Di sekitar bangunan yang porak-peranda bak diterpa angin puting beliung itu, kini berdiri puluhan gubuk darurat, mirip rumah kaum gelandangan. Gubuk itu ada yang beratapkan plastik bekas dengan dinding tripleks, atau ada pula beratap genting dan papan bekas yang diambil dari bangkai rumah mereka yang tergusur. "Kalau hujan, anak saya basah dan kedinginan," keluh Ong Cun, 23, salah satu penghuni ubuk. Suasana seperti ini bisa terlihat diberbagai tempat di Ibu Kota, setelah belakangan ini Pemda DKI aktif lagi melakukan penggusuran di berbagai tempat di Jakarta. Di Mangga Dua Utara, dan di Sunter, Kelurahan Sunter, Jakarta Utara, tempat Ong Cun tadi, setidaknya sudah puluhan rumah yang tergusur. Sedangkan di Papanggo, sudah dibongkar 160 rumah, dan 90-an lagi di Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Peristiwa ini tentu saja menimbulkan keresahan terutama pada penduduk yang tergusur: dan gubernur DKI Jakarta, Soeprapto, pekan lalu, sengaja mengundang sejumlah pemimpin redaksi surat kabar di Jakarta, antara lain untuk menjelaskan berbagai masalah yang berhubungan dengan kasus tanah itu. Sebelumnya, dalam suatu wawancara khusus dengan Yusroni Henridewanto dari TEMPO, Gubernur Soeprapto mengungkapkan betapa beratnya problem tanah di Jakarta. "Sulit kami menata kota yang sudah berkembang sejak 400 tahun lalu," kata Soeprapto. Kesulitan itu, antara lain, karena adanya sistem dispensasi dari oknum pejabat. Misalnya, ada pengusaha yang membangun pabrik di lokasi yang sebenarnya menurut rencana kota bukan untuk wilayah pabrik. "Tapi karena ada pejabat yang membenkan dispensasi, akhirnya pabrik itu berdiri juga," ujar Soeprapto tanpa menyebut pabrik dan pejabat dimaksud. Tapi kasus yang terbanyak adalah pembangunan rumah liar tadi oleh penduduk di atas tanah negara. Ketika areal tadi dikembangkan sesuai rencana kota, masalah pembebasan pun muncul. Persoalan terpelik ialah menentukan ganti rugi. Kasus di Sunter, yang melibatkan 355 kk menyangkut areal seluas 40.875 m, misalnya, menjadi ribut karena Pemda cuma mau memberi santunan pada penduduk sebesar Rp 1 juta untuk 200 m2 bangunan permanen, Rp 750.000 untuk semipermanen, dan Rp 500.000 untuk bangunan darurat. Di Papanggo, PT Yakin Gloria, yang ditunjuk Pemda untuk menangani pengembangan proyek Sunter, malah menawarkan jauh lebih rendah, Rp 30.000 untuk bangunan permanen, dan Rp 10.000 bangunan darurat, bagi 200-an keluarga yang menghuni areal seluas 7 ha itu. Sedang untuk membangun jalan tembus Jembatan B atu - Gunung Sahari, harga penawaran ganti rugi cuma rata-rata Rp 15.000 per m2. "Padahal, harga pasaran tanah di sini Rp 300.000 per m2," kata Soenarto Soerodibroto, pengacara yang membela penduduk Mangga Dua Utara. Memang di sinilah persoalannya. Menurut Gubernur Soeprapto, panitia pembebasan tanah menentukan harga berdasarkan peraturan Menteri Dalam Negeri No. 15/1975 yang acuan harganya berpegang pada ketentuan harga tanah menurut tarif Ipeda. Tapi penentuan harga berdasarkan harga pasaran pun seperti yang sering dituntut penduduk itu, menurut Gubernur, "tak ada dasarnya". Akhirnya, penduduk yang menolak tawaran harga menempuh jalan pengadilan. Warga Sunter misalnya meminta bantuan LBH, warga Mangga Dua diwakili oleh Soenarto, sedang warga Papanggo yang 90% Golkar mengadu ke LBH Kosgoro. Sayangnya, sementara pengadilan mulai menyidangkan perkara, Pemda DKI keburu turun menggusur rumah-rumah itu. Karena itu, pada sidang yang mengadili kasus tanah Sunter di Pengadilan Jakarta Utara November lalu, majelis hakim memperingatkan J. Pakpahan, kuasa tergugat Pemda DKI, agar penggusuran dihentikan menunggu putusan pengadilan. Setelah itu, memang seakan tercapai status quo, Pemda berhenti menggusur. "Yang digusur adalah mereka yang sudah menerima ganti rugi, sedang yang masih dalam sengketa di pengadilan, sifatnya status quo," kata Gubernur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini