Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Tenang, ada benteng

Polemik versi uud 1945 yang paling aman dan benar muncul lagi. dalam ketetapan mprs no. 20 tahun 1966, perubahan pembukaan uud 1945 tidak boleh di- lakukan.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Polemik tentang versi UUD 1945 yang paling benar dan aman muncul lagi. Padmo Wahjono memperingatkan ekses bekunya UUD 1945. PERNYATAAN Wakil Ketua MPR RI, R. Soeprapto, itu mengagetkan banyak orang. Di tengah peringatan "Dekrit Presiden 5 Juli 1959" yang diselenggarakan oleh Yayasan Pembela Tanah Air (Yapenta) di Gedung Perintis Kemerdekaan, Jakarta, pekan silam, bekas Gubernur DKI Jakarta itu mengungkapkan, ternyata ada dua versi naskah Undang-Undang Dasar 1945 yang berbeda sistematika penyusunannya, yang bisa mengancam pelestarian Pancasila. Perkara itu ternyata juga diungkit oleh Kepala Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7), Oetojo Oesman, ketika membuka penataran P4 tingkat nasional di Gedung BP7 Pusat pekan lalu. Versi pertama adalah naskah dalam Berita Negara RI tahun II No. 7 tanggal 15 Februari 1946. Di situ, susunannya: Undang-Undang Dasar, Pembukaan ( Pancasila), kemudian batang tubuh UUD 1945. Berarti, Mukadimah merupakan bagian dari UUD 1945. Versi ini, menurut Soeprapto, dipakai dalam buku pedoman P4. Versi kedua termuat dalam Lembaran Negara No. 75/5 Juli 1959 seperti yang tercantum di Dekrit Presiden Soekarno. Susunannya: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, Pembukaan (Pancasila), subjudul Undang-Undang Dasar, baru kemudian batang tubuh. Artinya, Pembukaan bukan bagian dari batang tubuh UUD 1945. Rumusan sidang Umum MPR 1988 menggunakan versi ini. Menurut Soeprapto, hal ini akan mengancam Pancasila bila kelak ada kesepakatan nasional untuk mengubah UUD, yang dimungkinkan oleh pasal 37 UUD 1945. "Sekarang memang tidak ada masalah. Tetapi, nanti setelah kita tidak ada, itu bisa dimanipulasi dan Pancasila bisa diubah," katanya kepada TEMPO. Lalu ia mengimbau supaya Pemerintah menegaskan bahwa naskah versi Lembaran Negara yang sebaiknya dipergunakan. Sebab, "Kalau perubahan itu didasarkan pada Berita Negara, perubahan UUD mencakup pula perubahan Pembukaan, dan itu berarti mengubah Pancasila. Sedangkan, dengan versi Lembaran Negara, pengubahan UUD tak akan mencakup Pembukaan, dan berarti Pancasila tak tersentuh," katanya lagi. Tak lupa ia mengkritik judul sampul buku P-4 terbitan Sekretariat Negara yang hanya menyebutkan: Undang-Undang Dasar, tanpa 1945. Yang digugat Soeprapto dan Oetojo Oesman ternyata bukan hal baru. Adanya dua versi naskah UUD ini sebenarnya pernah dipersoalkan banyak pihak bertahun-tahun yang lampau. Soeprapto sendiri, pada 1988, pernah mendapat laporan tentang adanya dua versi naskah tersebut. Ia kemudian berkonsultasi dengan Ketua Tim Penasihat Presiden mengenai Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P7) dan Ketua Mahkamah Agung Ali Said. Mereka sepakat bahwa versi Dekritlah yang sah. Agustus 1988, Ketua MPR/DPR Kharis Suhud berkirim surat kepada Prsiden, berisi saran untuk mencabut naskah UUD 45 versi Berita Negara. Tak jelas kemudian bagaimana nasib saran ini. Polemik muncul kembali pada 1989, antara lain oleh Prof. Dr. Sri Soemantri, pakar hukum tata negara Universitas Padjadjaran. Ia bahkan menambahkan adanya versi Sekretariat Negara, yang susunannya mirip versi Berita Negara, hanya sudah disesuaikan dengan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Juga disebut versi Koesnodiprodjo (penulis yang banyak menerbitkan himpunan peraturan dan undang-undang), yang susunannya: Pembukaan, judul UUD 1945, dan batang tubuh. Rentetan polemik dan kekhawatiran itu, menurut Wakil Kepala BP7 Prof. Padmo Wahjono, sebenarnya tak perlu. Dengan benteng Ketetapan MPRS No. 20 tahun 1966, kemungkinan untuk mengubah Pancasila sebenarnya hampir mustahil. Dalam Ketetapan itu dinyatakan, perubahan Pembukaan UUD itu tidak boleh dilakukan oleh MPR mana pun. Padmo berpendapat, "Sepanjang sistem-sistem dan falsafahnya tetap, apa pun versi naskah yang ada, tak masalah." Ia juga memandang persoalan pelestarian Pancasila sudah selesai. Yang penting pengamalannya. "Dan pengamalan itu memerlukan UUD yang berkembang. Jangan dibekukan oleh ide-ide untuk menangkal pasal 37," katanya. "Saya menafsirkan pasal 37 itu sebagai kemungkinan terbukanya upaya pengembangan, bukan perubahan seperti yang selama ini dipahami." Padmo justru melihat bahaya yang lain: kegairahan yang begitu besar untuk mempertahankan UUD 1945, "yang tanpa disadari justru menimbulkan ekses bekunya UUD 45." Ia menunjuk contoh polemik tentang ide untuk membatasi jabatan presiden hanya dua kali masa jabatan. "Belum apa-apa sudah ada yang menganggapnya bertentangan dengan konstitusi," katanya. Sama seperti Padmo, Dr. Muhammad Ridwan Indra, yang telah menulis sejumlah buku tentang Pancasila dan UUD 1945, menganggap Pancasila tak akan terancam. Apalagi sekarang ada UU No. 5 tentang Referendum. Di situ disebutkan, sebelum anggota MPR sepakat mengubah UUD 1945, lebih dahulu harus memperoleh persetujuan 90% dari suara rakyat, yang menurut Muhammad Ridwan, tidak akan mungkin terjadi. Ia juga menolak gagasan Soeprapto untuk mengesahkan agar versi Lembaran Negara yang dipakai. "Naskah itu tidak otentik lagi, sudah ada penambahan, yang sama artinya dengan amendemen dalam arti luas," dalihnya. Amendemen sebenarnya adalah hak parlemen untuk mengusulkan perubahan perundang-undangan, dan itu bukan hak presiden. Ketua Tim P7, Dr. Roeslan Abdulgani, sependapat dengan Soeprapto, bahwa sebaiknya Pemerintah menetapkan naskah versi Lembaran Negara sebagai naskah yang sah. "Di situ terlihat jelas adanya pemisahan antara Mukadimah yang tidak bisa diubah dan batang tubuh UUD 1945 yang bisa diubah," katanya. Secara keseluruhan, Roeslan juga kurang setuju dengan diramaikannya masalah ini. "Apa kita memang tidak punya pekerjaan lain ...," katanya. Priyono B. Sumbogo, Liston P. Siregar, dan Zed Abidien

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus