Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Versi lain tentang imam

Pada pertemuan 4 mata, imam soedarwo meminta agus sudono agar inkoperindo dibawah spsi. sudomo memberi alternatif pada agus. kubu agus tak menerima dan mempersoalkan keterlibatan imam di partindo.(nas)

5 April 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RICUH yang terjadi antara Imam Soedarwo (Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan Agus Sudono (bekas Ketua Umum Federasi Buruh Seluruh Indonesia) belum juga selesai. Padahal, keduanya, tanpa banyak diketahui pers, sebenarnya telah bertemu, Rabu pekan lalu. Perbincangan empat mata itu, berlangsung sekitar dua jam, "Atas permintaan Agus Sudono," kata Imam. Hasilnya? "Wah, just to say hello saja. Kami hanya omong-omong ringan," ujar Imam lagi. Agus, katanya pula, tak menyinggung sama sekali ihwal Induk Koperasi Pekerja Indonesia (Inkoperindo). Padahal, pertemuan itu terjadi hanya sehari setelah Agus Sudono dihadapkan pada empat pilihan oleh Menteri Tenaga Kerja Sudomo. Pilihan-pilihan yang pahit, yakni: Agus mengundurkan diri dari kepengurusan Inkoperindo Agus dan koperasi itu masuk ke SPSI Inkoperindo utuh masuk ke SPSI tanpa Agus atau, kegiatan Inkoperindo dibekukan saja. Kabarnya, dalam pertemuan empat mata itu, Imam tegas meminta Agus agar memilih Inkoperindo di bawah SPSI. "Tapi ini tidak bisa diterima, karena Inkoperindo di bawah Departemen Koperasi, sedangkan SPSI di bawah Departemen Tenaga Kerja," kata Muchtar Mansur, Ketua Badan Pemeriksa Inkoperindo, Ketua DPD SPSI Yogya, dan satu-satunya formatir pada Konres Nasional FBSI lalu (sekarang SPSI) yang tetap memilih tokoh "tersingkir" Agus Sudono. Bagi kubu Agus Sudono, tidak ada masalah antara Inkoperindo dan SPSI. "Inkoperindo lahir tidak untuk menyaingi SPSI," kata Muchtar. Yang tetap menjadi masalah, "Berdasarkan keterangan serta data yang masuk, saya yakin Imam Soedarwo terlibat Partindo yang berbau PKI," kata Muchtar pada Syahril Chili dari TEMPO. Padahal, hingga kini, katanya lebih lanjut, selain Menteri Martono belum ada pejabat berwenang yang memberi penjelasan. "Sehingga keterlibatan Imam itu tetap menjadi pertanyaan." Memang, hingga kini baik Bakin maupun Kopkamtib belum mengeluarkan penjelasan resmi ihwal "riwayat" Imam itu. Tapi, kepada TEMPO, Sutopo Juwono, bekas Kepala Bakin, kini Sekjen Depnaker, mengatakan, Imam Soedarwo duduk di Partindo bukan dari pihak komunis. "Ia memang mendapat tugas dari Kosgoro untuk menyusup ke tubuh Partindo," kata Sutopo Juwono, membenarkan penjelasan yang pernah diberikan Ketua Kosgoro, Menteri Transmigrasi Martono. (TEMPO, 22 Maret). Tapi, kebersihan riwayat Imam itu bukan semata berlandaskan keterangan Martono. "Kami bukan bloon .... Dan Pak Domo 'kan bekas Pangkopkamtib," ujar Sutopo Juwono. Bekas Kepala Bakin ini lantas mengingatkan bahwa untuk menjadi calon anggota DPR saja harus ada pernyataan bersih dari berbagai sumber, antara lain Bakin dan Kopkamtib, dan juga diteliti "file" pribadi serta lingkungan yang bersangkutan. Dalam hal Imam Soedarwo, katanya pula, ketika dulu akan diangkat menjadi anggota DPR dan tokoh Golkar, juga sudah ramai dipertimbangkan ihwal keterlibatannya di Partindo. Bagaimana sebenarnya kisah "masuknya" Imam di Partindo itu? Kisah bermula sebelum keluarnya Supersemar. "Suatu hari saya bersama Asmara Hadi dipanggil Bung Karno di Istana Bogor," cerita A.M. Datuk, 55 pada TEMPO. Datuk, kala itu, adalah Ketua DPS-KBKI (Dewan Pimpinan Sentral Kesatuan Buruh Kerakyatan Indonesia), dan Asmara Hadi adalah Ketua Umum Partindo. Setelah G-30-S meletus, PNI, yang telah kemasukan unsur komunis, menjadi lumpuh. Sehingga, "Bung Karno berpandangan tidak ada lagi partai bagi kekuatan nasionalis," ujar Datuk. Bung Karno lantas menantang Asmara Hadi, apakah sanggup menjadikan Partindo sebagai partai bagi kekuatan nasionalis itu. "Asmara Hadi menyatakan tidak sanggup. Bung Karno lantas memerintahkan Asmara untuk menyerahkan jabatan Ketua Umum Partindo kepada saya," kata Datuk. "Saya menerima tawaran itu, tapi dengan syarat Partindo harus saya bersihkan dari unsur PKI," kata Datuk. Sebab, Partindo kala itu telah kemasukan orang-orang PKI, di antaranya Adisumarto, Sekjen Partindo, yang kemudian divonis Mahmillub 13 tahun penjara. Akibat masuknya orang-orang PKI inilah, Partindo lantas terpecah dua, antara Partindo Asmara Hadi dan yang dipimpin Dokter Buntaran. "Saya lantas mengajak Imam Soedarwo, yang waktu itu Sekjen KBKI untuk membersihkan Partindo dari unsur PKI itu," tutur Datuk. Semua rencana ini, kata Datuk pula, lebih dulu disampaikan kepada pimpinan Kosgoro. "Karena Kosgoro memakai pola kepemimpinan kolektif, maka selain Mas Isman, Pak Martono dan juga pimpinan Kosgoro lainnya juga tahu rencana memasuki Partindo itu," tambah Datuk, yang waktu itu adalah anggota DPA mewakili buruh. Maka, jadilah Datuk selaku Ketua Umum, dan Imam sebagai Sekjen Partindo. "Langkah kami yang pertama adalah memecat orang-orang PKI dari Partindo," ujar Datuk. Misalnya, A.M. Hanafi dan Djawoto tokoh PKI yang sempat masuk juga ke tubuh Partindo. "Tidak mudah, sebab formil mereka masih duta besar," tambah Datuk. Duduknya dua orang pucuk pimpinan KBKI di Partindo itu lantas dinilai sebagai "penyelewengan politik" oleh kalangan KBKI sendiri. Mengapa? "Karena kami tetap menghendaki KBKI sebagai organisasi buruh yang independen, bukan onderbouw suatu partai. Untuk itu, lantas kami memecat Datuk dan Imam dari anggota KBKI," ujar P.H. Jacob, 71, waktu itu salah seorang pengurus. Padahal, kala itu, Ahem Erningpraja, 72, Ketua Umum KBKI, berada di luar negeri sebagai duta besar di Korea Utara. Lantas dibentuklah caretaker DPS-KBKI, yang antara lain diketuai oleh Jacob. Memang Datuk mengakui tak sempat membrifing pengurus KBKI lainnya, termasuk Jacob, ketika mereka masuk Partindo. Fotokopi surat pemecatan dari KBKI itulah, antara lain, oleh pihak tertentu, entah siapa -- dijadikan bukti keterlibatan Imam dalam tubuh Partindo yang berwarna komunis. "Itu jelas tidak benar," kata Jacob. Ahem Erningpraja, pernah menteri perburuhan berkata: "KBKI kala itu selamat, karena kami jelas anti-PKI. Dan saya sendiri, bersama A.M. Datuk dan juga Imam Soedarwo, malah dipecat oleh PNI-Asu menjelang Kongres PNI di Purwokerto, karena dianggap terlalu kanan." Partindo sendiri pertama kali muncul sebagainama partai pada 1931, setelah Soekarno ditawan Belanda, dan PNI dibubarkan. Ia muncul kembali menjadi nama partai pada 1958, yang didirikan oleh sayap kiri PNI. Perkembangan berikutnya, ia berfusi ke Murba, kemudian Murba berfusi menjadi PDI sekarang. Partindo tak pernah menjadi partai terlarang, tapi dianjurkan tidak mengikuti sidang MPRS, karena banyak anggotanya simpatisan Bung Karno, kata sumber pada A. Luqman. Saur Hutabarat Laporan M. Cholid & Indrayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus