Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Neo-modernisme cak nur

Pro-kontra terhadap gagasan nurcholish masih berlanjut. neo-modernisme islam lebih mempunyai prospek dan mungkin dipraktekkan ketimbang gerakan revivalisme. pemikiran cak nur perlu diterjemahkan.

3 April 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HIKMAH apa yang bisa diambil dari kontroversi terhadap gagasan- gagasan keagamaan Nurcholish Madjid di Taman Ismail Marzuki, 21 Oktober tahun lalu? Pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tidak hanya karena kompleksitas motif-motif yang mendasarinya yang mewarnai kontroversi yang ditimbulkannya, tapi juga perdebatan itu masih jauh dari selesai. Bahkan ada indikasi, tarik tambang antara kelompok pro dan kontra terhadap gagasan Cak Nur semakin keras di masa mendatang. Tapi jelas, oposisi terhadap gagasan-gagasan ''neomodernisme'' Cak Nur, demikian Nurcholish dipanggil, relatif keras. Ini cukup mengagetkan. Reaksi terkeras dimunculkan oleh majalah Media Dakwah. Di bawah itu ada indikasi terdapat cukup besar arus reaksi, berbentuk oposisi frontal, kebingungan, sampai pada kekecewaan. Orang boleh beralasan, Cak Nur lebih bergerak pada tataran ide, bukan pada tingkat praktis yang lebih berorientasi pada pemecahan masalah-masalah riil yang dihadapi umat. Tetapi ini tidak menutupi kenyataan oposisi itu cukup kontras dengan terjadinya berbagai perkembangan sosial, yang diakui Cak Nur sendiri selaras dengan gagasan liberalisasi semacam ''Islam Yes, Partai Islam No'' yang dilontarkannya lebih dari dua dasawarsa silam. Dengan kata lain, yang terjadi sebenarnya adalah semacam ''penerimaan semu'' setidaknya dalam lapisan umat tertentu atas gagasan- gagasan Cak Nur. Sangat boleh jadi juga, perkembangan yang dinilai selaras itu justru menumbuhkan potensi baru yang bertolak belakang dengan asumsi kaum neomodernis. *** Pada dasarnya, dalam dua dasawarsa terakhir tidak terjadi sosialisasi yang lebih intens atas gagasan-gagasan pembaruan Cak Nur. Gagasan-gagasan pembaruan itu mandek atau terhenti pada lapisan tertentu yang menjadi inti kaum neomodernis. Semakin banyaknya lapisan masyarakat kita yang berpendidikan tinggi karena itu lapisan ini diasumsikan kian terbuka dan rasional seolah-olah memberikan lahan yang lebih kondusif bagi gagasan- gagasan keagamaan liberal dan inklusif. Tapi tingkat pendidikan tidak selalu merupakan pertanda baik bagi liberalisasi paham keagamaan. Dalam banyak kasus yang terjadi adalah kebalikannya: terjadi proses pengentalan pemahaman dan sikap keagamaan yang sering sangat emosional, dan dengan demikian tidak rasional. Upaya liberalisasi paham keagamaan masyarakat karenanya terlalu kompleks untuk sekadar dinisbahkan dengan tingkat pendidikan, atau bahkan dengan anomali masyarakat akibat perubahan sosial yang berlangsung demikian cepat untuk sedikit latah pada masa globalisasi sekarang. Karena itu, diperlukan penafsiran dan analisa kritis untuk memetakan semua gejala yang ada secara lebih akurat. Gejala penegasan kembali Islam yang sering muncul dalam bentuk fundamentalisme tidak bisa hanya dihadapi dengan pendekatan normatif, tapi juga dengan alternatif pemikiran keagamaan yang berangkat dari kenyataan sosio-historis yang riil. Kaum neomodernis seperti Cak Nur memang sering memperkaya gagasan mereka dengan analisa sosio-historis. Tapi analisa seperti itu terkesan tidak selalu menjadi titik tolak dalam perumusan pemikiran keagamaan. Bahkan, analisa sosio-historis itu sering dikaburkan dengan pemikiran teofilosofis yang ''terlalu'' liberal dan kompleks untuk dipahami masyarakat umum. Akibatnya, terciptalah perbedaan intelektual yang cukup akut antara kaum neomodernis dan masyarakat umum. Di sinilah muncul kesan atau penilaian bahwa gagasan kaum neomodernis itu ''elitis'', ''tidak membumi'', dan terlepas dari realitas masyarakat. Benar, oposisi terhadap Cak Nur terakhir ini sering tidak ilmiah, baik secara metodologis maupun bahasa. Singkatnya, tidak sesuai dengan norma-norma Islam mengenai diskursus intelektual. Tapi ini justru mengindikasikan terjadinya semacam proses peragian dan radikalisasi intelektual di dalam kelompok-kelompok yang alergi terhadap gagasan pembaruan neomodernis. Radikalisasi itu disebabkan banyak faktor yang bekerja baik pada tingkat lokal maupun global, yang pada gilirannya mendorong semakin banyak kaum muslim yang teralienasi untuk memahami dan memegang Islam secara lebih eksklusif dan ketat. *** Hanya sedikit tersisa keraguan, neomodernisme Islam lebih mempunyai prospek dan mungkin dipraktekkan ketimbang gerakan revivalisme. Tema-tema yang dikembangkan neomodernisme semacam pluralisme dan inklusivisme, tak bisa ditolak, secara signifikan akan manandai perkembangan masyarakat pada masa datang. Ideologi keagamaan neomodernisme menemukan landasan yang kuat pada pemikiran klasik Islam yang dipadukan dengan analisa-analisa tentang perkembangan sosio-kultural masyarakat, dan bahkan kritisisme yang tajam terhadap Barat. Karena itu, sangat tidak proporsional menuduh gagasan neomodernis keluar dari batas- batas Islam. Persoalannya kemudian, kaum neomodernis dituntut untuk tidak hanya melakukan evaluasi lebih jujur terhadap paradigma pemikiran yang dikembangkannya. Tapi mereka juga diharapkan memberikan jawaban yang lebih komprehensif dalam berbagai aspek kehidupan umat. Jelasnya, mereka diharapkan tidak terpaku hanya pada pemikiran-pemikiran yang bersifat teofilosofis, tetapi juga merambah pada bidang kehidupan sosial yang lebih luas, dengan menekankan dimensi praktisnya. Mungkin terlalu berlebihan mengharap semua ini dari Cak Nur. Diperlukan ''lapisan kedua'' kaum neomodernis yang berfungsi menerjemahkan gagasan-gagasan Cak Nur ke tingkat yang lebih praktis. Sulit membayangkan gerakan revivalisme yang cenderung amat normatif, idealistik, a-historis, dan anti-intelektualisme mampu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi masyarakat sekarang dan masa mendatang. Watak alamiah revivalisme yang reaksioner, tidak memungkinkan mereka membangun metodologi pemikiran yang sistematis. Watak yang pada gilirannya menghambat mereka dalam mengembangkan gagasan-gagasan pembaruan yang kreatif dan responsif. *)Dosen sejarah Islam Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus