Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Empat pekerja seks meriung dalam ruangan berkaca bening di Wisma Srikandi di Gang Dolly, Surabaya, Senin malam pekan lalu. Makeup mereka menor, busananya serba terbuka. Sembari menunggu pria-pria penikmat seks sesaat mampir, indra pendengaran mereka dihibur irama house music yang berdentam-dentam. Bibir-bibir bergincu itu dengan santai mengisap rokok, lalu melepaskan asapnya ke udara. Puhhh....
"Tahun lalu wisma ini punya 19 pekerja seks, sekarang tinggal 9 orang. Lainnya ada yang nikah, pulang kampung, dan tobat," kata makelar Wisma Srikandi, Priyanto, saat ditemui Tempo. Selain berkurangnya jumlah pelacur, menurut dia, jumlah pria hidung belang yang datang melorot. Sebulan belakangan, Wisma Srikandi rata-rata hanya didatangi 60 tamu pria per hari, sedangkan tahun lalu 100-an pria per hari. Wisma Srikandi mematok tarif Rp 100 ribu sekali kencan. Priyanto menduga penurunan itu terjadi berkaitan dengan rencana Pemerintah Kota Surabaya menutup lokalisasi Dolly per 19 Juni.
Tenggat telah dipatok Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini untuk mengakhiri sejarah panjang Dolly. Lokalisasi yang beroperasi sejak zaman kolonial Belanda itu awalnya hanya menyediakan perempuan untuk memenuhi hajat seks tentara kolonial. Kawasan pelacuran yang didirikan perempuan keturunan Belanda, Dolly van der Mart, kemudian terbuka untuk umum. Ada yang menyebut lokalisasi Dolly terbesar di Asia Tenggara, mengalahkan Patpong di Bangkok dan Geylang di Singapura.
Menjelang penutupan, suara pro dan kontra saling berganti. Sejumlah warga yang mendapatkan keuntungan ekonomi menolak rencana itu. Misalnya mereka yang bekerja sebagai pencuci baju serta yang membuka salon dan warung makan tak ikhlas Dolly tamat. Senin pekan lalu, bersama buruh dan mahasiswa, massa yang menyebut diri Gerakan Rakyat Bersatu menggeruduk kantor Kelurahan Putat Jaya, yang menaungi kawasan Dolly, untuk menyampaikan aspirasi. Suara mereka sama dengan kata hati Priyanto. "Kompensasi Rp 5 juta untuk muncikari itu kecil. Bos saya pasti enggak mau," ujarnya.
Penolakan juga disampaikan Santi, salah satu pekerja seks di Dolly. Itu sebabnya ia ogah mengikuti pelatihan tata boga dan menjahit kerajinan tangan yang pernah ditawarkan Dinas Sosial Kota Surabaya. Ihwal kompensasi Rp 7 juta yang ditawarkan pemerintah Surabaya, Santi juga emoh membahasnya. Perempuan yang sudah bekerja di Dolly selama empat tahun ini mengaku suatu saat ingin mentas, tapi bukan sekarang.
Dari tarif Rp 100 ribu untuk sekali layanan, Santi mengantongi Rp 40 ribu-jauh lebih kecil daripada muncikari yang mendapat jatah Rp 50 ribu. Sisanya, Rp 10 ribu, masuk ke kantong makelar, seperti Priyanto. "Aku mengirim duit ke anakku di Mojokerto untuk sekolah sejuta rupiah sebulan," kata Santi. "Aku tidak setuju Dolly ditutup."
Tiga hari berikutnya, giliran massa pro-penutupan Dolly mendatangi Balai Kota Surabaya. Mereka berasal dari Ikatan Keluarga Madura, Gerakan Arek Suroboyo, dan Pemuda Pancasila, yang tegas mendukung kepada Wali Kota Tri Rismaharini. Massa menjembreng poster bertulisan "Tutup Dolly dan Jarak Selamanya" serta "Demi Generasi Penerus, Dolly-Jarak harus Ditutup". Mochtar, koordinator aksi, menyatakan, "Kami tak ingin Kota Surabaya mendapat predikat sebagai kota dengan lokalisasi terbesar di Asia Tenggara."
Kepada massa yang mendukungnya, Risma mengucapkan terima kasih. Ia meminta mereka bisa menjaga kondisi tetap aman. "Saya tidak ingin ada korban dalam penutupan itu," ucap Risma. Hal serupa disampaikan saat Risma menerima wakil 58 organisasi kemasyarakatan Islam yang tergabung dalam Gerakan Umat Islam Bersatu Jawa Timur di Balai Kota Surabaya yang mendukung penutupan Dolly, pertengahan Mei lalu. Dalam berbagai kesempatan, Bu Wali Kota berkukuh penutupan Dolly tetap pada 19 Juni.
Penutupan Dolly sudah digadang-gadang sejak 2002. Bahkan, menurut Kepala Dinas Sosial Pemerintah Kota Surabaya Supomo, tahun itu pemerintah sudah pula memberikan bekal keterampilan bagi para pekerja seks dan muncikari. Di antaranya, keterampilan tata boga, tata rias, dan kerajinan tangan. Selain itu, motivasi spiritual disampaikan.
Rencana itu kemudian dimatangkan Risma sejak empat tahun lalu. Karena itu, ia menampik anggapan bahwa penutupan Dolly tidak melalui perencanaan yang matang. Tahun lalu, menurut angka yang disodorkan Lurah Putat Jaya, Bambang Hartono, kepada Tempo, Dolly memiliki 52 wisma dan 1.025 pekerja seks. Adapun muncikarinya sekitar 300 orang. "Dulu saya memang pesimistis menutup Dolly. Tapi, setelah dibicarakan lagi, Dolly harus ditutup dan saya yakin bisa," kata Risma.
Niat menutup Dolly kian kuat karena keberadaan lokalisasi itu menyalahi Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 7 Tahun 1999 tentang Larangan Menggunakan Bangunan untuk Tempat Asusila. Setelah ditutup, nanti kawasan Dolly akan diubah menjadi kawasan ekonomi baru, seperti pusat pedagang kaki lima serta sentra kerajinan tangan dan perdagangan lain. Jenis usaha menyesuaikan dengan keinginan warga yang terkena dampak.
Namun niat pemerintah Surabaya menutup Dolly pada 19 Juni tak berjalan mulus. Selain adanya pro dan kontra, Wakil Wali Kota Wisnu Sakti Buana sempat melontarkan pernyataan menolak penutupan Dolly karena dinilai belum matang dan tergesa-gesa. Namun, belakangan, Wisnu berubah. Menurut dia, warga bukan menolak penutupan, melainkan menuntut agar syarat yang diajukan warga diterima oleh pemerintah Surabaya. "Kalau syaratnya masuk akal, kenapa tidak kita turuti? Kalau duduk bareng kan enak," ujarnya.
Hiruk-pikuk soal penutupan Dolly, mau tak mau, membuat Gubernur Jawa Timur Soekarwo bersuara. Ia meminta Wali Kota Tri Rismaharini melakukan dialog yang lebih intensif kepada pihak-pihak yang menolak penutupan Dolly. "Yang jelas bagaimana kita bisa mengurangi kemaksiatan di Jawa Timur agar keberkahan bisa melimpah," katanya Selasa dua pekan lalu.
Mendekati hari penutupan, kini Risma mengaku lebih banyak diam. Dia ingin menjaga situasi dan kondisi tetap terkendali hingga tenggat yang ditentukan. Tim Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Surabaya pun gencar turun ke lapangan untuk mendata warga yang terkena dampak. Risma akan mengakomodasi warga, pekerja seks, dan muncikari yang ingin berubah. "Saya menutup Dolly karena ingin melindungi anak-anak di sana. Mosok, anak SD sudah jajan PSK hanya membayar Rp 3.000," ucapnya. "Saya prihatin betul."
Risma yakin penutupan Dolly bisa memutus mata rantai prostitusi di Surabaya. Kejadian perdagangan manusia yang melibatkan anak di bawah umur juga bisa ditekan. Ihwal adanya suara anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Surabaya yang tak setuju, ia menanggapi enteng. "Banyak juga yang mendukung, kok. Yang menolak itu sebagian kecil saja."
Dwi Wiyana, Diananta P. Sumedi, Agita S. Listyanti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo