TIDAK semua jawaban terhadap zaman dalam Islam menekankan pada syariah. Yakni pada hal-hal yang sifatnya lahiriah, berkait dengan hukum-hukum beragama yang benar. Ada juga yang mencari jawaban dengan menengok kembali pada hal yang lebih batiniah, mendasarkan penghayatan dan pengamalan Islam menurut pengalaman esoteris. Itulah yang dilakukan oleh para sufi. Dan tentu saja zaman modern melahirkan sufi modern atau yang oleh ulama Pakistan Fazlur Rahman disebut neosufi. Adapun makna ''neo'' atau baru di situ tak sekadar menunjuk pada kelahiran kembali sufisme, tapi juga mempunyai makna baru. Sufisme baru, berbeda dengan sufisme lama, bukanlah cara beragama yang hanya menekankan pada pengalaman batiniah, tapi memadukan yang batiniah itu dengan yang syariah. Aspek keseimbangan menjadi perlu. Neosufisme, tulis Nurcholish Madjid dalam makalahnya, Neosufisme dan Prospek Keberagamaan, cenderung menanamkan sikap positif kepada dunia. Ini berlawanan dengan sufisme lama yang cenderung menarik diri dari dunia, dan karena itu dikatakan sufisme itu antisosial. Contoh neosufi yang nyata di Indonesia, menurut Nurcholish, adalah Almarhum Profesor Hamka. Dalam bukunya, Tasauf Modern, Hamka menganjurkan penghayatan agama secara batiniah yang mendalam tanpa pengucilan diri, melainkan justru aktif dalam masyarakat. Cara beragama yang mencoba memadukan penghayatan secara batiniah dengan imbangan syariah yang dinamakan neosufisme ini sebenarnya bukan hal baru. Di Abad Pertengahan neosufisme sudah mewarnai khasanah pertumbuhan Islam. Fazlur Rahman, antara lain, meng- anggap Ibn Taimiyyah (wafat 1327 Masehi), yang menganjurkan orang bertahajud dan tetap tanggap terhadap panggilan hidup, sebagai pionir neosufisme. Neosufisme terus menggelinding sejak Ibn Taimiyyah. Ahmad al- Qusashi, ulama Arab yang wafat di tahun 1661 Masehi, guru dari Abdul Rauf Singkel dan Muhammad Yusuf al-Maqassari (dua ulama penyebar neosufisme di Indonesia), misalnya. Ulama besar itu selain menekankan penghayatan agama secara batiniah, ia pun meng- imbau agar kaum muslim meninggalkan kemalasan dan kebodohan dengan menggunakan waktu untuk tujuan bermanfaat. Menurut Ahmad al-Quashi, kaum sufi yang sebenarnya adalah mereka yang menganjurkan kebaikan dan mencegah kemungkaran, membantu orang sakit dan miskin, dan membebaskan mereka yang tertindas. Ada satu prinsip neosufisme yang disebut-sebut oleh Azyumardi Azra, dosen Pasca-Sarjana IAIN Jakarta, yakni soal pluralisme. Kaum neosufi sangat menekankan pada kemajemukan itu, dan siap melakukan rekonsiliasi. Mereka lebih menekankan pada inklusivisme dan bukannya eksklusivisme. Berdasarkan ukuran-ukuran itu, tampaknya, sejumlah muslim di Indonesia bisa digolongkan sebagai kaum neosufi, setidaknya arah penghayatan keagamaan mereka ke sana. Lihat saja, kini banyak kaum profesional yang melakukan zikir dan selalu pasrah pada Allah dengan memutar-mutar butiran tasbih atau membaca Quran di mobil di sepanjang jalan sambil tak lupa memikirkan transaksi- transaksi dagang yang bakal dilakukannya. Seorang ahli pertanian yang bergelut di Bank Muamalat, Jakarta, misalnya, sepanjang hari, baik di dalam mobil, di jalan-jalan, atau di berbagai pertemuan, tak pernah berhenti berzikir menyebut asma Allah. Seorang direktur di sebuah perusahaan besar di Jakarta juga bahkan kabarnya sepanjang perjalanan dari kantor ke rumah mampu membaca Quran sebanyak lima juz. Repotnya, tak mudah mengutip ucapan mereka bahwa mereka memang seorang penganut neosufisme. Lebih sulit mendapatkan pernyataan atau isyarat dari orang-orang yang terus berzikir sambil terus juga memikirkan kegiatan duniawinya tentang filosofi keberagamaan mereka daripada menemukan kelompok-kelompok pengajian eksklusif. Tapi mungkin begitulah hakikat kaum neosufi: selalu berendah hati dan menghindari publikasi bahwa mereka penganut neosufisme. Sejauh ini hanya ada cerita dari Azyumardi Azra tentang seorang yang dianggapnya menjalankan penghayatan dan pengamalan beragama menurut semangat neosufisme. Suatu ketika, tutur Azyu, ia mengatakan kepada Nurcholish Madjid, mendengar dan membaca berbagai pikiran rekannya itu, ia menduga bahwa Nurcholish seorang neosufi. Nurcholish tak membantah, juga tak mengiyakan. Ia hanya tertawa. Yang jelas, Nurcholish adalah pemikir Islam yang juga menganjurkan pentingnya pluralisme. Ia pun menganjurkan cara beragama yang hanif, cara bergama yang pasrah, yang lapang, dan penuh toleransi. Di zaman ketika individu bebas memilih keyakinan masing-masing, memang sulit membayangkan suatu kehidupan damai yang menolak pluralisme. Usaha Nurcholish untuk mengabsahkan pluralisme bertolak dari surat Al-Nahl: ''Sungguh telah Kami bangkitkan dalam setiap umat (golongan manusia) seorang rasul (dengan pesan), ''(Wahai umatku), sembahlah olehmu sekalian Allah (Tuhan Yang Mahaesa), dan jauhilah thaghut!'' Nurcholish menyimpulkan bahwa inti dari ajaran semua nabi dan rasul sama, yakni Ketuhanan Yang Mahaesa dan perlawanan terhadap kekuatan- kekuatan tiranik (thaghut). Dengan pandangan-pandangan neosufisme semacam itu Azyumardi menyimpulkan, di zaman dunia makin konsumeristis dan materialistis, di zaman ketika saling toleransi sangat diperlukan untuk hidup berdampingan secara damai, pandangan neosufismelah yang tampaknya lebih punya masa depan. Tetap mengingat Allah, tanpa melupakan kewajiban di dunia, adalah sikap yang positif bila dibandingkan dengan pandangan dan sikap yang kaku dari bermacam gerakan alternatif yang kini tumbuh di mana-mana. Agus Basri, Indrawan, dan Ahmad Taufik
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini