BEGITU mendapat giliran bertanya, mahasiswa Insitut Agama Islam Negeri Bandung itu mendekati mikrofon. Lalu dari pengeras suara terdengar suaranya bergetar, ''Munculnya gerakan-gerakan ini membingungkan kami. Apalagi aktivisnya saling mengklaim gerakannya yang paling benar. Lalu mana yang terbaik untuk diikuti?'' Empat pembicara, yang duduk sejajar di depan sekitar 300 peserta diskusi, terhenyak. Itu terjadi pada Diskusi Mencari Titik Temu Gerakan Dakwah Islam di Universitas Padjadjaran, Bandung, Ahad pertengahan Maret silam. Gedung tempat pertemuan itu pun riuh rendah. Peserta diskusi, yang sebagian besar mahasiswa, duduknya diatur oleh panitia sedemikian rupa sehingga para wanita, yang semuanya berjilbab, duduk di barisan buntut. Lalu para hadirin pria berkelompok dalam grup masing-masing. Itu mudah dilihat dari cara berkapakain mereka. Yang bergamis dan bersorban berkumpul dengan mereka yang begamis dan bersorban. Kelompok lain bercelana yang panjangnya hanya sampai di atas mata kaki, dan berjenggot lebat. ''Sedianya kami undang masing-masing pimpinan gerakan dakwah itu, tapi semuanya berhalangan. Jadinya ini kembangan saja,'' kata Fahmi Lukman, Ketua Umum Dewan Keluarga Masjid Unpad penyelenggara acara itu. Mungkin karena yang hadir hanya ''kembangan'', maksudnya bukan pimpinannya, itulah maka diskusi sehari itu tak sampai tuntas membahas titik temu, meski rasanya tetap ada upaya untuk saling memahami ciri khas masing-masing. Gerakan? Jangan bayangkan gerakan dakwah di sini yang konvensional, macam NU, Muhammadiyah, atau Persis, yang sudah punya pakem tersendiri. Bukan pula aktivitas dakwah umumnya di kalangan mahasiswa, seperti Masjid Salman di Institut Teknologi Bandung, atau Jamaah Salahudin di Universitas Gajah Mada. Tapi gerakan di sini kerap mereka sebut dengan istilah Arab harakah benar-benar ''baru'', dan umumnya hidup di kampus-kampus. ''Jumlah gerakan baru ini kalau cuma sepuluh harakah ada,'' ujar seorang tokoh dari salah satu gerakan asal Bogor. Tokoh itu kemudian menyebutkan beberapa nama: Ikhwanul Muslimin, Hizb al-Tahrir, Tarbiyah, Salafiyah, Darul Arqam, Jamaah Tabligh. Ide gerakan ini umumnya berasal dari luar, terutama Timur Tengah. Semangat mereka satu: membangkitkan kembali kejayaan Islam. Itulah cara mereka menjawab tantangan zaman, ketika sejumlah hal mereka anggap tak sesuai dengan ajaran Islam. Ada yang mengharamkan musik (Barat) dan teknologi. Tapi ada pula yang bersikap biasa-biasa saja, atau moderat. ''Gerakan ini sangat cepat berkembang di kalangan mahasiswa dan tendensinya sangat revivalis,'' kata Azyumardi Azra, dosen Fakultas Pasca-Sarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, pengamat kecenderungan ''baru'' ini. Berikut ini hasil pengamatan TEMPO di lapangan, tentang gerakan yang mencoba memberi alternatif pemahaman dan pengamalan Islam, yang menurut mereka merupakan jawaban bagaimana beragama yang benar. DARUL ARQAM: Mereka berkerumun di sekitar Jalan Margonda, dekat Kampus Universitas Indonesia di Depok, di perbatasan Jakarta-Bogor. Yang pria umumnya memakai gamis warna kelabu atau gelap, dan bersorban. Kumis mereka tipis, jenggot tebal. Tak hanya dalam salat, makan pun, mereka mengutamakan berjamaah: nasi dan lauk dikerubut dari talam yang sama. Kaum wanitanya berbaju hitam- hitam, menutup sekujur tubuhnya, bercadar, dan hanya tampak kedua matanya dan baru dibuka saat berada dalam ''kawasan perempuan'' atau hanya berada bersama muhrimnya. ''Pakaian begini ini ibarat gula, baru tahu manisnya setelah dipakai,'' ujar pimpinan Arqam kawasan Jakarta dan Bogor, Mohammad Jundullah. Mahasiswa Jurusan Elektro Universitas Indonesia berusia 25 tahun ini semula bernama Halilintar Anovial, dan baru bergabung dengan Arqam di tahun 1989. ''Dulu saya awam tentang agama, hanya sibuk bermain golf,'' kata sang amir yang mengaku ''telah mendapat kebenaran dan kebahagiaan'' di Arqam itu. Di markas Darul Arqam yang berdekatan dengan rumah penduduk itu ada kafetaria Sayidatina Siti Khadijah yang menjual kebutuhan sehari-hari. Ada juga salon khusus muslimah, toko buku, kaset, dan video Islam. Mereka pun melayani pesanan desain gambar untuk kaus oblong, juga spanduk. Ada ruangan desain grafis, yang menerima pengetikan dengan komputer. Gerakan ini memang tak hanya bersemboyan boleh berbisnis, asalkan tak bertentangan dengan syariat. Darul Arqam pun mengutamakan hidup atas usaha sendiri. Maka mereka mempunyai pabrik kecap di Tasikmalaya, Jawa Barat. Usaha rekaman kasetnya sudah menerbitkan 26 seri nasyid, nyanyian khas Arab. Didirikan oleh As-Syaikh As-Sayyid Muhammad bin Abdullah As- Suhaimi, atau singkatnya Muhammad Suhaimi, Darul Arqam kini berkembang di banyak tempat. Muhammad Suhaimi lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, pada tahun 1295 H. Dari silsilahnya dia keturunan ke-33 dari Nabi Muhammad SAW, begitulah kata para pengikutnya. Tokoh ini pernah dianggap ''kiai agung'' di Malaysia dan Singapura, dan mengundang kontroversi lewat ajarannya: Awrad Muhammadiyah yang mirip tarekat, mengamalkan bacaan istighfar 50 kali usai salat wajib, dilanjutkan baca surat Al-Ikhlas dan salawat Nabi 50 kali. Amalan ini, begitu keyakinan mereka, langsung diamanatkan oleh Nabi kepada Suhaimi tak tanggung- tanggung, dari dalam Kabah di Mekah. Dan konon wirid itu hingga kini diwajibkan bagi jamaah Arqam. Darul Arqam sendiri mendambakan diterapkannya strategi dakwah ala Nabi Muhammad SAW. Dimulai dengan membentuk perkampungan ''Islami'', yang dihuni para muslimin dan muslimat, seterusnya (diharapkan) menjadi daerah, dan kemudian negeri Islam. ''Jika negeri sudah Islam, ikhwal negara Islam tak lagi menjadi soal politik,'' kata Ustad Haji Ashaari Muhammad, 54 tahun, ketua Arqam sekarang. ''Kami mau merebut hati siapa saja, bukan soa politiknya,'' kata Ashaari. Bertolak dari sebidang tanah seluas 2,5 ha di Sungai Penehala, 12 km dari Kuala Lumpur, Malaysia, di tahun 1972, kini Darul Arqam tersebar di segenap penjuru. Mulai dari Pakistan sampai Selandia Baru, mulai dari Australia sampai ke Jepang, bahkan sampai di AS, Jerman, dan Perancis. Di Indonesia, gerakan ini tersebar selain di Jakarta dan Bogor, juga di Yogyakarta dan Surabaya. Mungkin hanya Sumatera Barat yang tak memberinya pijakan. Ini lantaran Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia Bukittinggi, pada tahun 1990, lewat Ketuanya, Buya Syamsuddin, menilai buku pegangan Arqam, Awrad Muhammadiyah itu tadi, ''menyimpang dari Islam''. JAMAAH TABLIGH: Sebagaimana kelompok Arqam, umat Jamaah Tabligh bergamis panjang, memanjangkan jenggot. Tambahannya, mereka ini masih menggunakan sikat gigi zaman Rasul, yakni siwak. Makan pun, sebagaimana Arqam, disantap berkelompok, pakai tangan, dalam nampan yang sama, dengan duduk menekuk kaki kanan, dan pantat menyentuh tapak kaki kiri hal-hal yang mereka yakini sebagai ''sunah Nabi''. Sesuai nama gerakan ini, aktivitas ''dakwah'' amat mereka tonjolkan. Itu mereka lakukan, di antaranya dengan cara keluar (khuruj) dari rumah ke rumah, dan dari mesjid ke mesjid, dengan acap berjalan kaki. Kadang mereka melakukan perjalanan ke luar negeri. ''Biaya perjalanan ditanggung sendiri oleh jamaah,'' kata ketua Tabligh untuk Indonesia, Letkol CPM (Purnawirawan) Ahmad Zulfakar, 64 tahun. Selama khuruj tadi, biasanya jemaah tinggal di mesjid-mesjid yang dituju. Kegiatan ini bisa dilakukan selama 3 hari, seminggu, atau sebulan dalam setahun. ''Atau setidaknya 40 hari selama hidup,'' kata seorang aktivisnya. Usai salat biasanya dilanjutkan dengan bayan, ceramah pencerahan, yang dilakukan salah seorang anggotanya. Nah, selama berkelompok melalukan khuruj atau bayan ini ditunjuk salah seorang sebagai amir. Dan selama itu sejumlah pantangan digariskan: bicara politik, khilafiyah, minta sedekah, menggunjing aib masyarakat, menghina pemerintah, golongan, atau perorangan tertentu. Praktis tak ada perdebatan fikih. ''Motonya, kalau salah segera perbaiki, dan tak perlu polemik,'' ujar Zulfakar, ketua Tabligh. Gerakan ini muncul pertama kalinya di India tahun 1930. Pendirinya bernama Syaikh Maulana Muhammad Ilyas (1887-1948), ulama kelahiran Desa Kendahlah, Saharnapur, India. Ia belajar pertama kalinya pada kakak kandungnya, Syaikh Muhammad Yahya, seorang guru madrasah di Saharnapur, yang menganut mazhab Imam Hanafi. Teman dekat sang syaikh tak lain adalah penulis dan ulama kondang Syaikh Abu al-Hasan Ali- Al-Hasani al-Nadawi, Direktur Darul Ulum, di Lucknow, India. Sepeninggal Syaikh Ilyas, kepemimpinan diteruskan putranya, Syaikh Muhammad Yusuf Kandahlawi (1917-1965), penulis kitab Hayat al-Sahabah dan Amani Akhbar. Ia digantikan putranya, Syaikh Muhammad Harun. Menurut Zulfakar, Tabligh masuk ke Indonesia tahun 1952, dan mulai berkembang di mesjid Jamik Kebon Jeruk, Jakarta Pusat, tahun 1974. ''Awalnya muncul karena rusaknya umat. Mental umat sudah bobrok, banyak masjid yang melompong. Tidak ada jalan memperbaikinya selain kembali pada ajaran Rasulullah,'' kata Zulfakar yang, saat ditemui TEMPO di masjid Kebon Jeruk, berpakaian safari kantoran. Zulfakar tak mengelak bahwa ada kaitan antara Tabligh di sini dan pusatnya di India. ''Kami hanya mencontoh yang kami anggap berhasil di sana,'' kata sang amir yang berjenggot tipis ini. Kini, katanya, Tabligh sudah terserak di 27 provinsi, masuk kawasan transmigrasi, juga penjara. Ada di Aceh, Medan, Lampung, Solo, Surabaya, Ujungpandang, Banjarmasin, Ambon, hingga Manokwari. ''Banyak kalangan intelektual, termasuk mahasiswa, yang bergabung dalam Tabligh, termasuk alumnus UI dan kampus lainnya,'' kata sang amir. Gerakan ini juga marak di sejumlah negara ASEAN, Eropa, Australia, dan Timur Tengah. Kecuali, kata Zulfakar, di Irak dan Iran. Di dua negara itu tampaknya Tabligh yang damai ini tidak laku. Setiap tahun di kota tertentu (di Jakarta, di kawasan Ancol), biasanya dilangsungkan ijtimak pertemuan akbar antar-mereka. Biasanya pertemuan ini dibanjiri oleh ribuan jamaah, dan mengundang syaikh-syaikh atau maulana dari Arab, yang lantas memberikan ceramah pencerahan. Materi dakwah Tabligh bisa disimak dari buku pegangan mereka yang terdiri dari 12 judul, di antaranya tentang risalah keutamaan salat, zakat, zikir, Ramadan. Jamaah juga diajari ''membersihkan hati'' melalui kitab Riyadus Shalihin karya Imam Nawawi. ''Yang saya rasakan adanya kasih sayang di antara sesama muslim,'' kata Abdul Karim, salah seorang jamaah Tabligh berusia 53 tahun. Ajaran Tabligh mengatakan, taqlid pada mazhab tertentu adalah wajib hukumnya. Implikasinya, tak ada ijtihad, dengan dalih bahwa kini tak ada ulama yang pantas digelari mujtahid. Ada sementara anggapan, melirik gayanya yang sufistik, Tabligh yang berpusat di Nizhamuddin, India, ini terpengaruh tarekat Justiyyah di India, dan Jamaah Al-Nur di Turki. HIZB AL-TAHRIR Hizb al-Tahrir atau Partai Pembebasan ini didirikan oleh Al- Ustadz Taqiyyuddin An-Nabhani di tahun 1953 di Libanon. Nabhani dikenal sebagai pemikir dan politikus ulung, menjabat hakim pada Mahkamah Agung di Yerusalem. Ia kemudian digantikan oleh Abdul Qadim Zallum. Hizb al-Tahrir berkembang di Timur Tengah, khususnya Yordania, dan seperti tertera dalam ''konstitusi'' Tahrir, gerakan ini bertujuan ''melangsungkan kehidupan Islam dan menegakkan kembali khilafah Islam''. Ini, ujar pemimpinnya, seraya mengutip hadis, ''Telah dijanjikan Rasulullah.'' Kendati Hizb al-Tahrir atau HT begitu para aktivisnya menyebut gerakan ini sepertinya terbatas di Timur Tengah, ''buku-buku dan pemikirannya tersebar luas di seluruh dunia, termasuk Eropa dan Amerika, juga di Indonesia,'' kata ustad, yang menyebarkan ide gerakan ini di Asia, kepada TEMPO. Di Indonesia ide-ide Tahrir mulai diperkenalkan di tahun 1987, terutama di kampus-kampus umum di kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Yogyakarta, juga di kota hujan Bogor. Selebaran, brosur, dan diktat berisikan materi gerakan ini tersebar terbatas di kalangan mahasiswa tertentu. Di Indonesia, karena Hizb al-Tahrir bisa dikatakan sebagai organisasi yang longgar bentuknya, para pengikutnya tak begitu ''keras'' dalam urusan tampak luar, seperti dalam soal jenggot, gamis, dan sejenisnya. Zikir pun tak dituntutkan secara khusus. Pula, salat malam tak diwajibkan. ''Soal wiridan dan akhlak kami serahkan kepada yang bersangkutan. Tak ada pelembagaan yang mengikat,'' kata sang ustad yang berpesan agar identitas dirinya tak disebarluaskan. Menonton TV, menikmati alunan musik, tidak diharamkan. ''Kami ini biasa saja dalam memandang teknologi, kalau sampai diharamkan, rugi dong tak bisa nonton bola,'' kata salah seorang mahasiswa pengikut Tahrir seraya memencet-mencet tuts komputernya. Mahasiswa itu merasa beruntung bahwa di Indonesia, Tahrir atau gerakan yang dianggap mirip Tahrir tak dianggap musuh oleh Pemerintah. Soalnya, tuturnya selanjutnya, banyak tokoh Tahrir yang ditahan, bahkan dibunuh di Irak, Suriah, Lybia, Yordania, Mesir, dan Tunisia. Itu sebabnya Hizb al-Tahrir di negara- negara itu bergerak di bawah tanah. ''Sampai-sampai kitab-kitabnya, demi pengamanan, dipendam dalam tanah oleh para tokoh Tahrir sendiri,'' tutur sang mahasiswa. Meski secara ekslusif sebenarnya kelompok Tahrir di Indonesia tak ada, kata A.R. Naser, dai Tahrir di kawasan Asia ini, penyebaran ide-ide Tahrir dilakukan dengan sistematis. Mula-mula dipraktekkan metode pembinaan dalam lingkaran terbatas (halaqah), dengan mempelajari 23 kitab rujukannya. Di antara kitab-kitab itu ialah: Nizhamul Islam (Peraturan Hidup dalam Islam), An- Nidzamul Iqtisadi fil Islam (Sistem Ekonomi dalam Islam), Asy- Syakhsiyatul Al-Islamiyah (Membentuk Kepribadian Islam), hingga Naqdul Isytiraakiyatul Marksiyah (Kritik terhadap Sosialis-Marxis). ''Kami memang fundamentalis, dan ingin menerapkan Islam secara total dalam kehidupan sehari-hari,'' kata sekelompok mereka ketika ditemui TEMPO. Meski mereka menerima wartawan TEMPO dan bersedia menjawab beberapa pertanyaan, mereka tetap menolak membuka diri untuk sebuah pemberitaan. ''Banyak upaya mengkaji gerakan Islam dari luar,'' kata salah seorang di antara kelompok Tahrir itu. Khususnya dari Timur Tengah. Ada sekitar 10 gerakan asing yang mendapat pengikut di Indonesia ini, tambahnya. Mengapa gerakan itu mendapat pengikut? ''Kami menilai Muhammadiyah dan NU bukan gerakan. Dakwah mereka bukan untuk mengubah masyarakat menjadi Islami, tapi hanya melakukan perbaikan di bidang pendidikan,'' jawabnya. Hizb al-Tahrir di banyak negara umumnya tampil secara sembunyi- sembunyi. Tujuan mereka memang bisa dianggap mengganggu pemerintah setempat bila dakwah mereka dibolehkan dilakukan secara terbuka. Tujuan itu adalah mendirikan negara Islam menurut kaidah Hizb al-Tahrir sendiri. Tapi tampaknya gerakan ini lemah secara organisasi. Mungkin karena harus bersembunyi tadi, hubungan kelompok Tahrir di satu negara dengan kelompok Tahrir di negara lain tidak terkelola dengan baik. Bahkan, menurut sebuah sumber, antar-Tahrir di satu negara dan negara lainnya saling bertentangan. Yang kini dianggap pimpinan pusat, Abdul Qadir Zallum, pun harus menyelamatkan diri dengan dakwah berpindah- pindah. ''Kadang ia di Mesir, kadang di Sudan, dan kadang entah di mana,'' tutur sumber tadi. DAARUT TAUHID Zikir, tanpa melupakan ikhtiar, merupakan makanan sehari-hari di pesantren ini. Pesantren ini sendiri berbentuk rumah di tanah 420 m2, yang dibeli seharga Rp 97 juta, dan para santrinya kebanyakan mahasiswa. Zikir di sini khas, tak merujuk pada kitab klasik Al- Adzkar karya Imam Nawawi, misalnya. ''Tapi dzikir yang saya kembangkan terdapat dalam kitab Hasan Al-Banna, tokoh Ikhwanul Muslimin,'' papar ustad muda dari Daarut Tauhid ini. Ikhwan adalah gerakan dakwah yang berasal dari Mesir. Daarut Tauhid, atau pesantren ''bengkel akhlaq'', itu terletak di kawasan permukiman padat di Geger Kalong Girang, Bandung Utara, tak jauh dari IKIP Negeri Bandung. Didirikan oleh Ustad Abdullah Gymnastiar, kini 31 tahun, pada tahun 1990. Sang ustad bercita- cita, dengan Daarut Tauhid bisa diciptakan seorang muslim yang ''ahli pikir, ahli zikir, dan ahli ikhtiar''. Ustad Abdullah sehari-harinya berkemeja putih lengan panjang, bersarung, bersorban putih, yang katanya sengaja ia pakai ''Untuk memperkuat penampilan.'' Pesantren serupa Tauhid yang banyak diminati mahasiwa terserak di Bogor ada Ulil Albab, Darul Falah, Ihya, Al-Ghazali antara lain. Di Balikpapan dan Surabaya ada Syarief Hidayatullah. Dan di Malang ada Nurul Haramain. Kini pesantren Daarut Tauhid mempunyai 100 santri yang mukim, dan sekitar 2.000 santri, kebanyakan mahasiswa, tersebar di seantero Jawa Barat. ''Anak muda yang datang umumnya lantas berakhlak baik,'' kata Ustad Abdullah Gymnastiar, bekas mahasiswa jurusan elektro di sebuah universitas swasta. Tujuh tahun lalu Abdullah berkeinginan belajar Islam pada sejumlah ajengan. Keinginannya makin kuat setelah ia menunaikan ibadah haji, 1987. ''Saya belajar pada setiap orang, dan mazhab saya mazhab silaturahmi,'' katanya. Jangan dikira di pesantren ini para santrinya dijejali kitab melulu. Lihat, mereka dibekali ilmu manajemen, dilatih melakukan pertolongan darurat (semacam SAR) termasuk memberikan pertolongan dalam kebakaran. Tiap malam Jumat mereka pergi ke hutan. Ada pula acara renang bersama di kolam khusus di Cicalengka tiap Ahad. ''Kami tidak eksklusif, memang. Kami siap menerima masukan dari mana pun, dan akan kami jadikan bahan kajian,'' kata ustad yang memimpin pesantren yang punya 14 usaha itu: percetakan, angkutan umum, grosir, komputer yang nilai asetnya Rp 175 juta, misalnya. Itulah gerakan-gerakan yang disadari atau tidak mencoba memberikan alternatif pada, terutama, generasi muda. Ada yang terbuka, macam Tabligh dan Arqam, banyak yang tertutup macam Hizb al-Tahrir. Beberapa pengamat menyebut yang tertutup bernapaskan fundamentalisme. Mungkin penyebutan seperti itu terlalu tergesa- gesa bila dengan istilah itu dimaksudkan mereka merupakan kelompok radikal yang punya cita-cita politis. Tapi bila dengan istilah itu dimaksudkan bahwa mereka ingin menegakkan kembali pemahaman dan pengamalan Islam secara murni, mungkin istilah itu agak cocok. Meski harus dicatat, yang murni itu bisa diperdebatkan tanpa ada kata putus. Tanpa pengamatan yang dekat dan ini menurut pengalaman wartawan TEMPO susah dilakukan oleh mereka yang tak langsung bergabung menjadi anggotanya sulit diduga ke mana perkembangan kelompok- kelompok alternatif itu. ''Wadah harakah ini akan teruji waktu,'' kata Husein Zainuddin, seorang pembicara dalam diskusi di Unpad itu. Kesimpulan sementara, setelah berbincang-bincang sesaat dengan berbagai kelompok itu, tampaknya yang berwajah moderat yang bisa menawarkan masa depan. Kelompok yang eksklusif tampak selalu curiga pada pihak ''luar'', meski punya pengikut dan tampak militan, mungkin sulit berkembang di zaman ketika ekonomi relatif memberikan atau menjanjikan kehidupan yang lebih baik. Umumnya mereka yang secara ekonomi terjamin dan merasa aman tak mudah ditarik menjadi militan. Dan kenyataan bahwa tak semua kelompok punya hubungan satu sama lain, sulit menduga mereka punya kekuatan organisasi untuk mengubah pemahaman dan pengamalan Islam secara besar-besaran. Memang ada yang mencemaskan, sepuluh atau lima belas tahun lagi terbuka kemungkinan kelompok yang disebut-sebut sebagai fundamentalis akan berkembang dan menjadi arus besar. Tapi bila perkembangan ekonomi sebuah negeri terjamin, kawasan yang bisa menampung gerakan radikal rasanya hanya sempit. Selain itu kelompok moderat akan menjadi tandingan yang tak kalah menariknya sebagai alternatif lain untuk memahami Islam kembali. Wahyu Muryadi dan Biro-Biro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini