KABINET Pembangunan III untuk pertama kalinya rapat Rabu pekan
ini. Banyak wajah baru yang kini mengenakan seragam menteri, di
samping sejumlah wajah lama. Jumlah kursi juga bertambah dalam
rapat paripurna kabinet yang untuk pertama kalinya itu. Apalagi
bila Presiden Soeharto dalam waktu dekat ini berkenan
mengumumkan siapa saja yang bakal terpilih sebagai Menteri Muda.
Di antara wajah-wajah baru yang masuk memang tak terlihat yang
berasal dari Parpol. Kursi H. Mintareja (PPP) yang tadinya
memimpin Departemen Sosial, kini beralih ke tangan Majen
Sapardjo. Demikian pula Prof. Sunawar Sukawati (PDI), yang
tadinya Menteri Kesra, tak lagi duduk dalam kabinet. Kedudukan
Kesra itu, kini ditingkatkan bertaraf Menteri Koordinator
(Menko) yang dipercayakan pada Jenderal Surono. Di zaman Kabinet
Pembangunan I adalah K.H. Idham Chalik yang menjadi Menteri
Negara Kesra.
Sekjen PDI Sabam Sirait beranggapan, tak diikutsertakannya unsur
Parpol dalam kabinet sekarang merupakan "gejala baru dalam
politik Indonesia." Seiring dengan Sabam, Amin Iskandar dari PPP
mengkaitkan rak adanya orang partai dalam kabinet sebagai
"refleksi dari sidang umum MPR lalu." Dalam SU MPR itu, fraksi
PP memang menampakkan diri sebagai 'oposisi', baik dalam
pemandangan umum maupun selama sidang dengan sikap walk-out.
Seorang pimpinan Golkar membenarkan sikap itulah yang membuat
PPP tak ikut masuk. Tentang PDI? "Ya mereka jadinya ikut
terseret," katanya.
Pendapat begitu tak seluruhnya benar, barangkali. Sejak Kabinet
Pembangunan II, sebagai pencerminan dari SU MPR 1973 yang
berjalan licin, toh porsi partai berkurang. Kalau selama Kabinet
Pembangunan I duduk 5 orang partai--termasuk Frans Seda dari
Katolik --maka dalam kabinet berikutnya jumlahnya menyusut
menjadi dua: satu PDI dan satu PPP. Adapun pertimbangan Presiden
Soeharto, diambil setelah mempelajari ketetapan-ketetapan dan
hasil sidang MPR 1973. Juga setelah "mengadakan
pembicaraan-pembicaraan konsultatip dengan Saudara Wakil
Presiden dengan Pimpinan DPR serta Wakil-wakii Partai dan
Golongan Karya." Masuknya unsur partai waktu itu, menurut
Presiden, dipilih dari "golongan politik yang sedapat mungkin
akan terdiri dari tenaga-tenaga yang ahli (teknokrat)."
Faktor kahlian itulah yang memang ditekankan Presiden untuk
memilih para pembantunya. Ia tetap menghargai beda pendapat,
seperti tercermin dalam pidato ketika melantik para Menteri di
Istana Negara 31 Maret lalu. "Kemampuan kita untuk tetap
bersatu, meskipun telah mengalami perbedaan pandangan yang cukup
tajam di antara kita, merupakan ukuran penting bagi kedewasaan
kita dalam mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945," kata Presiden. Lalu menunjuk pada
pembukaan UUD 45, Presiden menegaskan: "Para Menteri duduk
dalam Kabinet, bukan mewakili sesuatu golongan atau secara berat
sebelah mewakili kepentingan golongan yang mana pun."
Jumlah para teknokrat yang duduk dalam Kabinet Pembangunan III
boleh dibilang sama banyak dengan sebelumnya. Di sana-sini
terjadi pergantian teknokrat, ada pula yang pindah bidang. Tapi
yang menarik adalah masuknya golongan karya ABRI: dari 4 menjadi
11 Menteri. Dengan begitu dari 24 jabatan Menteri, nyaris
separoh dipegang oleh ABRI. Departemen Agama--yang dalam sejarah
kabinet di Indonesia biasanya dipegang orang NU, tapi terakhir
dipegang Prof. Dr. Mukti Ali (teknokrat) --kini juga jatuh ke
tangan ABRI, dijabat oleh Letjen Purn.) H. Alamsyah, 52 tahun.
Nama Alamsyah mulai menanjak di awal-awal Orde Baru, ketika
menjabat Kordinator SPRI merangkap Ketua Presidium Kabinet. Di
tahun 1968 dia diangkat sebagai Sekretaris Negara RI, merangkap
Sekretaris Operasionil Pembangunan di Bina Graha. Tapi kemudian
ia jadi Dubes RI di Negeri Belanda. Sepulang dari posnya di Den
Haag, terakhir ia tampil kembali sebagai Wakil Ketua DPA. Punya
karir yang panjang dalam TNI-AD sejak zaman revolusi, H.
Alamsyah dikenal "dekat" dengan Islam. Bagaimana Alamsyah, yang
tak dikenal punya pengalaman di bidang agama akan memimpin
Departemen Agama, mari kita tunggu (lihat Agama).
Pindahnya Menteri Perindustrian M. Jusuf ke pos penting
Menhankam merangkap Pangab juga ramai dibicarakan orang. Sejak
dari zaman Kabinet Dwikora dulu sampai dengan Kabinet
Pembangunan II, Jusuf memang lebih dikenal dengan sebutan "Jusuf
dari industri". Bagaimana kini? Minggu lalu ketika serah terima
jabatan dengan Menteri Perindustrian baru A.R. Suhud, ia banyak
bergurau sembari meninggalkan pesan-pesan kepada bekas
anak-buahnya. "Sebagai Menteri Pertahanan saya harus melindungi
seluruh penduduk Indonesia, termasuk warga Departemen
Perindustrian," guraunya. Apakah itu berarti bahwa Dep. Hankam
akan lebih tersenyum?
Ketika diangkat sebagai Menhankam/ Pangab oleh Presiden,
genaplah Jenderal Mohamad Jusuf berkecimpung sebagai Menteri
Perindustrian selama 12 tahun 9 bulan, dengan kedudukan sebagai
Menteri Perdagangan selama setahun dalam periode yang panjang
itu.
Tentang jabatannya yang baru itu ia menolak untuk memberikan
komentar. 'Nanti saja setelah ada serah-terima jabatan,''
katanya pekan lalu. Jenderal M. Jusuf, yang terkenal sebagai
salah satu trio Supersemar--bersama Jend Amirmachmud dan
Almarhum Basuki Rachmat--dikenal akan kesederhanaannya. Sampai
Senin kemarin di halaman rumahnya di Jl. Teuku Umar tak
kelihatan ada gardu penjagaan dan petugas yang berpos di situ,
sebagaimana lazimnya seorang Menhankam. "Ya dari dulu memang
sepi saja di sini, bapak memang suka begini," kata seorang
pembantunya.
Bulan Juni nanti berusia 50 tahun, Jenderal M. Jusuf termasuk
senior TNI-AD yang masih belum menginjak masa MPP. Tentu
Presiden punya pertimbangan tersendiri meminta come backnya
orang Makasar itu sebagai penerus pos yang selama itu dijabat
Jenderal Maraden Panggabean. Tapi yang pasti, tampilnya Jenderal
Mohamad Jusuf sebagai Menhankam/Pangab menghilangkan prasangka
yang menuduh seakan-akan jabatan penting dalam ABRI itu
"dikuasai orang Kristen".
Dalam jabatannya yang baru nanti tentu Jenderal Jusuf akan
banyak bekerjasama dengan Laksamana Sudomo yang naik pangkat
menjadi Pang-kopkamtib merangkap Wapangab. Melekatnya kedudukan
Pangkopkamtib di pundak Sudomo --yang setelah pecahnya peristiwa
15 Januari dipegang sendiri oleh Presiden menunjukkan
kepercayaan dan keberhasilan selama dia menjadi Kas Kopkamtib.
Sudomo, 51 tahun, adalah anggota TNI-AL pertama yang beroleh
kedudukan setinggi itu. Scbagai pelaksana Kamtib (keamanan dan
ketertiban) dia berjanji akan segera mengurus pemulihan
kehidupan kampus dan pencairan DM-DM yang dibekukan akhir
Januari lalu.
Di sampingnya adalah Letjen Darjatmo, 52 tahun, sebagai Kas
Kopkamtib. Sebelumnya ia Kepala Staf Kekaryaan Hankam. Sejak
zaman revolusi mengenal Soeharto dari dekat, Darjatmo punya
Jenjang karir yang lama sebagai komandan lapangan. Sewaktu
menjabat Pangdam II Bukitbarisan, dia banyak menyelesaikan
soal-soal politik, seperti peristiwa Bandarbetsi yang
menimbulkan konflik antara barisan BTI, organisasi mantel PKI,
dengan petugas-petugas ABRI .
Tokoh yang juga banyak dibicarakan, misalnya oleh pers asing,
adalah pindahnya Jenderal Surono dari Wapangab. Surono, 54
tahun, sejak zaman revolusi memang termasuk militer tulen.
Sebagai Wapangab ia sering melakukan inspeksi di lapangan.
Pernah beberapa kali menjabat sebagai Pangdam dan Pj. Gubernur
AMN ia memang populer di kalangan perwira muda.
Berwajah jernih, berbadan tegap, Jenderal Surono dikenal sebagai
yudoka. "Dia Dan IV dan pemilik sabuk hitam," kata seorang yang
mengetahui. Kini dia jadi Menko Kesra, membawahi Departemen
Sosial, Agama dan P&K. Mengapa pilihan jatuh padanya, hal itu
terpulang pada Presiden juga. Tapi beberapa pengamat beranggapan
jabatannya yang sekarang membuat ia lebih dekat dengan Presiden.
Dibentuknya lembaga Menko, menurut sebuah sumber TEMMPO, adalah
untuk meringankan beban Presiden. "Dengan adanya Menko maka
Presiden tak selalu akan menghadiri sidang-sidang para menteri,
kecuali beliau menganggap perlu." Menurut sumber itu, nantinya
akan ada rapat-rapat menteri yang dikoordinir Menko yang
bersangkutan. "Dengan begitu Presiden punya waktu untuk
memikirkan hal-hal yang besar," katanya.
Menlu Mochtar Kusumaatmadja misalnya bisa dipastikan bakal lebih
sering menghadap Menko Polkam Panggabean. Jenderal yang berambut
putih yang dijuluki "Bonanza" oleh para wartawan
Istana--mengingatkan akan tokoh televisi Ben Cartwright dalam
serial Bonanza -- kini bertugas mengkoordinasikan penyusunan dan
penyiapan kebijaksanaan serta pelaksanaan di lapangan politik.
Baik dalam negeri maupun politik luar negeri dan keamanan.
Duduk setingkat dengan kedua jenderal itu adalah Menko Ekuin
Prof. Widjojo Nitisastro. Selama jadi Menteri Ekuin dalam
Kabinet Pembangunan II, Prof. Widjojo sehari-hari sebenarnya
sudah menjalankan tugas koordinasi bidang Ekuin. Selama itu pula
ia merangkap sebagai Ketua Bappenas. Kini, kedudukannya lebih
dipertegas lagi sebagai Menko Ekuin. Dan lebih diperkokoh lagi
dengan kenyataan bahwa ia tetap merangkap sebagai Ketua
Bappenas. Apalagi tim Widjojo boleh dibilang masih utuh, kecuali
perginya Prof. Sadli, yang diteruskan oleh Prof. Subroto (lihat
Ekonomi & Bisnis).
Timnya di Bappenas juga tak berubah. Selain tetap bertugas
sebagai Menteri PAN, Dr. Johannes Baptista Sumarlin, 46 tahun,
tetap mendampingi Widjojo sebagai Wakil Ketua Bappenas. Begitu
juga Majen Slamet Danusudirdjo dan Dr Saleh Afiff sampai
sekarang adalah Deputi Bappenas. Mungkin yang akan pergi sebagai
Deputi Widjojo di Bappenas adalah Prof. Dr. Madjid Ibrahim.
Konon Madjid akan kembali ke Aceh sebagai gubernur.
Kalangan asing banyak yang menyambut kepercayaan Presiden pada
tim Widjojo itu. Riichi Arai, General Manager dari Bank of Tokyo
di sini, beranggapan bahwa "tim Widjojo itu baik sekali,
sekalipun ada beberapa kritik dari mahasiswa."
Tapi kalangan Jepang itu, termasuk Y. Wada, Kepala Perwakilan
perusahaan raksasa C. Itoh dan Y. Mizuta, Kepala Perwakilan
Marubeni Corp, sangat menekankan akan perlunya peningkatan mutu
pendidikan, kalangan bisnis Jepang itu percaya bahwa melalui
pendidikan, "kebocoran-kebocoran yang masih ada bisa berkurang."
Soal itu pula yang tampaknya akan lebih mendapat perhatian
sekarang. Menjelaskan tujuh sasaran pokok Kabinet Pembangunan
III, yang oleh Presiden Soeharto dinamakan Sapta Krida, salah
satu yang dianggap mutlak oleh Presiden adalah "terciptanya
aparatur negara yang makin bersih dan berwibawa."
Soal mengurus aparatur negara itu memang tugas Menteri Sumarlin.
Tapi sejalan dengan itu, segi pengawasan akan bertambah sekali
ini. Wakil Presiden, umpamanya oleh Mandataris MPR diberi
"tugas khusus" untuk "terus menerus memimpin dan mengikuti
pelaksanaan pengawasan pembangunan." Ada Suara dari SU MPR 1978
agar pengawasan ini ditekankan sekali. Dan Mandataris/Presiden
ternyata memang memperkaya Kabinet Pembangunan III dengan satu
Menteri yang bertugas khusus untuk itu, yaitu Emil Salim,
tadinya memimpin Dep. Perhubungan.
Sebagai Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan
Hidup, Emil Salim, mulai membuka jalan minggu ini dengan "sowan"
ke sana-sini. Berturut dikunjunginya mulai Wakil Presiden Adam
Malik sampai ketiga Menteri Kordinator dan semua rekan lainnya
dalam kabinet. "Tugas saya akan banyak keliling-keliling,"
katanya. "Kalau mau bikin ringan bisa. Berat juga bisa. Tapi ini
merupakan tantangan baru bagi saya."
Pengawasan ini tadinya sudah ada seperti oleh Irjenbang, BPK,
Bappenas dan DPR sendiri. Namun dalam prakteknya pengawasan itu
masih dirasakan kurang. Maka walaupun kebijaksanaan sudah betul,
hasil pelaksanaannya belum seperti yang diharapkan.
Tugas Menteri Emil masih belum dipaparkan bagaimana harus
dijalankannya. Maklum, ini masih baru. Dan Emil sendiri tampak
harus mengembangkannya. Belum diketahui pula siapa dan lembaga
apa yang akan dibawahinya. Seakan-akan dia merupakan "menteri
mengambang" karena adanya kewajiban "keliling-keliling" itu.
Sedikitnya 4 sasaran pendekatan -prosedur, mekanisme, institusi
dan personalia -- yang terpikirkan oleh Emil. Keempat itu,
katanya, akan diteliti di berbagai departemen dan, tentu saja,
berurut sesuai dengan prioritas. Tampaknya prioritas tertuju
pada bidang Ekuin, juga antara lain menyangkut DUP (daftar
usulan proyek) dan DIP (daftar isian proyek) dari setiap
Departemen. Jadi, Menteri Emil pada hakekatnya akan masih dekat
dengan tim Widjojo, walaupun jabatannya tidak di bagian Ekuin.
Tampaknya dia akan menelorkan banyak rekomendasi dan memorandum.
Mungkin pihak lain mengindahkannya, mungkin pula mengabaikannya.
Tapi Menteri ini, menurut uraiannya, akan menyampaikan hasil
penelitiannya pada saluran sekjen di departemen masing-masing.
Juga ke Opstib, katanya, kalau perlu.
Pangkopkamtib/Wapangab Laksamana TNI Sudomo mengatakan Opstib
akan "tetap dilanjutkan, bahkan ditingkatkan" dalam 5 tahun
mendatang. "Orang-orang menyeleweng akan makin tidak berkutik."
Selain ingin menampilkan wajah yang bersih, Kabinet yang tanpa
parpol ini bermaksud menekankan bidang keadilan sosial dalam
programnya. Dalam pidatonya sesudah acara sumpah jabatan 23
Maret lalu, Presiden antara lain berkata: "Saya mendengarkan
dengan tekun, memasukkan baik-baik dalam hati dan menyaring
dalam fikiran apa yang disuarakan, ' deqgan keras dan lantang,
apa yang disampaikan dengan lemah lembut dan halus. Juga apa
yang tidak terucapkan. Semuanya itu membantu saya memahami
segala fikiran dan keinginan Rakyat yang berkembang di Majelis
ini."
Suara "keras dan lantang" itu antara lain telah diperlihatkan
mahasiswa, yang sebenarnya punya satu keinginan saja:
pemerintahan yang bersih. Suara yang "lemah lembut dan halus"
mungkin terdengar dari arah lain. Bagaimana pertama-tama
memonitor semua itu, mungkin itu tantangan Kabinet ini. Dengan
basis yang lebih kokoh tapi lebih sempit, hanya Golkar dan ABRI,
Kabinet Pembangunan III diharapkan oleh banyak kalangan akan
lebih bisa dinamis dan sementara itu lebih bisa menggerakkan
masyarakat untuk ikut bekerja.
Agaknya sejalan dengan keharusan untkk mencapai Sapta Krida
itulah, Presiden ingin punya juru bicara yang lincah. Dan
nampaknya Letjen Ali Murtopo orangnya.
Lama berada di luar Kabinet, tapi tergolong salah seorang yang
paling dekat dengan Presiden, posisi tokoh yang satu ini kini
sudah lebih 'resmi'. Seorang pembantunya beranggapan
Departemen Penerangan itulah "yang paling mundur dan perlu
segera dibenahi". Dalam urusan bebenah, bukan soal baru buat Ali
Murtopo. (lihat box wawancara)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini