Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Pengabdian yang sederajat

Cendekiawan yang independen, punya harga diri, kepandaian & kebajikan, tak mudah mau bekerja pada penguasa yang tak disukai. para pengabdi yang tak dapat dipanggil menghadap & menilai pengabdiannya sama.

8 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CHAO Meng-fu hidup di Negeri Cina di abad ke-13. Para penulis kemudian mengecamnya sebagai seorang cendekiawan yang salah. Di abad ini mungkin ia akan didamprat sebagai pengkhianat, "pelacur intelektuil". Riwayatnya jelas. Ia mengabdi kepada kekuasaan Mongol yang memerintah Cina di abad itu. Orang pribumi Cina tak menyukai kekuasaan ini: bukan saja karena asing, tapi juga karena bangsa pengembara yang datang sebagai penakluk itu hanya maju di bidang militer, tapi mentah dalam kebudayaan. Betapapun besarnya kuasa Kubilai Khan dan para penggantinya, mereka sukar menimbulkan rasa hormat kalangan cerdik pandai Cina. Chao Meng-fu sendiri--sarjana, seniman, penyair dan ahli kaligrafi--agaknya sadar akan kemungkinan bahwa ia telah, atau akan, dipandang membudak kepada kekuasaan. Menarik, bahwa dalam sebuah sajaknya ia memuji T'ao Yuan-ming. Tokoh ini termashur karena mengundurkan diri dari jabatan tinggi dan menolak bekerja buat dinasti baru: Ia ikuti jalannya yang luhur, agung bak pohon pina yang rimbun. Ia ba-gaikan kembang krisan, yang disen-tuh salju tapi tetap berkilau. Ia siap serahkan jabatan, lalu ia menanggung miskin, tapi terangguk puas dekat jendela. Tapi itu tak berarti bahwa Chao hendak memujikan sikap T'ao Yuanming sebagai satu-satunya pilihan. Dalam sajaknya itu sekaligus ia menyatakan bahwa tiap orang harus mengambil jalan menurut situasinya masing-masing: "Apakah seseorang akan tampil dan mengabdi, atau undur menyisihkan diri, itu bukanlah keputusan yang kebetulan." Untunglah, meskipun waktu orang Mongol datang menaklukkan Cina, Chao sendiri sudah berusia 20-an tahun, baru 10 tahun kemudian ia mau terima jabatan dalam kerajaan. Kubilai Khan yang sudah tua memang tertarik akan kecakapannya. Dan Chao terbukti kemudian menghasilkan hal-hal yang sangat berharga di masa itu--satu prestasi yang agaknya menolongnya dari kutukan sebagai si "lapar posisi" di kelak kemudian hari. Tentu saja harus dicatat bahwa meskipun ia tak dianggap sebagai si culas yang berambisi, ia juga bukan tauladan utama bagi para penulis Cina. Untuk tauladan, mereka mungkin lebih tertarik akan figur lain: Cheng Ssu-hsiao. Cheng adalah tokoh yang setia kepada dinasti Sung. Dengan benci ia memandang kekuasaan Mongol yang muncul kemudian. Pada dirinya tertanam ajaran untuk berpegang pada kesetiaan yang tak berubah menurut waktu. "Aku dengar ayahku berkata," demikian tulis Cheng, "hidup atau mati adalah soal sepele, tapi sikap abadi dalam moral adalah soal besar." Moral yang pokok baginya ialah bahwa "pengabdian seorang penguasa lebih baik mati daripada harus mengabdi penguasa lain. Tak heran bila ia mengejek orang sebangsanya yang bekerja untuk penguasa yang sedang ,naik itu. Aneh juga bahwa cendekiawan macam Cheng dibiarkan saja oleh penguasa. Seorang ahli Sinologi, Frederick W. Mote, dalam sumbangannya untuk buku The Confucian Persuasion (editor: Arthur F. Wright, Standford University Press, 1960) menduga bahwa itu antara lain karena Cheng tak dianggap sebagai ancaman. Ia bukan pemimpin pasukan bersenjata, ucapannya pun kurang-lebih hanya di lingkungan terbatas. Dan si raja yakin akan kekuatannya sendiri. Sementara itu penguasa Mongol bukannya tanpa sikap bijaksana. Kaisar Kubilai Khan, misalnya, menunjukkan itu dalam kasus Liu Yin. Cendekiawan ini ditawari pelbagai posisi terhormat, antara lain dalam Akademi Konfusian. Tapi Liu Yin menolak. Waktu mendengar ini Kaisar mengatakan: "Di zaman dulu orang mengenal 'para pengabdi yang tak dapat dipanggil menghadap'. Mereka tentulah seperti orang ini!." Agaknya Kubilai Khan dengan arif teringat akan ucapan Mencius: " .... seorang raja yang akan merampungkan tindakan besar pasti akan memiliki menteri-menteri yang tak dapat dipanggilnya menghadap. Bila ia ingin mendapat nasihat, dialah yang datang pada mereka " Mencius dengan itu membentuk satu ideal tentang cendekiawan yang independen, yang punya harga diri, kepandaian dan kebajikan, dan menilai pengabdiannya tak lebih rendah bahkan dari raja sendiri. Hebat juga bahwa Kubilai Khan tidak menolak itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus