Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah tiang beton setinggi dua meter terpancang di pinggir Pantai Tratas, Kecamatan Muncar, Banyuwangi. Itulah satu-satunya beton yang telah ditanamkan di lahan seluas setengah hektare tersebut. Sisanya, 30 kolom pejal sudah dua bulan ini teronggok. Di dekatnya, spanduk putih sepanjang satu meter masih terpasang. Meski tintanya mulai luntur, tulisannya masih terbaca: ”Menolak Proyek IPAL di Dusun Tratas”.
Area itu merupakan bekas proyek instalasi pengolahan air limbah (IPAL) terpadu milik Kementerian Lingkungan Hidup. Proyek senilai Rp 9,5 miliar itu gagal terealisasi. Warga menolak karena proyek itu berjarak hanya empat meter dari permukiman penduduk. Sebanyak 21 rumah retak-retak setelah satu batang beton itu ditanam sedalam 14 meter.
Naning Mardiyana, 29 tahun, bercerita bahwa ia tiba-tiba merasakan getaran mirip gempa setelah magrib, 8 September lalu. Warga semburat lari keluar karena khawatir rumahnya ambruk. Tiba di pinggir pantai, warga menyaksikan sejumlah pekerja sedang menanamkan tiang pancang. ”Setelah kami kembali ke rumah, dinding rumah sudah retak-retak,” katanya Rabu pekan lalu.
Enam puluh keluarga berunjuk rasa meminta proyek dihentikan. Aksi terbesar terjadi pada 12 November 2012 dan berakhir ricuh. Proyek pun dihentikan. Rencananya, pengolah limbah terpadu dibangun untuk menangani limbah dari delapan perusahaan pengolahan ikan yang berdiri di Tratas. Instalasi itu dibangun setinggi dua meter dengan kapasitas 5.000 meter kubik. Setelah diolah, limbah aman dibuang ke laut.
Di Kecamatan Muncar, satu jam perjalanan dari Kota Banyuwangi ke selatan, terdapat 165 perusahaan pengolahan ikan sarden dan pindang, pembuatan tepung dan terasi, serta pembekuan ikan. Namun perusahaan yang rata-rata berdiri pada 1970-an itu tak satu pun memiliki mekanisme pembuangan limbah yang memenuhi standar. Mereka biasanya langsung membuang limbah cairnya ke sungai dan laut, sehingga menimbulkan pencemaran kronis.
Menurut data Badan Lingkungan Hidup, kadar sulfida di perairan Muncar mencapai seribu kali dari baku mutu yang ditetapkan. Akibatnya, anakan ikan susah berkembang dan muncul ganggang merah, yang beracun. Terbukti, sejak tiga tahun lalu, hasil tangkapan ikan anjlok. Data Dinas Kelautan dan Perikanan Banyuwangi menunjukkan tangkapan ikan mencapai 50 ribu ton pada 2009. Jumlah itu terus merosot. Pada 2010 hanya 39 ribu ton, tahun berikutnya berkurang menjadi 29 ribu ton. Padahal ada 18 ribu nelayan yang bergantung pada laut Muncar.
Kepala Sub-Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Lingkungan Banyuwangi Adi Rianto mengatakan gagasan pembangunan pengolah limbah terpadu muncul dari masyarakat pada 2004. Ini sebagai solusi membantu perusahaan yang tidak mampu membuat instalasi sendiri. ”Butuh duit Rp 1-2 miliar,” katanya.
Badan Perencanaan Pembangunan Banyuwangi menindaklanjuti dengan menggelar survei dan studi kelayakan pada 2006. Tim menyimpulkan instalasi terpadu akan dibangun di dua lokasi, yakni Dusun Tratas dan Sungai Kalimati. Tratas dianggap layak karena berada di arena lebih rendah. Maka air limbah dari perusahaan bisa mengalir ke instalasi pengolahan. Alasan kedua, pemerintah tidak perlu membebaskan lahan. ”Tanah yang dibangun itu milik negara,” kata Adi.
Penduduk tetap ngotot menolak pembangunan itu. Padahal perusahaan siap menanggung ganti rugi. Namun alasan penolakan itu berubah. Mereka takut pengolahan limbah itu menimbulkan bau. ”Kalau alasan bau, justru nantinya limbah diolah agar tak berbau,” katanya.
Pemerintah Banyuwangi tidak bisa berbuat banyak. Akhirnya kewajiban membuat pengolah limbah diserahkan ke perusahaan, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Mereka yang melanggar akan diganjar hukuman penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp 10 miliar. Para pengusaha menyesalkan pemerintah Banyuwangi gagal meyakinkan warga. Jeratan hukum di depan mata. ”Kami tak akan mampu, terhambat lahan dan biaya,” kata Ketua Asosiasi Pengalengan dan Penepungan Ikan Muncar Yulia Puji Astuti.
Eko Ari Wibowo, Ika Ningtyas (Banyuwangi)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo