Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teroka

Menyambut Godaan Seksual

Sebuah buku yang meluncur dan bernasib "salah tempat" di toko buku dan kontroversial dalam isi. Sebuah karikatur intelektual Indonesia.

13 Agustus 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BERAHI
Penulis :Jean Baudrillard
Penerjemah:Ribut Wahyudi
Penerbit:Bentang, Juni 2000

Di Toko Buku Gramedia Matraman, buku ini ada di rak sastra dan bacaan anak dan remaja. Nasibnya lebih baik daripada buku Seks dan Kekuasaan dari Foucault, yang diletakkan di atas rak buku-buku bagian seks, berdampingan dengan buku Pria Multiorgasme atau Seni Mencium di toko-toko buku Gramedia lainnya.

Salah tempat begini jangan-jangan merupakan sebuah tanda, sebuah penegasan akan nasib buku-buku dan para penulis yang sukar dikategorikan macam ini. Baudrillard dan Foucault adalah pemuka teori kebudayaan mutakhir, dewa-dewa posmodernisme yang sekilas menampakkan bahwa karyanya tampak serba campur aduk dalam hal tema (seks, kekuasaan, bahasa/sastra, psikologi, epistemologi, sejarah/genealogi) dan gaya (traktat filsafat yang ditulis dengan keasyikan mendongeng atau bermantra). Kebetulan—atau tidak?—karya utama yang diterjemahkan dari kedua dewa ini adalah tema seksualitas. Kedua teks jadi bisa saling isi dan dibandingkan.

Penerjemahan Foucault lebih dulu bisa mengantar pembaca pada teks Baudrillard yang lebih rumit dan kabur ini. Baudrillard membombardir pembaca dengan kalimat majemuk, intertekstualitas (teks mengacu pada teks lain dalam khazanah filsafat dan ilmu umum, secara tak terbatas) dan istilah-istilah ciptaan yang aneh dan sering menggemaskan: "operasionalitas yang mengigau" (halaman 79-80), "maieutika" (hal. 179), "praktek-praktek aleatori" (hal. 250), dan banyak lagi.

Buku ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama menghimpun bab-bab tentang femininitas-maskulinitas, seksualitas, serta pornografi dan kecabulan. Baudrillard menggunakan pendekatan yang sama dengan bukunya, The Mirror of Production (1973). Dalam The Mirror..., Baudrillard menyerang Marxisme klasik sebagai cermin masyarakat borjuis karena menempatkan produksi sebagai pusat kehidupan, sehingga justru menaturalisasi organisasi kapitalis yang dikritiknya. Feminisme dan liberasi seksual secara umum juga tak lebih dari sebuah cermin, bayangan terbalik, dari masyarakat patriarkis, maskulin, dan penuh tabu yang mereka tolak.

Baudrillard memandang berahi sebagai sesuatu "yang lain", yang selalu membalik tatanan, yang selalu dilawan, dianggap jahat, ditindas kekuasaan sepanjang peradaban manusia. Tapi, berahi selalu mengatasi kekuasaan yang melindasnya, sebagaimana ia selalu mengatasi seks—Baudrillard lalu mengatakan "feminin" sebagai "sebuah prinsip ketidakpastian". Ia juga meneropong pornografi dan kecabulan sebagai sebuah kebangkrutan seks karena menawarkan fusi kenyataan yang berlebihan. "…Dengan memberi Anda sedikit banyak seseorang membawa segalanya pergi." Seperti obsesi kecanggihan teknologi untuk mendengar musik: pesona musik itu sendiri menguap, karena yang tinggal cuma teknologi bunyi.

Dengan proposisi-proposisi yang menjungkir ini, Baudrillard tiba pada kesimpulan yang mungkin menjengkelkan buat para aktivis perempuan: "Tak ada dan tak pernah ada penindasan (seksual)." Toh, Baudrillard tak berhenti pada kontroversi (dan provokasi) ini saja.

Pada bagian kedua, ia mengulik konsep "godaan" (seduction—judul Inggris dari teks terjemahan ini) lebih jauh lagi. Di awal, ia mengulik kata ini dari irate asal kata latin se-ducere (mengambil sisi, menjauh dari sasaran), lalu mengartikan "godaan" sebagai "strategi salah penempatan". Di bagian kedua, menggoda adalah "bersedia mati sebagai realitas dan mengembalikan diri sendiri sebagai ilusi" (hal. 109). Setelah berliku-liku, Baudrillard memprovokasi lagi: untuk mendapat kembali pesona, kita harus memperhatikan penanda yang tak bermakna, tanpa arti, yang sia-sia. Dan di bagian akhir, juga lewat bab-bab yang penuh liku dan memusingkan, Baudrillard mengajak kita untuk "…hidup dari godaan, mati dalam pesona" (hal. 253). "…Kita tak lagi hidup dalam era aturan dan ritual…, juga era hukum dan kontrak." (hal. 253.) Sosialisasi, kata Baudrillard, telah diganti dengan sesuatu yang belum bernama, yang berprinsip digitalitas.

Untuk lebih bisa menikmati teks ini—saya pilih kata "menikmati" karena teks ini memang dirancang untuk tidak dapat "dipahami"—kita mesti mengerti dulu konsep "simulakrum" dari Baudrillard (1983). Kita juga mesti akrab dulu dengan khazanah filsafat dan sejarah pemikiran Barat. Itu pun belum tentu menyelamatkan kita dari snobisme intelektual yang biasanya paralel dengan kesalahkaprahan akan teks-teks macam ini. Secara karikatural, snobisme ini tampak pada pengantar penerbit. Pengantar dari entah siapa ini (tanpa byline) mengajak kita menerima pornografi setelah mengambil potongan-potongan kalimat canggih Baudrillard, padahal Baudrillard sendiri sedang mengkritik keras pornografi.

Snobisme dan salah kaprah inilah yang jadi olok-olok Alan Sokal pada 1994. Sokal menganggap barisan pemikir posmodernis macam Derrida, Lacan, Kristeva, juga Baudrillard sebagai barisan idiot yang terlalu gemas mereproduksi fashionable nonsense. Saya kira olok-olok Sokal terutama tepat untuk para pengikut puber posmodernisme, termasuk di Indonesia.

Hikmat Darmawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus