Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tapi Diharapkan Bisa Lebih Dinamis Mengenal Kabinet Baru

Kabinet pembangunan III diharapkan lebih bisa dinamis. Wawancara TEMPO dengan Ali Murtopo. Susunan kabinet pembangunan III. Perumahan menteri di Jl. Gatot Subroto dan kampung pecandran senayan. (nas)

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KABINET Pembangunan III untuk pertama kalinya rapat Rabu pekan ini. Banyak wajah baru yang kini mengenakan seragam menteri, di samping sejumlah wajah lama. Jumlah kursi juga bertambah dalam rapat paripurna kabinet yang untuk pertama kalinya itu. Apalagi bila Presiden Soeharto dalam waktu dekat ini berkenan mengumumkan siapa saja yang bakal terpilih sebagai Menteri Muda. Di antara wajah-wajah baru yang masuk memang tak terlihat yang berasal dari Parpol. Kursi H. Mintareja (PPP) yang tadinya memimpin Departemen Sosial, kini beralih ke tangan Majen Sapardjo. Demikian pula Prof. Sunawar Sukawati (PDI), yang tadinya Menteri Kesra, tak lagi duduk dalam kabinet. Kedudukan Kesra itu, kini ditingkatkan bertaraf Menteri Koordinator (Menko) yang dipercayakan pada Jenderal Surono. Di zaman Kabinet Pembangunan I adalah K.H. Idham Chalik yang menjadi Menteri Negara Kesra. Sekjen PDI Sabam Sirait beranggapan, tak diikutsertakannya unsur Parpol dalam kabinet sekarang merupakan "gejala baru dalam politik Indonesia." Seiring dengan Sabam, Amin Iskandar dari PPP mengkaitkan rak adanya orang partai dalam kabinet sebagai "refleksi dari sidang umum MPR lalu." Dalam SU MPR itu, fraksi PP memang menampakkan diri sebagai 'oposisi', baik dalam pemandangan umum maupun selama sidang dengan sikap walk-out. Seorang pimpinan Golkar membenarkan sikap itulah yang membuat PPP tak ikut masuk. Tentang PDI? "Ya mereka jadinya ikut terseret," katanya. Pendapat begitu tak seluruhnya benar, barangkali. Sejak Kabinet Pembangunan II, sebagai pencerminan dari SU MPR 1973 yang berjalan licin, toh porsi partai berkurang. Kalau selama Kabinet Pembangunan I duduk 5 orang partai--termasuk Frans Seda dari Katolik --maka dalam kabinet berikutnya jumlahnya menyusut menjadi dua: satu PDI dan satu PPP. Adapun pertimbangan Presiden Soeharto, diambil setelah mempelajari ketetapan-ketetapan dan hasil sidang MPR 1973. Juga setelah "mengadakan pembicaraan-pembicaraan konsultatip dengan Saudara Wakil Presiden dengan Pimpinan DPR serta Wakil-wakii Partai dan Golongan Karya." Masuknya unsur partai waktu itu, menurut Presiden, dipilih dari "golongan politik yang sedapat mungkin akan terdiri dari tenaga-tenaga yang ahli (teknokrat)." Faktor kahlian itulah yang memang ditekankan Presiden untuk memilih para pembantunya. Ia tetap menghargai beda pendapat, seperti tercermin dalam pidato ketika melantik para Menteri di Istana Negara 31 Maret lalu. "Kemampuan kita untuk tetap bersatu, meskipun telah mengalami perbedaan pandangan yang cukup tajam di antara kita, merupakan ukuran penting bagi kedewasaan kita dalam mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dan UUD 1945," kata Presiden. Lalu menunjuk pada pembukaan UUD 45, Presiden menegaskan: "Para Menteri duduk dalam Kabinet, bukan mewakili sesuatu golongan atau secara berat sebelah mewakili kepentingan golongan yang mana pun." Jumlah para teknokrat yang duduk dalam Kabinet Pembangunan III boleh dibilang sama banyak dengan sebelumnya. Di sana-sini terjadi pergantian teknokrat, ada pula yang pindah bidang. Tapi yang menarik adalah masuknya golongan karya ABRI: dari 4 menjadi 11 Menteri. Dengan begitu dari 24 jabatan Menteri, nyaris separoh dipegang oleh ABRI. Departemen Agama--yang dalam sejarah kabinet di Indonesia biasanya dipegang orang NU, tapi terakhir dipegang Prof. Dr. Mukti Ali (teknokrat) --kini juga jatuh ke tangan ABRI, dijabat oleh Letjen Purn.) H. Alamsyah, 52 tahun. Nama Alamsyah mulai menanjak di awal-awal Orde Baru, ketika menjabat Kordinator SPRI merangkap Ketua Presidium Kabinet. Di tahun 1968 dia diangkat sebagai Sekretaris Negara RI, merangkap Sekretaris Operasionil Pembangunan di Bina Graha. Tapi kemudian ia jadi Dubes RI di Negeri Belanda. Sepulang dari posnya di Den Haag, terakhir ia tampil kembali sebagai Wakil Ketua DPA. Punya karir yang panjang dalam TNI-AD sejak zaman revolusi, H. Alamsyah dikenal "dekat" dengan Islam. Bagaimana Alamsyah, yang tak dikenal punya pengalaman di bidang agama akan memimpin Departemen Agama, mari kita tunggu (lihat Agama). Pindahnya Menteri Perindustrian M. Jusuf ke pos penting Menhankam merangkap Pangab juga ramai dibicarakan orang. Sejak dari zaman Kabinet Dwikora dulu sampai dengan Kabinet Pembangunan II, Jusuf memang lebih dikenal dengan sebutan "Jusuf dari industri". Bagaimana kini? Minggu lalu ketika serah terima jabatan dengan Menteri Perindustrian baru A.R. Suhud, ia banyak bergurau sembari meninggalkan pesan-pesan kepada bekas anak-buahnya. "Sebagai Menteri Pertahanan saya harus melindungi seluruh penduduk Indonesia, termasuk warga Departemen Perindustrian," guraunya. Apakah itu berarti bahwa Dep. Hankam akan lebih tersenyum? Ketika diangkat sebagai Menhankam/ Pangab oleh Presiden, genaplah Jenderal Mohamad Jusuf berkecimpung sebagai Menteri Perindustrian selama 12 tahun 9 bulan, dengan kedudukan sebagai Menteri Perdagangan selama setahun dalam periode yang panjang itu. Tentang jabatannya yang baru itu ia menolak untuk memberikan komentar. 'Nanti saja setelah ada serah-terima jabatan,'' katanya pekan lalu. Jenderal M. Jusuf, yang terkenal sebagai salah satu trio Supersemar--bersama Jend Amirmachmud dan Almarhum Basuki Rachmat--dikenal akan kesederhanaannya. Sampai Senin kemarin di halaman rumahnya di Jl. Teuku Umar tak kelihatan ada gardu penjagaan dan petugas yang berpos di situ, sebagaimana lazimnya seorang Menhankam. "Ya dari dulu memang sepi saja di sini, bapak memang suka begini," kata seorang pembantunya. Bulan Juni nanti berusia 50 tahun, Jenderal M. Jusuf termasuk senior TNI-AD yang masih belum menginjak masa MPP. Tentu Presiden punya pertimbangan tersendiri meminta come backnya orang Makasar itu sebagai penerus pos yang selama itu dijabat Jenderal Maraden Panggabean. Tapi yang pasti, tampilnya Jenderal Mohamad Jusuf sebagai Menhankam/Pangab menghilangkan prasangka yang menuduh seakan-akan jabatan penting dalam ABRI itu "dikuasai orang Kristen". Dalam jabatannya yang baru nanti tentu Jenderal Jusuf akan banyak bekerjasama dengan Laksamana Sudomo yang naik pangkat menjadi Pang-kopkamtib merangkap Wapangab. Melekatnya kedudukan Pangkopkamtib di pundak Sudomo --yang setelah pecahnya peristiwa 15 Januari dipegang sendiri oleh Presiden menunjukkan kepercayaan dan keberhasilan selama dia menjadi Kas Kopkamtib. Sudomo, 51 tahun, adalah anggota TNI-AL pertama yang beroleh kedudukan setinggi itu. Scbagai pelaksana Kamtib (keamanan dan ketertiban) dia berjanji akan segera mengurus pemulihan kehidupan kampus dan pencairan DM-DM yang dibekukan akhir Januari lalu. Di sampingnya adalah Letjen Darjatmo, 52 tahun, sebagai Kas Kopkamtib. Sebelumnya ia Kepala Staf Kekaryaan Hankam. Sejak zaman revolusi mengenal Soeharto dari dekat, Darjatmo punya Jenjang karir yang lama sebagai komandan lapangan. Sewaktu menjabat Pangdam II Bukitbarisan, dia banyak menyelesaikan soal-soal politik, seperti peristiwa Bandarbetsi yang menimbulkan konflik antara barisan BTI, organisasi mantel PKI, dengan petugas-petugas ABRI . Tokoh yang juga banyak dibicarakan, misalnya oleh pers asing, adalah pindahnya Jenderal Surono dari Wapangab. Surono, 54 tahun, sejak zaman revolusi memang termasuk militer tulen. Sebagai Wapangab ia sering melakukan inspeksi di lapangan. Pernah beberapa kali menjabat sebagai Pangdam dan Pj. Gubernur AMN ia memang populer di kalangan perwira muda. Berwajah jernih, berbadan tegap, Jenderal Surono dikenal sebagai yudoka. "Dia Dan IV dan pemilik sabuk hitam," kata seorang yang mengetahui. Kini dia jadi Menko Kesra, membawahi Departemen Sosial, Agama dan P&K. Mengapa pilihan jatuh padanya, hal itu terpulang pada Presiden juga. Tapi beberapa pengamat beranggapan jabatannya yang sekarang membuat ia lebih dekat dengan Presiden. Dibentuknya lembaga Menko, menurut sebuah sumber TEMMPO, adalah untuk meringankan beban Presiden. "Dengan adanya Menko maka Presiden tak selalu akan menghadiri sidang-sidang para menteri, kecuali beliau menganggap perlu." Menurut sumber itu, nantinya akan ada rapat-rapat menteri yang dikoordinir Menko yang bersangkutan. "Dengan begitu Presiden punya waktu untuk memikirkan hal-hal yang besar," katanya. Menlu Mochtar Kusumaatmadja misalnya bisa dipastikan bakal lebih sering menghadap Menko Polkam Panggabean. Jenderal yang berambut putih yang dijuluki "Bonanza" oleh para wartawan Istana--mengingatkan akan tokoh televisi Ben Cartwright dalam serial Bonanza -- kini bertugas mengkoordinasikan penyusunan dan penyiapan kebijaksanaan serta pelaksanaan di lapangan politik. Baik dalam negeri maupun politik luar negeri dan keamanan. Duduk setingkat dengan kedua jenderal itu adalah Menko Ekuin Prof. Widjojo Nitisastro. Selama jadi Menteri Ekuin dalam Kabinet Pembangunan II, Prof. Widjojo sehari-hari sebenarnya sudah menjalankan tugas koordinasi bidang Ekuin. Selama itu pula ia merangkap sebagai Ketua Bappenas. Kini, kedudukannya lebih dipertegas lagi sebagai Menko Ekuin. Dan lebih diperkokoh lagi dengan kenyataan bahwa ia tetap merangkap sebagai Ketua Bappenas. Apalagi tim Widjojo boleh dibilang masih utuh, kecuali perginya Prof. Sadli, yang diteruskan oleh Prof. Subroto (lihat Ekonomi & Bisnis). Timnya di Bappenas juga tak berubah. Selain tetap bertugas sebagai Menteri PAN, Dr. Johannes Baptista Sumarlin, 46 tahun, tetap mendampingi Widjojo sebagai Wakil Ketua Bappenas. Begitu juga Majen Slamet Danusudirdjo dan Dr Saleh Afiff sampai sekarang adalah Deputi Bappenas. Mungkin yang akan pergi sebagai Deputi Widjojo di Bappenas adalah Prof. Dr. Madjid Ibrahim. Konon Madjid akan kembali ke Aceh sebagai gubernur. Kalangan asing banyak yang menyambut kepercayaan Presiden pada tim Widjojo itu. Riichi Arai, General Manager dari Bank of Tokyo di sini, beranggapan bahwa "tim Widjojo itu baik sekali, sekalipun ada beberapa kritik dari mahasiswa." Tapi kalangan Jepang itu, termasuk Y. Wada, Kepala Perwakilan perusahaan raksasa C. Itoh dan Y. Mizuta, Kepala Perwakilan Marubeni Corp, sangat menekankan akan perlunya peningkatan mutu pendidikan, kalangan bisnis Jepang itu percaya bahwa melalui pendidikan, "kebocoran-kebocoran yang masih ada bisa berkurang." Soal itu pula yang tampaknya akan lebih mendapat perhatian sekarang. Menjelaskan tujuh sasaran pokok Kabinet Pembangunan III, yang oleh Presiden Soeharto dinamakan Sapta Krida, salah satu yang dianggap mutlak oleh Presiden adalah "terciptanya aparatur negara yang makin bersih dan berwibawa." Soal mengurus aparatur negara itu memang tugas Menteri Sumarlin. Tapi sejalan dengan itu, segi pengawasan akan bertambah sekali ini. Wakil Presiden, umpamanya oleh Mandataris MPR diberi "tugas khusus" untuk "terus menerus memimpin dan mengikuti pelaksanaan pengawasan pembangunan." Ada Suara dari SU MPR 1978 agar pengawasan ini ditekankan sekali. Dan Mandataris/Presiden ternyata memang memperkaya Kabinet Pembangunan III dengan satu Menteri yang bertugas khusus untuk itu, yaitu Emil Salim, tadinya memimpin Dep. Perhubungan. Sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup, Emil Salim, mulai membuka jalan minggu ini dengan "sowan" ke sana-sini. Berturut dikunjunginya mulai Wakil Presiden Adam Malik sampai ketiga Menteri Kordinator dan semua rekan lainnya dalam kabinet. "Tugas saya akan banyak keliling-keliling," katanya. "Kalau mau bikin ringan bisa. Berat juga bisa. Tapi ini merupakan tantangan baru bagi saya." Pengawasan ini tadinya sudah ada seperti oleh Irjenbang, BPK, Bappenas dan DPR sendiri. Namun dalam prakteknya pengawasan itu masih dirasakan kurang. Maka walaupun kebijaksanaan sudah betul, hasil pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan. Tugas Menteri Emil masih belum dipaparkan bagaimana harus dijalankannya. Maklum, ini masih baru. Dan Emil sendiri tampak harus mengembangkannya. Belum diketahui pula siapa dan lembaga apa yang akan dibawahinya. Seakan-akan dia merupakan "menteri mengambang" karena adanya kewajiban "keliling-keliling" itu. Sedikitnya 4 sasaran pendekatan -prosedur, mekanisme, institusi dan personalia -- yang terpikirkan oleh Emil. Keempat itu, katanya, akan diteliti di berbagai departemen dan, tentu saja, berurut sesuai dengan prioritas. Tampaknya prioritas tertuju pada bidang Ekuin, juga antara lain menyangkut DUP (daftar usulan proyek) dan DIP (daftar isian proyek) dari setiap Departemen. Jadi, Menteri Emil pada hakekatnya akan masih dekat dengan tim Widjojo, walaupun jabatannya tidak di bagian Ekuin. Tampaknya dia akan menelorkan banyak rekomendasi dan memorandum. Mungkin pihak lain mengindahkannya, mungkin pula mengabaikannya. Tapi Menteri ini, menurut uraiannya, akan menyampaikan hasil penelitiannya pada saluran sekjen di departemen masing-masing. Juga ke Opstib, katanya, kalau perlu. Pangkopkamtib/Wapangab Laksamana TNI Sudomo mengatakan Opstib akan "tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan" dalam 5 tahun mendatang. "Orang-orang menyeleweng akan makin tidak berkutik." Selain ingin menampilkan wajah yang bersih, Kabinet yang tanpa parpol ini bermaksud menekankan bidang keadilan sosial dalam programnya. Dalam pidatonya sesudah acara sumpah jabatan 23 Maret lalu, Presiden antara lain berkata: "Saya mendengarkan dengan tekun, memasukkan baik-baik dalam hati dan menyaring dalam fikiran apa yang disuarakan, ' deqgan keras dan lantang, apa yang disampaikan dengan lemah lembut dan halus. Juga apa yang tidak terucapkan. Semuanya itu membantu saya memahami segala fikiran dan keinginan Rakyat yang berkembang di Majelis ini." Suara "keras dan lantang" itu antara lain telah diperlihatkan mahasiswa, yang sebenarnya punya satu keinginan saja: pemerintahan yang bersih. Suara yang "lemah lembut dan halus" mungkin terdengar dari arah lain. Bagaimana pertama-tama memonitor semua itu, mungkin itu tantangan Kabinet ini. Dengan basis yang lebih kokoh tapi lebih sempit, hanya Golkar dan ABRI, Kabinet Pembangunan III diharapkan oleh banyak kalangan akan lebih bisa dinamis dan sementara itu lebih bisa menggerakkan masyarakat untuk ikut bekerja. Agaknya sejalan dengan keharusan untkk mencapai Sapta Krida itulah, Presiden ingin punya juru bicara yang lincah. Dan nampaknya Letjen Ali Murtopo orangnya. Lama berada di luar Kabinet, tapi tergolong salah seorang yang paling dekat dengan Presiden, posisi tokoh yang satu ini kini sudah lebih 'resmi'. Seorang pembantunya beranggapan Departemen Penerangan itulah "yang paling mundur dan perlu segera dibenahi". Dalam urusan bebenah, bukan soal baru buat Ali Murtopo. (lihat box wawancara)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus