PENDUDUK Indonesia ternyata kurang dari 165 juta. Kini hampir 95% anak usia sekolah 7-12 tahun menikmati sekolah dasar. Berita baik ini dilaporkan kepada Presiden Soeharto oleh Kepala Biro Pusat Statistik, Drs. Azwar Rasjid, Sabtu pekan lalu. Laporan yang merupakan hasil survei penduduk antarsensus (Supas) 1985 itu memang lebih maju dibanding hasil sensus penduduk terakhir (1980). Kala itu baru 85% anak kelompok usia itu yang belajar di SD Kemajuan ini, "Berkat adanya SD Inpres yang hampir merata di seluruh tanah air," ujar Prof. Dr. Sajogyo. Menurut guru besar sosiologi IPB ini, pelayanan SD Inpres semakin baik. Gurunya didatangkan sampai ke pelosok desa. Membaiknya citra SD Inpres ini terbukti pula dari menurunnya jumlah SD swasta. Padahal, beberapa tahun silam, masih sering terdengar cerita SD Inpres yang "brengsek". Misalnya, ia diba ngun jauh dari permukiman penduduk, sehingga sekolah itu melompong. Keberhasilan program wajib belajar di tingkat SD melahirkan pertanyaan: Masih perlukah sarana fisik SD ditambah? "Atau tidakkah lebih baik diarahkan pada secondary school, seperti SMTP, STN, atau SLTP kejuruan lainnya," kata Azwar Rasjid. Dampak makro yang positif semacam inilah yang menurut Kepala BPS ini, diharapkan timbul dari hasil setiap Supas. Sebab, sensus hanya diselenggarakan sepuluh tahun sekali. Selebihnya, karakteristik penduduk diproyeksikan berdasarkan hasil sensus itu. "Ada kekhawatiran BPS, apakah proyeksi itu berkembang sesuai dengan kenyataan," kata Azwar. "Supaya tidak salah arah, agar lebih mendekati kenyataan, diadakanlah survei penduduk antarsensus (Supas)." Supas 1985 ini merupakan survei di antara sensus 1980 dan 1990 kelak. Menghabiskan biaya Rp 1,5 milyar, survei ini dikerjakan 60 ribu petugas yang terjun di semua provinsi selama sebulan sejak 1 Oktober 1985. Hasilnya lantas dibahas dan diuji BPS bersama para ahli demografi. Kesimpulan: jumlah penduduk Indonesia bukan 165 juta lebih -- seperti pernah disebut Presiden -- melainkan hanya 163.875.889. Laju pertumbuhan penduduk hanyalah 2,13%. Ini, lebih rendah ketimbang laju pertumbuhan pada dasawarsa yang lalu (2,32%), juga lebih kecil dari proyeksi yang dibikin berdasarkan hasil sensus terakhir (2,21%). "Proyeksi itu terlalu konservatif, karena waktu mendua, masih kurang percaya bahwa kelahiran atau kematian bisa ditekan," ujar Azwar Rasjid. Memang, pernah timbul kontroversi atas angka-angka keberhasilan keluarga berencana yang dilontarkan BKKBN. Dr. Peter K. Streatfield, seorang konsultan di Pusat Penelitian dan Studi Kependudukan Universitas Gadjah Mada, misalnya, pernah menunjukkan betapa jauh berbeda antara data BKKBN dan hasil sensus. Malah, selisih itu cenderung lebih besar di provinsi-provinsi Pulau Jawa. Padahal, justru di kawasan inilah penduduk lebih banyak, dan tempat program, KB lebih awal dilaksanakan. DIBANDING hasil sensus 1980, Supas 1985 ini menunjukkan pemakaian alat kontrasepsi meningkat dari 26% menjadi 38,07%. Mengingat laporan BKKBN lebih bersifat administratif, "Hasil Supas ini menjadi penting, karena bisa dipakai sebagai pengukur target atau efektivitas program BKKBN," kata Azwar Rasjid. Hasil penting lain ialah bahwa penduduk usia 15-49 tahun makin besar. Hasil sensus 1980 jumlah itu hanyalah 41,73%, kini menjadi 45,07% dari jumlah penduduk. Artinya, jumlah tenaga kerja makin bertambah, "dan akibatnya kesempatan kerja yang harus disediakan oleh pembangunan juga bertambah," kata Azwar. Yang tak berubah: Ternyata, Jakarta tetaplah tempat migran terbanyak (45,89%). Peringkat berikutnya Kalimantan Timur (42,85%), "Ini akibat tarikan lumbung minyak dan kayu," kata Azwar. Yang dilaporkan oleh BPS pada Presiden ini barulah hasil survei kegiatan pertama. Hasil yang akan menunjukkan gambaran sosio-ekonomi sedang diolah. Meski demikian, "Profil kependudukan hasil Supas 1985 ini telah memberikan arah, sudut-sudut mana yang perlu diperhatikan," ujar Azwar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini