ACEH disorot publik. Konflik bersenjata antara TNI dan Gerakan Aceh Merdeka kembali memanas dan korban pun berjatuhan. Kondisi diperparah dengan dibakarnya kantor Joint Security Committee (JSC), lembaga yang menjadi penengah konflik. Tawaran pemerintah untuk kembali berunding di tingkat Joint Council ditolak GAM. Jalan buntu ini berbuntut ancaman Jakarta, yang segera melancarkan operasi militer.
Gerakan bersenjata yang bertekad memerdekakan Aceh itu rupanya tak gentar. Mereka telah menyiapkan strategi khusus untuk menghadang gempuran TNI—lewat suatu taktik gerilya yang istilah mereka ”telah diimprovisasi”. ”Sejak awal kami telah memprediksi hal ini,” ujar juru bicara militer sekaligus Panglima GAM wilayah Paseh, Sofyan Daud. Pria 35 tahun ini bahkan sudah menduga bahwa tentara akan melakukan beragam rekayasa untuk menggagalkan perjanjian penghentian permusuhan. Lalu bagaimana reaksi GAM? Koresponden TEMPO Zainal Bakri mewawancarai Sofyan lewat surat elektronik, pekan lalu. Petikannya:
Bagaimana persiapan GAM menghadapi serangan militer TNI?
Tentara Nasional Aceh (TNA) sudah sejak awal memprediksi hal ini. Faktor KSAD Ryamizard Ryacudu telah membuat kami bersikap wait and see sejak awal proses perdamaian ini. Kami sudah memperkirakan bahwa TNI AD akan melakukan bermacam-macam rekayasa untuk menggagalkan perjanjian penghentian permusuhan (CoHA, The Cessation of Hostility Agreement), sehingga ada alasan untuk melancarkan operasi militer. Jika pada akhirnya Jakarta melakukan operasi militer, tidak ada jalan lain bagi TNA selain menggelar kekuatan tempur juga.
Apa saja yang disiapkan untuk menghadapi TNI?
Tidak perlu persiapan khusus. Kami tetap menghadapi mereka dengan taktik gerilya yang telah diimprovisasi. Kami yang akan menentukan kapan dan di mana bertempur.
Kenapa selama masa damai GAM menambah kekuatan personel maupun persenjataan?
TNA tidak melakukan hal tersebut. Menjelang penandatanganan CoHA, TNA memang menerima suplai 7 pucuk SS-1 dari teman-teman anggota TNI yang baru ditarik ke Jawa Tengah. Kita punya personel yang lebih dari cukup. Setelah penandatanganan CoHA, banyak pemuda Aceh yang minta dilatih menjadi TNA, namun semuanya kami tolak, karena selain bertentangan dengan CoHA juga bisa membuat repot logistik.
Pasukan Anda dituding memeras rakyat Aceh.
Tuduhan itu jelas ngawur. GAM memang menarik pajak dari pebisnis. Banyak pebisnis yang sadar akan kewajibannya dan banyak pula yang menolak. Pajak bukanlah sumbangan sukarela. Pajak adalah keharusan. GAM tidak menarik pajak dari masyarakat miskin, kami justru menyantuni masyarakat kelas bawah ini, paling tidak setahun sekali, sewaktu hari raya. Pemanfaatan uang pajak oleh GAM sangat jelas dan accountable. Justru pajak yang ditarik oleh RI yang tidak jelas ”juntrungannya” dan bahkan merupakan ironi bagi rakyat Aceh sendiri.
Bagaimana GAM melihat aksi penolakan zona damai dan penambahan pasukan TNI?
Secara kasat mata terlihat bahwa demo-demo anti-JSC dan penolakan zona damai diciptakan oleh TNI AD. Peserta demo umumnya milisi Jawa, preman bayaran, dan TNI/Polri berpakaian sipil. Anehnya lagi, demo model begini, walau anarkis, tetap dibiarkan oleh aparat. Tapi demo yang menyuarakan demokrasi serta yang meminta zona damai malah dilarang dan dibubarkan.
Apa kemungkinan terburuk bagi masyarakat Aceh jika Jakarta menggelar serangan militer?
Efek terburuk justru berdampak pada rakyat, yang tidak ikut bertempur. Sudah menjadi pengalaman bagi orang Aceh bahwa TNI dan Polri tidak segan-segan mengarahkan moncong senapannya ke rakyat yang tidak ikut tempur, non-kombatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini