Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Tolak PKS Gabung Koalisi Prabowo, Kilas Balik Luka Lama Waketum Partai Gelora Fahri Hamzah dengan PKS

Kabar PKS gabung koalisi pemerintahan Prabowo-Gibran membuat Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah keluarkan pernyataan pedas.

1 Mei 2024 | 08.25 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Kabar Partai Kesejahteraan Sosial atau PKS ingin gabung koalisi pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka membuat Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah uring-uringan. Jika isu itu benar dan menjadi kenyataan, Fahri bakal satu wadah dengan eks partainya itu. Hal ini tentu akan membuka luka lama bagi politisi asal Nusa Tenggara Barat tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fahri Hamzah mengaku tak mempunyai masalah apa pun dengan PKS. Namun, ia meminta PKS mempertimbangkan keputusan bergabung atau tidak dengan pemerintahan presiden terpilih Prabowo Subianto. “Itu tidak ada masalah dengan partai lain, apalagi Gelora yang belum mendapatkan posisi di legislatif pusat,” ujar Fahri saat dihubungi Tempo pada Senin, 29 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Fahri menyebut, masalah yang dialami PKS sebenarnya bukan berkaitan dengan partai lain. Namun, permasalahannya justru terletak pada ideologi dan gagasan PKS yang seolah-olah sulit dikompromikan dengan siapa pun. Karena itu, dia meminta PKS untuk mempertimbangkan lebih mendalam sebelum memutuskan bergabung dengan pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Lalu menemukan argumen yang tepat untuk berada di luar pemerintahan karena kalah di Pilpres yang lalu,” ujar Fahri.

Sekretaris Jenderal Partai Gelora Mahfuz Sidik berujar PKS selama masa kampanye Pilpres 2024 selalu melakukan serangan negatif secara masif kepada Prabowo-Gibran, terutama kepada Gibran. "Seingat saya selama proses kampanye, di kalangan PKS banyak muncul narasi sangat ideologis dalam menyerang sosok Prabowo-Gibran," ujar Mahfuz dalam keterangan resmi yang dikutip pada Senin, 29 April 2024.

Seteru Fahri Hamzah dengan PKS

Perseteruan Fahri Hamzah dengan PKS berawal dari pemecatan dirinya dari keanggotaan partai. Dia dipecat oleh Majelis Tahkim PKS pada 11 Maret 2016 silam. Hal itu dilanjutkan dengan penandatanganan Surat Keputusan pada 1 April 2016 oleh Presiden PKS Sohibul Iman terkait keputusan Majelis Tahkim itu.

Pemecatan itu buntut dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Fahri Hamzah. Bahkan, kala itu anggota dewan asal NTB ini dilaporkan partainya sendiri ke Badan Penegakan Disiplin Organisasi (BPDO). Dia dianggap membela mati-matian Ketua DPR RI Setya Novanto dalam kasus ‘Papa Minta Saham’. Sikap Fahri menurut beberapa koleganya telah membuat kegaduhan di internal PKS.

Tidak terima atas keputusan PKS memecat dirinya, Fahri Hamzah kemudian menggugat partai politik tersebut ke pengadilan. Dalam gugatannya di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, dia menuntut PKS membayar ganti rugi materiil Rp 1,6 juta dan imateriil senilai lebih dari Rp 500 miliar.

Pihak-pihak yang digugat Fahri adalah Presiden PKS Sohibul Iman, Ketua Dewan Syariah Surahman Hidayat, Wakil Ketua Dewan Syuro Hidayat Nur Wahid, Abdul Muis dan Abi Sumaid. Gugatan Fahri lalu dikabulkan PN Jakarta Selatan pada 14 November 2016. Pengadilan mewajibkan PKS untuk membayar kerugian Rp 30 miliar kepada Fahri.

Keputusan PN Jakarta Selatan membuat PKS berang, elite partai kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Tetapi banding yang diajukan tersebut juga ditolak di pengadilan tingkat tinggi itu. Masih tak menerima, PKS kemudian mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). Tapi lagi-lagi upaya terakhir itu ditolak oleh pengadilan.

Presiden PKS Sohibul Iman mengatakan, akan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) terkait persoalan ganti rugi sebesar Rp 30 miliar dengan Fahri Hamzah. Ganti rugi itu terkait kalahnya kasasi petinggi PKS atas kasus pemecatan Fahri Hamzah. “Sudah dibilangin sama lawyer saya, kita akan PK,” kata Sohibul saat ditemui di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta Pusat, Rabu, 30 Januari 2019.

Kuasa Hukum Fahri Hamzah, Mujahid A Latief, meminta PKS segera membayar ganti rugi Rp 30 Miliar. Langkah PKS melakukan PK tak lantas menunda putusan yang sudah diambil Mahkamah Agung. “UU telah mengatur secara jelas bahwa permohonan PK tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan,” kata Mujahid dalam keterangan tertulisnya.

Kasus berlanjut, meski dinyatakan kalah oleh pengadilan, PKS tak mengindahkan keputusan hukum tersebut. Lima orang pengurus PKS, selaku tergugat dalam kasus melawan Fahri, tak hadir saat dipanggil oleh Juru Sita PN Jakarta Selatan. Akibat ulah elite PKS itu, Fahri Hamzah lalu melayangkan permohonan Sita Aset dan Daftar Objek Sita kepada PN Jakarta Selatan.

“Jadi Juru Sita tinggal melakukan verifikasi aset sebelum mengeluarkan Penetapan Sita kemudian aset tersebut akan dilelang dan dibayarkan kepada klien kami,” kata Kuasa Hukum Fahri Hamzah, Mujahid Latief di PN Jakarta Selatan, Senin, 22 Juli 2019.

Dalam berkas suratnya, Mujahid melampirkan daftar aset milik pribadi dari kelima orang tergugat. Seperti aset bergerak dan aset tetap, dengan total sekitar Rp30 miliar. Terkait pihak Fahri Hamzah yang terus menagih ganti rugi Rp 30 miliar ke PKS, Presiden PKS Sohibul Iman angkat suara. Ia menyerahkan sepenuhnya masalah tersebut pada kuasa hukum.

Seteru Fahri Hamzah dengan PKS ini melahirkan partai baru, yakni Partai Gelombang Rakyat Indonesia atau Gelora. Karena konflik internal, sejumlah kader dan elite PKS memutuskan hengkang. Selain Fahri Hamzah yang sudah didepak sejak awal, politis lainnya yakni Anis Matta, Mahfudz Siddiq, Rofi Munawar, dan Achmad Rilyadi. Partai Gelora dideklarasikan di Jakarta pada 10 November 2019.

HENDRIK KHOIRUL MUHID  | JOHANES MAHARSO JOHARSOYO |  KUKUH S. WIBOWO 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus