Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Sinta Nuriyah: Gus Dur Merawat Kebudayaan yang Tersingkir

Sinta Nuriyah, mengisahkan suaminya, Gus Dur merupakan orang yang teguh merawat kebudayaan minoritas di Indonesia.

6 Februari 2018 | 13.00 WIB

Istri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid (kanan) bersama tamu undangan berada diatas panggung saat peringatan Sewindu Haul Gus Dur di Jakarta, 22 Desember 2017. ANTARA
Perbesar
Istri Presiden Keempat RI Abdurrahman Wahid, Sinta Nuriyah Wahid (kanan) bersama tamu undangan berada diatas panggung saat peringatan Sewindu Haul Gus Dur di Jakarta, 22 Desember 2017. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Sinta Nuriyah, isteri Presiden Republik Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mengisahkan suaminya yang teguh merawat kebudayaan minoritas di Indonesia yang tersingkir.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Cerita itu ia sampaikan pada acara memperingati sewindu wafatnya Gus Dur di kampus Sanata Dharma Yogyakarta, Senin malam,5 Februari 2018. Ini adalah puncak acara dari seluruh rangkaian kegiatan yang telah berlangsung selama sebulan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Semasa hidupnya, Gus Dur menghabiskan sebagian waktu untuk merajut dan merawat perbedaan budaya. Bagi Gus Dur, kata Sinta, kebudayaan menjadi cermin dasar kemanusiaan. Harkat dan martabat manusia bisa dilihat melalui kebudayaan. Gus Dur merajutnya melalui dialog, forum, seminar,sarasehan, silaturahmi ke tokoh lintas iman, tulisan di media massa, buku, obrolan, dan guyonan.

Yang menarik dari Gus Dur, kata Sinta adalah dia mendamaikan berbagai macam perbedaan dan sabar merawat kebudayaan Indonesia. “Gus Dur merawat kebudayaan yang dianggap menghambat kemajuan, yang tersingkir,” kata Sinta.

Sinta menambahkan sebagian orang menganggap sesuatu yang tradisional itu kolot, kuno, irasional, dan katrok. Orang menganggapnya tak sesuai zaman dan inferior. Padahal, yang tradisional dan modern bisa ditempatkan dalam posisi seimbang untuk menghasilkan gerakan kebudayaan yang harmonis menembus sekat-sekat antar-bangsa.

Untuk merawat nilai-nilai yang ditinggalkan Gus Dur, Sinta terus aktif menyambangi daerah-daerah yang punya beragam seni budaya yang tidak banyak muncul. Misalnya Sinta keliling saat Puasa Ramadan untuk saur bersama di daerah-daerah. “Saya selalu minta pentas seni budaya ditampilkan bila ada di suatu daerah. Budaya adiluhung perlu kita jaga,” kata Sinta.

Setidaknya 1.300 undangan datang untuk mengenang tokoh pluralisme itu. Banyak pegiat lintas agama yang datang di antaranya dari kalangan Islam, Katolik, Buddha, Konghucu, Hindu. Mereka merupakan aktivis yang bergerak di isu-isu toleransi antar-umat beragama.

Shinta Maharani

Lulus dari Jurusan Ilmu Hubungan Internasional UPN Yogyakarta. Menjadi Koresponden Tempo untuk wilayah Yogyakarta sejak 2014. Meminati isu gender, keberagaman, kelompok minoritas, dan hak asasi manusia

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus