Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Saat ini Kejaksaan Agung baru menetapkan satu tersangka kasus pelanggaran HAM berat di Paniai, Papua.
Sidang perdana kasus Paniai di PN Makassar yang dijadwalkan pada pekan depan akan ditunda.
Kontras meminta Kejaksaan Agung mengungkap pelaku lain di kasus Paniai.
JAKARTA – Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) berharap persidangan kasus pelanggaran HAM berat dalam insiden Paniai, Papua, pada Desember 2014, dapat mengungkap pelaku lain yang diduga terlibat. Persidangan kasus Paniai ini diharapkan serupa dengan pengadilan pelanggaran HAM berat lain di dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Dari pengalaman di banyak pengadilan HAM di dunia, yang namanya kejahatan kemanusiaan pelakunya tidak pernah tunggal atau seorang diri," kata anggota Komnas HAM, Amiruddin Al Rahab, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Amiruddin pun meminta Mahkamah Agung memilih hakim yang berpengalaman dan memahami urusan HAM. Apalagi publik berharap banyak kepada hakim pengadilan nantinya agar bisa mengembangkan kasus pelanggaran HAM berat tersebut sehingga semua pihak yang diduga terlibat ikut diadili di pengadilan.
"Jaksa penuntut juga bisa mengembangkan mengapa dalam kasus ini hanya satu orang. Agar peristiwa itu terbuka dan bisa dipahami publik," kata Amiruddin.
Ia berharap Mahkamah Agung segera mengumumkan nama-nama hakim yang ditunjuk untuk mengadili perkara tersebut. Transparansi Mahkamah Agung menjadi indikasi keseriusan penegakan hukum dalam membongkar pelanggaran HAM berat tersebut.
Aksi menuntut pengusutan peristiwa Paniai di depan gedung Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Jakarta, 2015. TEMPO/Imam Sukamto
Peristiwa berdarah di Paniai berawal pada malam 7 Desember 2014. Malam itu, sekelompok pemuda di Ipakiye, Enarotali, Paniai, menegur personel TNI yang tengah mengemudikan mobil Toyota Fortuner hitam tanpa menyalakan lampu. Teguran itu berbuntut pertengkaran hingga penganiayaan terhadap warga setempat.
Esok harinya, rombongan masyarakat Ipakiye mendatangi Markas Kepolisian Sektor Enarotali dan Komando Rayon Militer Enarotali untuk meminta penjelasan perihal penganiayaan tersebut. Masyarakat berkumpul di lapangan Karel Gobai, yang berada di Markas Polsek dan Koramil Enarotali.
Karena tak mendapat tanggapan, massa lantas melemparkan batu ke arah kantor Polsek dan Koramil. Aparat TNI menanggapinya dengan menembak ke arah massa. Akibatnya, empat warga sipil tewas tertembak dan 21 orang terluka.
Hasil investigasi Komnas HAM yang dirilis pada 20 Februari 2020 menyimpulkan bahwa insiden tersebut merupakan pelanggaran HAM berat. Komnas HAM menyebutkan struktur komando pada Komando Daerah Militer XVII Cenderawasih hingga komando lapangan di Enarotali diduga sebagai pelaku yang harus bertanggung jawab. Komnas HAM lantas merekomendasi Kejaksaan Agung agar mengusut kasus tersebut.
Dua tahun berselang, Kejaksaan Agung menyidik perkara ini. April lalu, tim jaksa penyidik Direktorat Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung menetapkan Mayor Infanteri (Purnawirawan) Isak Sattu sebagai tersangka. Jabatan Isak saat itu sebagai perwira penghubung pada Komando Distrik Militer Paniai. Ia disangka dengan pasal berlapis, yaitu Pasal 42 ayat 1 huruf a dan b juncto Pasal 7 huruf b, serta Pasal 9 huruf h juncto Pasal 37 huruf b Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Amiruddin mengatakan Komnas HAM mengapresiasi langkah Kejaksaan yang mengusut pelanggaran HAM berat itu hingga dilimpahkan ke pengadilan. Ia berharap penanganan kasus Paniai berimbas pada dugaan pelanggaran HAM berat lainnya. Sesuai dengan catatan Komnas HAM, pelanggaran HAM berat terakhir yang sampai ke pengadilan adalah kasus Tanjung Priok, Jakarta, pada 1984, yang digelar pada 2003.
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Fatia Maulidiyanti, menilai ada kejanggalan dalam pengusutan kasus Paniai tersebut. Pelaku insiden berdarah itu seharusnya bukan tunggal karena dinyatakan sebagai pelanggaran HAM berat yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
"Bagaimana mungkin suatu pelanggaran HAM berat dengan unsur terstruktur, sistematis, dan masif hanya dilakukan oleh satu orang? Bagaimana dengan rantai komando dan perencanaannya?" kata Fatia.
Menurut Fatia, penanganan kasus ini semakin mengundang kecurigaan karena Kejaksaan Agung kurang transparan. Ia justru melihat penyidikan kasus Paniai justru memperlihatkan ketidakberpihakan pada pemenuhan hak-hak korban.
"Terlebih lagi hingga hari ini korban dan keluarga belum pernah mendapatkan akses pemulihan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban," katanya.
Sesuai dengan rencana, kasus Paniai ini akan disidangkan di Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan. Awalnya sidang perdana diagendakan pada 27 Juni mendatang, tapi pihak Pengadilan Negeri Makassar menyatakan persidangan tertunda karena Mahkamah Agung belum menunjuk hakim ad hoc yang akan mengadili kasus Paniai tersebut. Adapun juru bicara Mahkamah Agung, Andi Samsan Nganro, belum merespons permintaan konfirmasi Tempo soal ini.
IMAM HAMDI | DIDIT HARYADI (MAKASSAR)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo