras "fanatisme". Pd Gubernur Jakarta Ali Sadikin bahkan secara terang-terangan mengkritik ketiga kontestan. Bagi Ai, ketiganya sama-sama tidak bermutu: Golkar mengklaim seolah-olah pembangunan selama ini adalah karya Golkar PPP memperalat sentimen keagamaan dan PDI membohongi rakyat dengan menjanjikan penghapusan daerah bebas becak di Jakarta. Tapi apakah memang rakyat begitu acuh terhadap program? Sementara pidato kampanye yang menyorongkan program biasanya cenderung menjelma menjadi janji yang belum tentu bisa ditepati - dan bikin ngantuk -- sesungguhnya rakyat memang lebih cocok dengan ikatan-ikatan emosionil atau simbul-simbul bersama dalam kelompok. Tandagambar PDI misalnya, lebih menonjolkan gambar banteng, bekas tandagambar PNI. Dan massa bekas PNI sendiri nyatanya masih sangat terikat oleh bayang-bayang pengaruh Bung Karno. Dalam setiap kampanye PDI, massa selalu mengharapkan kehadiran Guntur Soekarnoputra. Begitulah sejumlah pemuda PDI Semarang, dengan kaos oblong bertulisan "Guntur" mondar-mandir mengendarai sepeda motor di jalan raya. Bahkan di Yogya banyak terpasang poster-poster tembok yang berbunyi puitis: "Guntur, Di mana Kau? Aku Rindu Padamu". Meski begitu, toh PDI tak sempat memanfaatkan Guntur entah mengapa. Malangnya lagi, partai ini dalam kampanye yang lalu tiba-tiba tampak sebagai gadis manis yang maluInalu. Berbeda dengan PNI dulu, pada PDI yang di dalamnya tergabung partaipartai lainjdi antaranya Partai Kristen dan Katolik, simbul bersama itu jadi kacau. SEBALIKNYA dengan PPP. Karena ikatan agama yang sama, meskipun usinya memang diatur dari atas, tubuhnya jadi tampak kuat. Tanda gambar Ka'bah sebagai lambang kesatuan umat pun sangat tepat, sehingga partai ini lebih tampil dan menonjol. Massa yang berlimpah dalam setiap kampanye, sungguh di luar dugaan orang-orang PPP sendiri. Tapi sementara itu juga sudah boleh dicatat: dengan pemilu 1977 umat Islam menjadi nampak sekali. Paling sedikit ada perlombaan. antara PPP dan Golkar, untuk menghimbau umat Islam. Dalam hal itu Golkar sendiri memang tak bicara lagi soal "program-program". Seperti pemilu 1971, Golkar mencoba menarik pemilih atas dasar ikatanikatan tradisi. Begitulah, Sri Sultan Hamengku Buwono IX berkampanye di lawa Tengah. Di Yogya, sejak lama sudah disebarkan Nawala Dalem (Surat Dari Raja) yang berbunyi "Suwawi ambangun negari sesarengan Colkar" (mari membangun negara bersama Golkar). Dan untuk menarik massa Islam, Golkar selalu mengingatkan salah satu gelar Sri Sultan sebagai Sayidin Panotogomo (Raja dan Pimpinan Islam). Bukan itu saja: Golkar juga menampilkan beberapa ulama, lengkap dengan fatwa-fatwa mereka. Sementara di Demak ada patung haji ukuran raksasa menusuk beringin, di Malang selatan ditemukan tandagambar Golkar dengan kaligrafi ayat-ayat Al-Qur'an. Semua itu sudah tentu cukup sah. Tak perlu sepenuhnya disesali. Yang lebih menggelisahkan bukanlah hidupnya kembali hubungan-hubungan keturunan, kepercayaan atau adat, tapi tergambarnya pemilu sebagai sesuatu yang menakutkan. Dan pemilu sebagai sarana pendidikan politik berarti gagal, bila hari-hari sekitar pemilu merupakan klimaks dari kesewenang-wenangan dan kekerasan, sementara tempat mengadu bumpet di mana-mana. Mungkin terdorong oleh ini, dua hari menjelang berakhirnya minggu tenang, 26 orang yang mengatasnamakan eksponen Generasi Muda Indonesia (di antaranya terdapat drs. Surjadi eks ketua umum DPP GMNI, Hudori Hamid ketua Dema IKIP Jakarta dan M. Zamroni eks ketua presidium KAMI Pusat), menulis surat terbuka kepada Mahkamah Agung. Mereka minta agar MA menilai apakah pelaksanaan peraturan pemilu sudah sesuai dengan UU yang berlaku. Mereka melihat banyaknya wasit yang tidak jujur, bahkan aparat pemerintah yang berusaha memenangkan salah satu kontestan. Mereka juga bertanya sejauh mana kekuatan hukum dari jaminan Presiden atas terlaksananya pemilu yang jujur meski tanpa penanda-tanganan formulir CA-1 - sementara KPPS sebagai pelaksana pemungutan suara tidak diwakili oleh para kontestan. Mereka mensinyalir adanya sementara aparat pemerintah yang dalam minggu tenang telah mendiskreditkan golongan lain untuk kemenangan salah satu kontestan. Karena itu, sejauh mana penilaian hukum MA terhadap ucapan dan tindakan mereka. Jauh sebelumnya, kalangan mahasiswa sudah memperingatkan ketidak-beresan dalam kampanye. PMKRI misalnya, menganggap kampanye telah gagal sebagai sarana demokrasi dan pendidikan politik. Dengan keras disinyalir, kampanye cenderung "sempit, dangkal, saling fitnah, berisi kebohongan dan janji palsu, tidak jujur dan tidak obyektif". Akibatnya rakyat tidak diuntungkan, sebaliknya menjadi korban - fisik maupun psikologis. Itu tidak berarti bahwa rakyat tidak mencatat baik-baik. Jika ada pendidikan politik yang berlangsung selama kampanye yang lalu, maka itu adalah bagaimana rakyat makin mengetahui tingkahlaku dari para pemimpinnya. Bagaimana pula mereka makin sadar akan apa yang hak dan apa yang kotor dalam proses politik. Kenyataan bahwa seruan "bebas dan rahasia" dalam pemilu ternyata mendapat sambutan yang luas - setidaknya menunjukkan hal itu. Yang juga menarik: ada rasa setiakawan antara PPP dengan PDI. Tak jarang, massa kedua parpol saling bantu dalam kampanye, lantaran merasa "senasib sepenanggungan" menghadapi Golkar dan para penguasa setempat. Tak heran kalau Kas Kopkamtib Sudomo secara berkelakar pernah heran: "yang bentrok selalu parpol lawan Golkar belum pernah ada PPP versus PDI . . . ". Kini soalnya tinggal bagaimana pendidikan politik bagi bapak-bapak. Setelah nafas kembali diatur dari pidato dan dag-dig-dugnya jantung selama penghitungan suara, para pemimpin mungkin jadi tahu: bahwa rakyat sering punya pendirian-pendirian yang tak mudah ditebak dari atas, yang juga tak selalu mudah untuk diubah. Tinggallah kini orang menunggu suatu tindakan, yang mengakui, bahwa apa pun pendirian rakyat itu, pada dasarnya mereka ingin tenang dan damai. Mereka tak ingin digertak dengan tuduhan-tuduhan yang pernah diobral selama kampanye. Indonesia, segera setelah 2 Mei 1977, memerlukan pemersatu. Bukan lagi tukang gebrak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus