ABRAHAM Lincoln yang kurus itu bangun dari puing perang saudara
Amerika, di mana ia terlibat. Sebelum "pemberontak" di daerah
selatan itu kalah samasekali, ia menjanjikan suatu perdamaian
yang adil. Ia berkata: "Tanpa kebencian kepada siapapun, dengan
bermurah-hati kepada semuanya". With malice towards none, with
charity for all.
Salah satu sesal yang terdengar di Amerika Serikat setelah
perang Vietnam selesai ialah: tak nampak seorang pemimpin pun
yang mampu menjadi pendamai bagi bangsa yang nyaris retak oleh
perbedaan pendapat tentang perang panjang itu. Ford bukan ukuran
Lincoln. Untunglah AS sudah biasa dalam merampungkan
perselisihan nasionalnya. Pemilu diselenggarakan, Carter
dipilih, dan suatu masa baru mulai.
Di Indonesia, pemilu bukan suatu perang saudara, tapi
ketegangannya bisa mirip. Apakah setelah ini, untuk memakai
kata-kata orang Indian, "kampak peperangan tidak ditanamkan
kembali" dan "pipa perdamaian tidak diisap"? Meskipun dalam arti
harfiah tak ada peperangan dan karena itu tak perlu perdamaian -
kecuali suatu kerukunan kembali?
Orang mengatakan, kita bukan bangsa pendendam. Lihatlah
bagaimana sikap kita kepada Belanda, katanya. Tatkala Ratu
Juliana berkunjung, sambutan begitu meriah. Seakan-akan di
antara kedua bangsa itu tidak pernah terjadi bunuh-membunuh,
sejak Sultan Agung mengirimkan pasukannya ke Batavia di abad
ke-17 sampai pada pengakuan kedaulatan di akhir dasawarsa ke-40
abad ini. Di muka Sri Ratu para pembesar tersenyum ramah, orang
dari zaman "tempo doeloe" begitu rupa, hingga kadang-kadang kita
bingung: adakah ini karena IGGI ataukah ini karena kita masih
senang membayangkan diri sebagai para bangsawan yang menyambut
pembesar Hindia-Belanda?
Mungkin karena pada dasarnya, seperti ditulis sejarawan M.C.
Ricklefs dalam Jogjakarta Under Sultan Mangkubumi yang terbit
dua tahun yang lalu, kita tidak pernah membenci orang Belanda.
Orang Jawa menganggap bangsa asing yang gendut, berkeringat dan
kasar itu dengan humor dan hormat.
Tapi dapatkah kita bersikap lebih baik kepada bangsa sendiri?
Tentu, tentu, begitu kata orang. Namun kenyataannya, ada di
antara kita yang melihat perbedaan pandangan politik seperti
detektif melihat perbuatan kriminil. Di antara sang detektif
dengan sang kriminil, per definisi, tak ada perdamaian. Dalam
sikap itu pula kita lihat kecurigaan yang selalu hidup, terutama
kepada "recidivist". Tokoh macam petugas polisi Javert dalam Les
Miserables Victor Hugo tumbuh subur: orang yang tak
henti-hentinya menguntit Jean Valjean, bekas penjahat itu --
meskipun ia sudah berubah sukma setelah padri baik yang
menyelamatkannya itu berkata: "Jean Valjean, saudaraku: kau
bukan lagi milik kejahatan, tapi milik kebaikan".
Petugas macam Javert memang tidak bisa siap untuk mengakui yang
tak terduga dalam kekayaan masalah manusia. Ia bertugas untuk
berburuk sangka dan curiga terus-menerus. Tapi kehidupan politik
dan kenegaraan tidak bisa diserahkan kepada mentalitas seperti
Javert. Kehidupan politik dan kenegaraan setiap kali memerlukan
rekonsiliasi, proses berbaik kembali. Dalam proses itu kelak
akan terlihatlah: pemilu ternyata hanya semacam turnamen bola.
Tapi bahwa masih teramat banyak amarah, ketakutan dan kekerasan
yang terjadi menunjukkan: ada yang salah dalam moralitas kita di
hari kemarin. Kita tak bisa mengulanginya. Kita hanya punya satu
negeri -- terlalu sayang untuk dikorbankan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini