SUDAH berbilang bulan Kota Ambon tak lagi menyisakan cerita panas. Sampailah dua pekan lalu ketika Teungku Fauzi Hasbi Geudong, satu di antara pendiri Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dikabarkan hilang di sana sejak Februari 2003. Raibnya lelaki 55 tahun yang kerap dipanggil Abu Jihad ini kemudian menyisakan pertanyaan besar: siapa penculiknya?
Abu tiba di Ambon pada Jumat 21 Februari bersama rekannya dari Jakarta, Edi Putra dan Ahmad Saridup. "Mereka ada urusan bisnis cengkih dan pala," kata Teungku Lamkaruna Putra, anak sang Abu. Mereka tinggal di Hotel Nisma, penginapan kecil di ujung Jalan Sultan Baabullah. Abu menempati kamar 308, Edi dan Ahmad di kamar 303.
Rencananya, mereka berada lima hari di kota ini. Tiket pulang dengan pesawat Merpati menuju Surabaya untuk penerbangan 26 Februari sudah mereka pegang. Mereka bahkan sempat menerima sekelompok orang pada pagi Sabtu 22 Februari. Kemudian, menurut penelusuran Lamkaruna, Edi Putra pamit berkunjung ke daerah Kebun Cengkih.
Belum lagi Edi kembali, sorenya empat pria datang ke hotel itu. Kepada karyawan hotel, mereka mengaku polisi, sembari menunjukkan kartu pengenal. Seorang di antaranya, menurut Lamkaruna, mengaku bernama Brigadir Polisi Syarif, intel Polres Ambon dan Pulau-Pulau Lease. "Mereka datang untuk menangkap Abu dan Ahmad," kata Lamkaruna. Rupanya, Edi sudah ditahan lebih dulu.
Lalu, muncul perkembangan aneh. Pada Ahad 23 Februari, sekitar pukul 20.00, Abu Jihad menelepon keluarganya di Medan, Sumatera Utara. Kepada Lamkaruna, lewat pembicaraan telepon itu, Abu mengaku masih di hotel dalam keadaan sehat. Ketika Lamkaruna menelepon kembali, petugas hotel menyatakan Abu sudah check out dari Nisma sehari sebelumnya.
Dengan kepala penuh tanda tanya, Lamkaruna bersama ibunya, Elvi Zahara, bergegas terbang dari Medan. Di Jakarta, ia memperoleh informasi Abu ke Ambon atas undangan Juwali Laitupa, tentara di Kodam Pattimura, yang juga ikut berbisnis cengkih dan pala. Setelah mengundang Juwali ke Jakarta, Lamkaruna memastikan ayahnya diculik oknum polisi.
Pada Rabu 26 Maret, Lamkaruna melaporkan kasus raibnya Abu Jihad ke Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia. Selain penculikan, Lamkaruna juga menyebut unsur pemerasan dalam kasus ini. "Kami dimintai uang banyak oleh penculiknya," katanya. Permintaan itu disampaikan seorang pria yang memegang telepon seluler Abu Jihad, pada Jumat 28 Februari.
Petang itu telepon Lamkaruna digamit nomor ayahnya. "Ini siapa?" kata suara di seberang. Lamkaruna menyatakan dirinya anak Abu Jihad. Suara di seberang bernada menguji: "Kalau kamu benar anaknya, coba sebutkan siapa istrinya, siapa nama anak-anaknya." Setelah Lamkaruna menjawab lancar, penelepon menyatakan sedang berada di Surabaya bersama Abu Jihad.
Penelepon juga mengabarkan Edi Putra berada di Makassar. "Sedang diperas sama pihak kepolisian," kata Lamkaruna, menirukan suara di balik telepon seluler ayahnya.
Penasaran, Lamkaruna minta bicara langsung dengan ayahnya. "Wah, enggak bisa, Abu Jihad dalam pengawasan saya. Dia tidak bisa bicara, hanya bisa menulis dan membaca," suara misterius itu menjawab. "Gini ajalah, kamu kirimin aja duit Rp 25 juta."
"Untuk apa?" Lamkaruna bertanya. "Untuk biaya pengobatan Abu dan biaya Edi Putra yang sedang diperas di Makassar sama pihak kepolisian." Lamkaruna mengiyakan, tapi ia minta mengantarkan uang itu langsung ke Surabaya dan membawa pulang ayahnya. "Jumat sore kan bank sudah tutup. Sabtu dan Minggu libur, Senin libur 1 Muharam. Jadi, tidak bisa lewat bank," kata Lamkaruna.
Tapi, orang itu minta Lamkaruna mengirim uang lewat transfer ATM ke rekening ayahnya di Bank Central Asia. Dan, klik..., telepon ditutup. Ternyata, Lamkaruna lupa nomor rekening Abu Jihad. Lewat pesan tertulis, ia diminta mengirim uang itu lewat rekening milik Edi Putra. Sore itu juga Lamkaruna mentransfer Rp 1 juta ke rekening Edi Putra. Eh, ia malah didamprat lewat pesan SMS (short message service): "Kamu jangan main-main. Uang Rp 1 juta untuk apa?"
Belakangan Lamkaruna tahu, keluarga Edi Putra pun telah mengirim uang untuk penculiknya. Menurut Yunika Melati, istri Edi Putra, suaminya sendiri yang meminta nomor rekening lewat telepon pada Senin 24 Februari. "Abi lupa nomor rekeningnya sendiri. Tapi sepertinya Abi tidak memberi kesempatan saya bertanya," kata Yunika, yang memanggil suaminya "Abi". Itulah kali terakhir Yunika mendengar suara suaminya.
Uang untuk Edi Putra ditransfer Franky, rekan bisnis Edi. "Ia minta lewat telepon. Katanya untuk membeli tiket pulang," kata Franky. Edi sempat meminta Rp 100 juta, sembari menjelaskan ia berada di bawah tekanan dan kerap dipukuli orang-orang yang menahannya. Tapi Franky hanya bisa mengirim Rp 10 juta pada 27 Februari.
Lewat seorang kenalan di BCA, Teungku Lamkaruna memperoleh rincian rekening Edi Putra. "Setelah kami hitung, total uang yang masuk ke rekening itu Rp 47 juta," kata Lamkaruna. Rp 30 juta berasal dari rekening Abu Jihad, selebihnya dari keluarga Edi. Uang itu langsung ditarik sesaat setelah ditransfer lewat ATM.
Yang mengejutkan adalah, penarikan uang itu dilakukan di Jakarta: sekali di kawasan Gudang Peluru, Tebet, dan sekali di Jalan Gunung Sahari di sekitar Senen. Sejak itu Lamkaruna menyimpulkan ada yang hendak memeras ayahnya, dan itulah yang ia percayai sebagai motif penculikan Abu Jihad.
Pelacakan Lamkaruna atas penculikan ayahnya rupanya tak sedalam upaya polisi. Sejauh ini, menurut Usman Nasution, Direktur Serse Kriminal Polda Maluku, polisi sudah memeriksa 15 saksi yang terkait dengan aksi penculikan itu. Tiga di antaranya dicurigai mengetahui ihwal hilangnya Abu Jihad. Tapi Usman enggan membeberkan nama ataupun bentuk keterlibatan mereka.
Jika pemeriksaan saksi telah lengkap, kata Usman, barulah polisi menanyai Brigadir Polisi Syarif, intel Polres Ambon dan Pulau-Pulau Lease, yang tengah cuti di Jakarta. "Kami sudah memanggilnya," kata Usman. Polda Maluku juga telah memegang salinan data rekening Abu Jihad di BCA Medan. Kendati begitu, juru bicara Mabes Polri, Komisaris Besar Polisi Zainuri Lubis, menyangsikan data yang dilaporkan keluarga Abu Jihad. "Kebenaran informasinya menurut saya di bawah 50 persen," katanya kepada Dimas Adityo dari Tempo News Room.
Lepas dari raibnya Abu Jihad, kehadiran bekas pentolan GAM itu di Ambon pun masih bersaput tanda tanya. Jejak bisnis cengkih dan pala itu, misalnya, masih samar. "Bisnis Abu Jihad itu ya buat buku, cetak buku. Abu Jihad itu sudah ngarang 12 buku," kata Lamkaruna. Teungku Fauzi Hasbi selama ini dikenal sebagai pentolan GAM yang membelot ke Republik. Ayahnya, Abu Hasbi Geudong, adalah tokoh gerakan Negara Islam Indonesia yang dipimpin almarhum Teungku Daud Beureueh.
Dalam penyergapan oleh satu kompi TNI AD yang dipimpin Sjafrie Sjamsoeddin pada 1977, Abu Jihad tertangkap. Lepas dari tahanan, ia memilih menetap di Medan bersama keluarganya. Belakangan ia malah akrab dengan militer dan menyatakan diri keluar dari GAM. Alasannya: tak sepaham dengan Hasan Tiro. "GAM itu membuat sengsara orang Aceh. Hasan Tiro hanyalah orang yang pandai menebar fitnah," katanya kepada TEMPO, akhir Februari 2001.
Di kalangan GAM, pada akhirnya ia dikenal sebagai orang binaan militer. Apalagi jika benar pengakuan Sjafrie Sjamsoeddin, Fauzi Hasbi yang ditangkapnya itu telah dapat dibina dan kemudian banyak membantu mengungkap anatomi dan jaringan GAM. Setahun silam, nama Abu Jihad juga tercantum dalam laporan Sydney Jones, Direktur International Crisis Group (ICG). Ia disebut memelihara hubungan dengan Jamaah Islamiyah dan jaringan internasionalnya.
Laporan ICG menyebutkan, nomor telepon Fauzi Hasbi terekam dalam telepon seluler milik Akim, satu di antara pelaku pengeboman malam Natal 2000 yang tewas di Bandung. Penelusuran TEMPO juga menemukan kontak telepon seluler dan rumah Abu Jihad dengan Edi Sugiarto, pelaku kasus bom malam Natal 2000 di Medan. Abu Jihad memang membantah keras. "Demi Allah, saya tidak kenal (Edi Sugiarto)," katanya. Tapi, kembali ke awal kisah: siapa penculik Abu Jihad?
Tomi Lebang, Friets Kerlely (Ambon), Suseno (Tempo News Room)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini