DR. Loekman Soetrisno adalah pengamat sosiologi pedesaan. Sebagai staf ahli pada Pusat Penelitian Pembangunan Pedesaan dan Kawasan (P3PK) Universitas Gadjah Mada, ia sejak awal mengikuti perkembangan kasus Kedungombo. Berikut pendapatnya ketika diwawancarai Sri Wahyuni dari TEMPO. MASALAH Kedungombo sejak awal pendekatannya sudah salah. Di satu pihak pemerintah daerah merasa kuat (benar) pandangannya. Sedangkan para petani (warga) juga merasa begitu. Lalu masuk orang lain yang juga berpandangan sendiri. Akhirnya. sekarang susah untuk kompromi. Masalahnya sudah out of control, out of land, sudah begitu membingungkan, karena sudah terlalu banyak pihak yang turut campur. Masing-masing punya interest. Sudah begitu banyak isu dan banyak janji. Kubunya juga sudah banyak. Penyebabnya tidak lain karena kompromi tidak dilakukan sejak dulu. Masalah yang muncul pertama dulu sebetulnya masalah yang mudah dipecahkan dengan baik. Yakni agar pembangunan jangan sampai menggusur (warga). Kemudian masalah ganti rugi harusnya sejak dulu diinterpretasikan sebagai rasa takut petani menjadi miskin. Tapi sekarang sudah terlambat. Kecuali, dan yang paling baik saya kira, sekarang pemda mau memahami permasalahan dengan benar. Dan yang jelas, sekarang ini memang dibutuhkan perubahan sikap dari kedua belah pihak agar tercipta kompromi. Baik pemerintah maupun masyarakat setempat. Salah satu usul saya untuk menyelesaikan masalah ini begini. Kalau kita lihat, yang memperoleh nikmat pembangunan Kedungombo ini kan daerah-daerah yang ada di bawah. Bagaimana kalau, misalnya, petani di daerah-daerah tadi menyediakan tanah di daerahnya untuk petani yang tergusur tadi. Jadi, mereka yang tergusur tidak perlu transmigrasi. Bisa saja daerah Juwana, Pati, dan yang lainnya yang akan menikmati air Kedungombo memberikan tanah kosong buat mereka. Cara lain, para bupati yang menguasai daerah hilir memberikan pekerjaan kepada salah seorang anggota keluarga yang tergusur jika tidak mampu menyediakan tanah kosong. Saya kira dengan cara ini bisa beres. Sebab, kekerasan hati mereka sebenarnya karena terdorong rasa takut mcnjadi miskin. Kita harus fair. Apa kontribusi orang-orang yang menikmati hasil pembangunan itu kepada yang tergusur. Dengan pertimbangan ini, para bupati dari Grobogan atau Demak, misalnya, mestinya mau membalas pengorbanan mereka. Jadi, prinsipnya jer basuki mowo bea, yang memperoleh kenikmatan harus menyumbang. Pihak pemda maupun yang lain sebaiknya jangan sampai melontarkan kecurigaan-kecurigaan. Sebab, segala keputusan yang didasarkan pada kecurigaan tidak membuahkan apa-apa. Kalau mereka dituduh yang tidak-tidak, malah mereka (petani) sakit hati dan malah membuat susah. Marilah bermusyawarah. Kehadiran "pihak ketiga" yang netral memang dibutuhkan. Sebab, sekarang ini sudah tidak mungkin lagi bisa diselesaikan hanya antara pemda dan masyarakat karena masing-masing sudah saling mencurigai dan ngotot. Begitu pula dengan keterlibatan mahasiswa, LSM, atau pers, boleh-boleh saja. Ini kan negara merdeka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini