OPSTIBPUS akhirnya turun ke Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Hasilnya, pemilikan tanah secara tidak sah seluas 12.000 hektar lebih beres. Dan sekitar 32 orang aparat pemerintah yang terlibat akan dikenai tindakan administratif. Itulah hasil kerja tim yang melakukan penyelidikan selama dua setengah bulan, yang diumumkan sendiri oleh Koordinator Opstibpus, Mayjen (pur.) E.Y. Kanter di Banjarmasin pekan silam. Organ Kopkamtib itu turun tangan atas permintaan Gubernur Kal-Sel sendiri. "Gubernur bersungguh-sungguh ingin mengungkapkan kasus tanah, yang sebenarnya melibatkan orang-orangnya sendiri," ujar Kanter. Tapi Gubernur rupanya tak memiliki cukup tenaga dan sarana. Maka, lewat surat 3 Januari lalu, dimintalah bantuan Opstibpus. Permintaan itu diperkuat pula oleh surat Menpan lima hari kemudian. Menpan, menurut Keppres No. 4 tahun 1985, adalah Ketua Tim Pertanahan. Kasus tanah itu muncul gara-gara terhambatnya rencana pemerintah membangun pabrik gula. Pabrik dengan sistem Perkebunan Inti Rakyat (PIR) ini akan didirikan di Kecamatan Pleihari, sekitar 65 km dari Banjarmasin. Untuk itu diperlukan tanah seluas 20 ribu ha. Tapi hingga Maret tahun lalu baru dapat diwujudkan 6.775 ha. Gubernur mencium adanya ketidakberesan. Tanah negara untuk perluasan areal PIR itu telah dimiliki oleh sejumlah oknum secara tidak sah. Setelah Opstibpus turun terbongkarlah bahwa manipulasi ternyata meliputi tanah seluas 12.171 ha. Opstibpus bekerja dengan sasaran: Petugas agraria yang diduga terlibat dalam proses pembuatan sertifikat yang melanggar hukum para pemegang hak atas tanah, yang juga diduga memperolehnya di luar prosedur memeriksa administrasi buku-buku tanah, baik yang dikelola instansi agraria maupun aparat pemerintah lainnya dan akhirnya turun ke lokasi yang meliputi 24 desa itu. Ternyata, "permainan" sertifikat pemilikan tanah itu telah dilakukan dengan enam cara. Antara lain, dengan mengkonversikan tanah adat. Kepala desa menguatkan pengakuan pemilikan tanah secara sepihak, seolah-olah tanah negara itu adalah tanah ada yang telah digarap turun-temurun oleh pihak tertentu Surat keterangan ini lantas dilegalisasikan oleh Camat, dan seterusnya hingga keluarlah sertifikat Ada pula yang "menyolong" lewat prosedur Prona (Proyek Operasi Nasional Agraria), yang menggunakan nama-nama fiktif. Terdapat pula tanah yang dibuatkan sertifikatnya tanpa dasar sama sekali, bahkan berkedok untuk transmigrasi spontan. Yang terakhir ini, nama para transmigran itu juga fiktif, yang kemudian diterbitkan sertifikat haknya. Total terbongkarlah 867 sertifikat asli tapi palsu, meliputi 12.171 ha tanah itu. Setelah diperiksa Opstibpus, pemegang 475 sertifikat (7.296 ha) melepaskan haknya. Sisanya, sebagian belum mau menyerahkan haknya karena sertifikat itu diagunkan pada bank. "Negara dirugikan dua kali," ujar Koordinator Opstibpus, E.Y. Kanter. "Tanah negara hilang diserobot, eh, sertifikatnya diagunkan pula pada bank." Sebagian besar digunakan pada Bank Rakyat Indonesia setempat, dengan nilai kredit mencapai Rp 2 milyar. Manipulasi pemilikan tanah di Kal-Sel ini, seluruhnya, diperkirakan merugikan negara Rp 14,4 milyar. Pemerintah tak berniat memberi ganti rugi bagi pelepasan hak milik itu. Ini mengundang protes, misalnya dari Haji Bachtiar Direktur PT Aga Lamon ini memiliki tanah seluas 1.450 ha. Di sinilah ia, sejak 1972 beternak sapi potong. Tapi kini, peternakan itu telah dibuldozer. Karena itu, ia akan memperkarakannya. Melalui Pengacara Henry Yosodiningrat, ia akan menuntut ganti rugi Rp 1 milyar. "Tanah itu dimiliki oleh klien saya secara sah," ujar Henry. Jika pemerintah ingin mengambil alih, hak itu harus dicabut dulu. Caranya? "Dengan memberikan ganti rugi." S.H., Laporan Ahmed Soeriawidjajat & Eko Yuswanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini