MEREKA berusia 30-an tahun. Senin sore pekan lalu, di Jalan Mendut, Jakarta Pusat, sekitar 20 mahasiswa itu mendengarkan kuliah bahasa Inggris. Dosen di muka kelas menjelaskan dengan telaten isi modul, urut dari awal. Tiba saat tanya jawab pertanyaan bertubi-tubi. Itulah sebuah pemandangan di Bimbingan Belajar untuk Mahasiswa Universitas Terbuka (UT). Lembaga swasta ini - agak mirip bimbingan tes - muncul pertama kali setelah UT membuka ujian Semester 1, Januari lalu, di beberapa kota besar. Tujuannya, "Untuk membantu mahasiswa UT yang kesulitan belajar sendiri," kata pihak bimbingan belajar yang dibuka oleh Akademi Perindustrian (Akprind), Yogyakarta. Bimbingan belajar UT di Yogya ini kini punya 200 peserta. Tentu saja itu ada ongkosnya. Di Yogya, misalnya, untuk tiga kali seminggu tatap muka a 2 jam, per mata kuliah peserta harus membayar Rp 24 ribu per orang per bulan. Di Jakarta, kesempatan hanya dibuka dua kali seminggu, dengan bayaran Rp 40 ribu per mata kuliah per bulan. "Heran," kata seorang peserta bimbingan belajar di Jakarta, "kalau baca koran bisa cepat, baca buku modul UT susah masuknya." Itu sebabnya pria berusia 32 tahun, bekas karyawan Hotel Kartika Plaza, Jakarta, ini masuk bimbingan belajar. Ia mengambil bimbingan Bahasa Inggris dan Pengantar Ekonomi. Ia mahasiswa UT Jurusan Administrasi Niaga. Rekan pria ini, seorang ibu-ibu yang bekerja di sebuah perusahaan penerbangan, menambahkan, "Tutorial cuma tiga kali satu semester, dan rasanya tak puas dengan jawaban dosen pembimbing." Ibu ini, lulusan sebuah SMA swasta di Jakarta sepuluh tahun lalu, mengaku sudah lupa cara belajar. Padahal, paket modul, yang cara penyusunannya diseminarkan segala sudah dirancang agar mahasiswa bisa belajar sendiri. Beberapa mahasiswa UT peserta bimbingan yang diwawancara - TEMPO mengatakan, sebenarnya modul cukup jelas. Tapi pada contoh soal, sering membingungkan. Sebagian yang lain mengaku, susah membaca modul berkalimat panjang-panjang itu. Rektor UT Setijadi tak menolak lembaga pendidikan yang baru berusia sekitar delapan bulan ini masih banyak cacatnya. Pihaknya sudah melakukan otokritik. Disimpulkan, beberapa modul masih sulit dicerna bagi pemula. "Nanti akan kami sederhanakan, tanpa mengurangi bobotnya," kata rektor yang berusia 56 tahun ini. Tentang tutorial, katanya, tak mungkin lagi ditambah. "Di Inggris dan Muangthai tutorial cuma dua kali setiap semester, bahkan UT di Kanada, tak ada tutorial." Ia mengingatkan kembali bahwa mahasiswa UT seharusnya sudah tahu, harus siap mandiri. "Tapi saya tak menyalahkan bimbingan belajar. Itu hak mereka ," tambahnva. "Cuma jangan terlalu komersial." Belum jelas benar, dari sekitar 42.000 mahasiswa UT di seluruh Indonesia berapa yang mengambil bimbingan belajar. Yang jelas, bimbingan yang dibuka oleh Akprind menampung sekitar 200 mahasiswa. Di Jakarta, pada semester I, sebelum Januari, juga ditampung 200 mahasiswa. Tapi kini tinggal 40 orang. Yang aneh, peserta bimbingan, baik di Yogya maupun di Jakarta, sebagian besar berusia 30-an tahun - rata-rata sudah bekerja. Justru, mahasiswa UT yang baru lulus SMA - ada sekitar 8.000 - tak banyak nongol di bimbingan belajar. Padahal, merekalah yang dulu diperkirakan akan mengalami kesulitan belajar sendiri. Tapi bukan mustahil, minat baca kita memang benar rendah. Yang terakhir ini tentu bukan UT yang harus bertanggung jawab.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini