KINI giliran Erlangga. Nama yang sudah disebut-sebut dalam persidangan, pelaku-pelaku peledakan Bank Central Asia itu kini duduk di bangku terdakwa. Dialah yang dituduh "otak" peledakan BCA. Itulah dakwaan Jaksa Suhandoyo, yang dibacakan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Senin pekan ini. Erlangga, 29, adalah bekas Ketua Lembaga Dakwah HMI Cabang Jakarta. Kecuali sebagai "otak", ia didakwa pula, karena ucapan-ucapannya, telah membakar emosi dan membangkitkan semangat antipemerintah. Itu semua terjadi, dalam rapat di musala di samping rumah A.M. Fatwa, enam hari setelah peristiwa Tanjungpriok meletus pada 12 September 1984. "Peristiwa Tanjungpriok jangan kita diamkan, perjuangan harus kita tingkatkan. Perjuangan ini kita laksanakan dengan mengadakan demonstrasi ke DPR atau mengadakan teror mental ke Kodam, Kodim, dan Koramil sampai aksi mengebom lapangan parkir Pasar Glodok," begitu ucapan anak ABRI berpangkat letda itu dalam rapat itu, seperti dituduhkan jaksa. Peristiwa Tanjungpriok, seperti diketahui, menurut Pangab-Pangkopkamtib, meletus akibat satu regu pengamanan yang terdiri dari 15 orang menghadapi serangan gerombolan massa berjumlah sekitar 1.500 orang. Upaya persuasif regu pengaman itu tak berhasil. Massa terus mendesak, bahkan berusaha merebut senjata petugas keamanan. "Tembakan terpaksa diarahkan ke tanah dan ke kaki penyerang, hingga jatuhnya korban tidak dapat dihindari lagi," ujar Jenderal, Benny kala itu. Akibatnya, sejumlah korban meninggal dan luka-luka. Seusai peristiwa itu, sekitar 15 orang lantas berkumpul di musala di samping rumah A.M. Fatwa itu. Antara lain, kecuali Fatwa, hadir H.R. Dharsono dan Rachmat Basoeki. Jaksa menuduh, adalah Erlangga yang mengambil inisiatif pertemuan di musala itu. Erlangga pula yang menjadi moderator. Selaku moderator, demikian jaksa, terdakwa pernah berkata, "Peristiwa Tanjungpriok tidak manusiawi, tidak Pancasilais, dan bertentangan dengan aturan yang ada ...." Penembakan di Tanjungpriok itu, menurut terdakwa, tanpa didahului tembakan peringatan. Tidak puas dengan penanganan pemerintah atas peristiwa itu, menurut jaksa, terdakwa berucap, "Saya setuju dengan peledakan, bahan-bahan sudah beres, dan orang-orang saya sudah siap ...." Setelah pertemuan itu, terjadilah peledakan BCA pada 4 Oktober 1984. Perkara peledakan BCA itu sendiri sudah diadili. Rachmat Basoeki, salah seorang pelaku misalnya, dari tuntutan hukuman mati telah divonis 17 tahun penjara dalam Mei tahun silam. Erlangga sendiri menolak pertemuan di musala di samping rumah A.M. Fatwa itu dinilai sebagai rapat. "Pertemuan itu adalah diskusi," kata Erlangga. "Dan sebagai moderator, tugas saya cuma meneruskan omongan peserta diskusi." Ketika diperiksa jaksa, ia, katanya, telah membantah hal ini. Tapi jaksa memintanya untuk mempersoalkan jenis "pertemuan" itu di kala sidang saja. "Jaksa itu tak bisa membedakan mana rapat, pertemuan, dan mana seminar," kata mahasiswa sospol Universitas Jayabaya ini. Ia, mengakui ada perkataan "bom" yang diucapkan Rachmat Basoeki. Tapi, "Tak ada kesepakatan untuk mengebom. Kami cuma saling tukar pikiran saja tentang banyak hal termasuk kasus Tanjungpriok," ujar anak kelahiran Medan ini, yang pernah selama sebulan berada di Iran atas undangan Kedubes Iran di Jakarta pada tahun 1984. Dalam sidang pertama itu dipersoalkan oleh pembela, soal masa tahanan terdakwa. Erlangga ditahan 8 Maret 1985, sehingga, menurut pembela, sesuai dengan pasal 7 UU Subversi, masa tahanan itu mestinya berakhir 7 Maret silam. "Kalau Hakim membenarkan argumentasi kami, maka Erlangga mestinya bebas," ujar Maqdir Ismail, salah seorang pembela Erlangga. Majelis Hakim yang diketuai B.E.D. Siregar akan memutuskan hal itu pada sidang 21 April mendatang. Yang juga ganjil bagi pembela ialah bahwa H.R. Dharsono, "Tak disebut-sebut sama sekali sebagai saksi," kata Maqdir. Padahal, "Dalam diskusi di samping rumah Fatwa itu, Pak Dharsono saya sebut sebagai penceramah tunggal," ujar Erlangga.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini