Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat itu hanya terdiri dari tujuh kata: … dengan ''kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya." Hari-hari ini rangkaian kata itu sedang dipelototi anggota Komisi C MPR sejak Jumat pekan lalu. Yang menjadi soal, apakah kalimat itu sebaiknya dimasukkan dalam Pasal 29 UUD 1945 atau tidak.
Klausul itu telah lama menjadi masa lalu sejarah Indonesia. Namun, kini ada fraksi dalam parlemen yang mengusulkan amendemen pasal yang mengatur bab agama tersebut. Mereka adalah Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) _ partai berlabel Islam terbesar di Indonesia, dan Fraksi Partai Bulan Bintang (PBB), juga partai Islam yang mewarisi konstituen Masyumi. Pro dan kontra pun muncul di masyarakat. Ada yang menyokongnya seperti tokoh-tokoh Kongres Mujahidin di Yogya (baca boks). Tapi banyak juga yang menentangnya.
Apa alasan kedua fraksi itu ''mencontek" Piagam Jakarta? Pencantuman secara resmi kewajiban menjalankan syariat Islam, menurut PPP, tergolong penting. Hal itu, antara lain, untuk memperbaiki moral bangsa Indonesia yang sebagian besar beragama Islam. Di mata PPP, tampaknya sebagian umat Islam belum menjalankan syariat. ''Jadi, tujuannya agar umat kita tidak hanya mengaku Islam di tanda pengenal saja," kata Tosari Wijaya dari Fraksi PPP.
Setali tiga uang alasan Fraksi PBB. Dekadensi moral bangsa Indonesia yang sedemikian parah, menurut PBB, harus diperbaiki dengan cara itu. ''Konstituen kami menghendaki Piagam Jakarta dimasukkan dalam UUD 1945. Jadi, kami berdosa bila tak memperjuangkan aspirasi mereka," kata Hamdan Zulvan dari Fraksi PBB.
Di tubuh MPR usul itu ternyata menghadapi tentangan. Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang mewakili pandangan tradisional NU, menolak usul itu. ''Masalah agama sebaiknya jangan diatur negara. Biarkan agama menjadi urusan masyarakat," kata K.H. Noer Iskandar Albarsany, bekas anggota Panitia Ad Hoc dari Fraksi PKB. Menurut ahli fikih lulusan Universitas Alazhar Mesir itu, pemasukan tujuh kata Piagam Jakarta ke dalam UUD 1945 merupakan langkah mundur. Klausul itu, pada masa awal Republik, pernah membuat kalangan Kristen mengancam akan memisahkan diri dari Indonesia. ''Jadi, itu langkah mundur dan primordial," kata Noer Iskandar.
Suara penolakan juga terdengar dari luar gedung MPR. Sejumlah tokoh dan cendekiawan muslim seperti Nurcholish Madjid (Rektor Universitas Pramadina Mulya), Ahmad Syafi'i Ma'arif (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), K.H. Hasyim Muzadi (Ketua Umum Pengurus Besar NU), Masdar F. Mas'udi (cendekiawan NU), Ulil Abshar Abdalla (pengamat sosial), Faisal Basri (pengamat politik), dan Goenawan Mohamad (budayawan) menolak usul tujuh kata Piagam Jakarta dimasukkan dalam konstitusi. Penolakan itu dituangkan dalam pernyataan bersama yang dibacakan Masdar F. Mas'udi dalam jumpa pers di Hotel Indonesia, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Menurut mereka, pencantuman kalimat tersebut akan membuka kemungkinan campur tangan negara dalam wilayah agama, yang bisa mengakibatkan ancaman bagi agama itu sendiri. Hal itu juga dikhawatirkan menimbulkan sejumlah distorsi dan politisasi agama untuk tujuan sesaat partai yang sedang berkuasa. Di luar itu semua, alasan yang paling mendasar adalah bahwa ketaatan kepada agama adalah kebebasan pribadi. Negara adalah institusi publik yang tidak mempunyai wewenang menjadi ''polisi syariat". ''Pelaksanaan syariat yang diatur oleh negara akan menimbulkan bahaya hipokrisi," kata Masdar.
Secara pribadi, Nurcholish Madjid memandang rumusan Pasal 29 UUD 1945, yaitu ''negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", sudah tepat. Ketuhanan adalah istilah Indonesia yang mengandung pengertian prinsip Islam yang paling dasar, yaitu tauhid. Rumusan itulah yang dipilih Kasman Singodimedjo dan Ki Bagus Hadikusumo, tokoh Islam waktu itu. Lagi pula, menurut Nurcholish, pengertian syariat Islam bukanlah aturan-aturan fikih, misalnya hukum potong tangan bagi pencuri. Islam di sini adalah agama dalam pengertian universal. ''Jadi, para pendiri bangsa itu cukup luwes. Kalau sekarang over-korektif, malah salah," kata Nurcholish. Karena itu, Noer Iskandar dari NU memandang Pancasila sama dengan Piagam Madinah. Konstitusi pada zaman Nabi Muhammad itu mengandung jiwa Islam sekaligus nilai universal yang sangat kuat.
Walau banyak mendapat kecaman, Masdar F. Mas'udi mencoba memahami latar belakang kemunculan pendukung Piagam Jakarta. Di era reformasi yang diwarnai ledakan partisipasi politik masyarakat, kemunculan wacana kalangan agamawan yang konservatif adalah sesuatu yang wajar. Di sudut lain, kehadiran kalangan sekuler juga menguat. ''Itu memang hukum keseimbangan alam," kata Masdar kepada Purwani Diyah Prabandari dari Tempo. Ditambah multikrisis yang melanda Indonesia sejak beberapa tahun lalu, sebagian orang akhirnya menoleh ke agama sebagai satu-satunya jalan keluar.
Kelik M. Nugroho, Adi Prasetya, Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo