RAJA Hussein dari Yordania baru Selasa pekan ini tiba di Jakarta, membalas kunjungan Presiden Soeharto ke negeri itu, 9 tahun lalu. Tapi, bagai membayar bunga utang, Raja Hussein merencanakan berkunjung selama enam hari. Padahal, Presiden Soeharto ketika dalam perjalanan muhibah ke lima negara Timur Tengah hanya sempat mampir di bandar udara Amman, Yordania, beberapa jam, Oktober 1977. Keterlambatan ini, tidak bisa tidak, menggambarkan bahwa kepentingan bersama kedua negara tidaklah menempati urutan utama dalam prioritas strategi politik luar negeri masing-masing. Seperti dikatakan seorang pejabat Departemen Luar Negeri RI, "Jelas, kita lebih mendahulukan hubungan dengan negara sesama ASEAN, tetangga dan negara superpower." Sekalipun ada Kedutaan RI di Amman, Yordania sendiri menyerahkan perwakilan negaranya di kedubes mereka di Pakistan. Sementara hubungan perdagangan berimbang hanya senilai 165 juta dolar AS. Dan kepentingan Yordania serta Indonesia memanglah jauh berbeda. Bagi Yordania, masalah yang paling utama adalah bagaimana mendapatkan kembali daerah Tepi Barat (West Bank) Sungai Yordan, yang direbut Israel pada perang 6 hari, 1967. Padahal, Tepi Barat merupakan separuh lahan subur dari seluruh Yordania dan, walaupun hanya merupakan 6% dari keseluruhan wilayah, merupakan 40% dari sumber penghasilan kotor negara. Tidak mengherankan jika akibat perang 1967 itu sangat berat bagi negeri berpenduduk sekitar 3,4 jiwa ini. Pertumbuhan ekonomi yang sempat mencapai 10% per tahun amblas, terutama terkuras oleh beban menampung setengah juta pengungsi Palestina dari Tepi Barat. Yang semakin menyulitkan Hussein adalah tetangganya sesama Arab, yang seharusnya membantu dalam perjuangan melawan Israel. Dengan Syria, tetangganya di utara, malah sempat terjadi pertempuran bersenjata. Sedangkan konperensi tingkat tinggi Arab di Rabat, Maroko, 1974, memutuskan PLO (organisasi pembebasan Palestina di bawah pimpinan Yasser Arafat) sebagai perwakilan resmi bangsa Palestina. Artinya, hak Yordania atas wilayah Tepi Barat dianggap tidak ada. Hanya bantuan besar-besaran negeri-negeri Arab terhadap Yordania yang menyebabkan Hussein menerima keputusan yang sangat memukul itu. Harap dimaklumi, secara ekonomis Yordania memang selalu bergantung pada bantuan luar negeri. Satu-satunya kesempatan mencapai ekonomi mandiri yang dicanangkan, 1964, dalam beberapa rencana pembangunan 7 tahun, runtuh bersama jatuhnya Tepi Barat ke tangan Israel. Namun, Hussein aktif mengampanyekan ide perdamaian bagi kawasan Timur Tengah dengan membentuk negara bagian Palestina sebagai bagian otonom dari Yordania. Untuk itu, ia bersedia mematuhi seruan PBB no 242 dan 338, yang intinya adalah pengakuan atas kedaulatan Israel dalam wilayahnya sebelum perang 6 hari. Ini merupakan langkah berani, mengingat aliran keras Arab tak pernah mau mengakui eksistensi Israel. Tampaknya, sikap Hussein ini menarik bagi Indonesia. Sebab, RI selalu mendukung perjuangan rakyat Palestina. Sedangkan aliran Hussein dianggap termasuk paling pragmatis dan masuk akal. Apalagi, dengan semakin moderatnya Yasser Arafat, rekonsiliasi di antara dua bekas musuh bebuyutan itu kelihatan semakin memberi harapan. Wajar jika tersebar berita bahwa Hussein akan meminta Indonesia membuka kantor perwakilan PLO di Jakarta. Dan berita ini tidak dibenarkan atau disalahkan oleh para pejabat RI. Kalaupun permintaan ini diajukan Hussein dalam pertemuannya dengan Presiden Soeharto, Rabu pekan ini, bisa diduga apa jawaban Indonesia. Selama ini pemerintah RI selalu menghindar dari persoalan perlu tidaknya perwakilan PLO di Jakarta. Bagaimanapun, PLO sendiri masih sering berubah sikap dan acap kali dirundung pertikaian intern yang rumit. Indonesia, tentu, tak menginginkan dirinya terjerumus dalam pertengkaran yang, sering kali, tak jelas ujung pangkalnya itu. Bambang Harymurti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini