Tubuh muslim cendekiawan Syahirul Alim, 62 tahun, tak lagi muda. Selain kerut-kerut di wajahnya, rambut dan jenggotnya telah memutih. Tapi semangat keberislamannya masih bergelora. Mengenakan baju lengan panjang warna krem di balik rompi dan secuil kain warna putih yang melekat di kepala, ia sekilas mirip Omar Mochtar, pejuang Islam Libia yang legendaris.
Syahirul Alim adalah dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Gadjah Mada. Hafal Alquran, ia ditokohkan di kalangan Islam garis keras. Rezim Orde Baru pernah menahannya selama 13 bulan 13 hari karena tuduhan terlibat gerakan orang-orang yang membahayakan negara, pada Maret 1985. Bicaranya berapi-api, dilengkapi dengan yel-yel takbir di sana-sini. Benang merah pikirannya tentang Islam sama dengan ceramahnya pada 1980-an: menolak Pancasila, penerapan syariat Islam di Indonesia, dan membangun kepemimpinan Islam melalui baiat kepada seorang pemimpin.
Syahirul Alim hanya salah satu tokoh yang tampil di Kongres Mujahidin I di Gedung Wanitatama, Yogyakarta, 5 hingga 7 Agustus 2000. Prof. Ali Yafie, ulama Nahdlatul Ulama, Dr. Deliar Noer, sejarawan, dan K.H. Alawi Muhammad, ulama asal Sampang, juga hadir. Pertemuan yang diikuti sekitar 1.500 orang itu mirip reuni para mujahidin—mereka menyebut diri begitu—yang pernah menjadi korban depolitisasi Islam rezim Orde Baru. Awal 1980-an, Presiden Soeharto pernah mengeluarkan pernyataan yang seolah mengidentifikasi dirinya sebagai Pancasila. Dengan cara itu, Soeharto memperkukuh singgasana kekuasaan di belakang Pancasila. Selain itu, Soeharto mulai melebih-lebihkan Pancasila sebagai ''agama kasunyatan". Pernyataan-pernyataan yang dianggap menyelewengkan Pancasila itu membuat marah sebagian umat Islam. Kelompok-kelompok Islam garis keras kemudian melakukan gerakan untuk menggoyang kepemimpinan Soeharto.
Waktu berlalu. Roda sejarah berputar. Kini kelompok-kelompok Islam garis keras itu muncul kembali ke permukaan. ''Kongres ini berhasil mengumpulkan berbagai faksi dalam Islam di Indonesia," kata Irfan Suryahadi Awwas, ketua panitia kongres. Faksi-faksi mujahidin itu antara lain Laskar Sabilillah (Jakarta), Laskar Santri (Solo), dan Kelompok Abdul Qadir Hasan Barajai (Lampung). Juga ada nama-nama baru yang muncul setelah reformasi, yaitu Front Pembela Islam Surakarta dan Laskar Taliban (Tasikmalaya), serta sejumlah komandan jihad di beberapa daerah yang kini sedang bergolak, antara lain Maluku, Poso, dan Aceh.
Keberagaman faksi itu tecermin dari busana mereka. Ada yang menggunakan pakaian ala bangsa Arab dengan baju panjang putih dengan kopiah putih yang dililit kafieh, lainnya mengenakan kopiah dengan kemeja koko, selain ada juga yang berpakaian ala orang Indonesia umumnya. Hanya satu-dua wanita berjilbab yang tampak lalu-lalang. Kata Irfan, kongres itu adalah pertemuan terbuka yang pertama dari kelompok mujahidin, setelah 30 tahun berada di bawah ketakutan terhadap rezim ''Orwellian" Soeharto.
Kongres yang digagas tiga orang itu, termasuk Irfan Suryahadi, bertujuan menyalurkan keinginan banyak umat muslim untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia. Keinginan itu selama ini, terutama di era Orde Baru, tersumbat. Selain digilas langsung oleh Orde Baru, masyarakat muslim kebanyakan juga belum bisa menerima cara pandang kaum mujahidin itu. ''Inilah saat kami mengubah citra Islam yang dibuat buruk oleh Orde Baru," kata Irfan.
Kongres itu berhasil membentuk organisasi yang disebut Majelis Mujahidin, dengan Abu Bakar Ba'asyir sebagai amirul mukminin (pemimpin tertinggi). Beberapa nama beken, antara lain Deliar Noer dan Ali Yafie, tercatat sebagai anggota dewan penasihat. Di luar itu, kongres merekomendasikan agar Majelis Ulama Indonesia menolak kebiasaan doa bersama antara semua pemeluk agama dan menolak pencabutan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/1966 tentang Komunisme. Yang lebih keras, mereka menolak segala bentuk ideologi yang bertentangan dengan Islam dan memperjuangkan agar isi Piagam Jakarta tentang ''kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para pemeluknya" masuk dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan mukadimahnya.
KMN, R. Fadjri (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini