Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Rt dan rw bikin 5-k ?

Fungsi rukun tetangga (rt) dan rukun warga (rw) dalam pemerintahan dipertanyakan. dinilai menjadi perpanjangan tangan pemerintah dan membuat panjang jaringan birokrasi. pekerjaan rt/rw tidak digaji. (nas)

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RUKUN Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) mendapat kritik pedas. Sorotan datang dari anggota DPR yang duduk di Komisi II, pekan lalu. Kedua lembaga itu, misalnya, dinilai telah menjadi perpanjangan tangan pemerintah, dan membuat panjang jaringan birokrasi. Keduanya disebut-sebut menyebabkan warga mengeluarkan waktu, tenaga, biaya lebih banyak, dan bahkan "makan perasaan". Memang, hampir tak ada urusan administrasi yang tak bisa tidak mesti melalui RT dan RW. Untuk mengurus akta kelahiran, atau surat kematian, atau SIM, misalnya. Meski sudah memiliki KTP, orang harus kembali melewati prosedur RT dan RW itu. Padahal, keduanya bukan lembaga resmi. Keduanya tak hidup berdasar anggaran pemermtah, dan para pengurusnya, seperti ketua RT dan RW, tak pula mendapat gaji. "Kasihan para ketua RT dan RW. Tidak digaji, tapi tugasnya macam-macam," kata Yuwono Asparin, anggota Komisi II DPR. Karena tak digaji itulah, lantas timbul ekses. "Tak jarang, to, mereka minta imbalan," ujar Yuwono. Adalah Yuwono, dalam dengar pendapat antara Komisi II dan Dirjen Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah (PUOD) pekan lalu, yang terus terang menyebut, tambahan tugas pemerintahan memberatkan ketua RT dan RW, dan memperpanjang rantai birokrasi dalam pelayanan masyarakat. "Urusan tambah panjang, dan makan biaya. Ini bisa menjadi salah satu penyebab ekonomi ongkos tinggi," katanya. Bahkan, menurut anggota FKP dari daerah pemilihan Jawa Timur ini, "Di Surabaya orang sering mengalami lima K, yakni korban tenaga, korban waktu, korban harta, korban pikiran, dan korban perasaan". Dalam hal penduduk baru mendapatkan KTP, misalnya. Seperti lazimnya, seorang yang baru pindah, contohnya, ia mesti datang ke RT setempat. Di sini, ia lantas mendapat surat keterangan pengantar ke kelurahan. Surat ini harus pula ditandatangani oleh ketua RW. Di kelurahan, barulah diperoleh blangko permohonan untuk menjadi warga. Pada permohonan ini, kembali tertera kolom legalisasi RT dan RW. Maka terpaksalah untuk kedua kalinya, penduduk baru ini ke ketua RT dan RW. Setelah itu, ia harus kembali ke kelurahan untuk mendapat tanda tangan yang kedua kalinya juga. Baru setelah itu, blangko disetor ke camat, lantas ke kantor kota madya. "Untuk mendapatkan kartu keluarga itu, prosesnya sembilanbulan," kata Ramli, 28, warga Kertopaten, Surabaya. Waktu yang panjang, memang, sangat masuk akal. Pekerjaan ketua RT dan RW adalah pekerjaan tanpa digaji, dan umumnya mereka adalah pegawai di pagi hari. Maka, urusan RT dan RW sebagian besar hanya dapat diselenggarakan pada malam hari, sedangkan urusan dengan lurah dan seterusnya sampai ke wali kota di pagi hari. Akibatnya, seorang penduduk tak bisa menyelesaikan urusannya dengan efisien. Kedua lembaga itu sebenarnya bukan hal baru. RT, misalnya, adalah kelanjutan Tonarigumi, yang dibentuk Jepang. Kemudian, di masa kemerdekaan, ia dikukuhkan. "Kalau tak salah, dasarnya Keputusan Menteri Sosial sekitar tahun 1946," kata Yuwono. Tujuannya, untuk memelihara dan melestarikan nilai-nilai berdasarkan kegotongroyongan dan kekeluargaan. Ketika UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa disahkan, hal ihwal RT dan RW tak termasuk sebagai perangkat resmi. UU ini hanya mengatur hingga di tingkat kelurahan. Baru pada 1983, dalam Peraturan Mendagri No. 7, lembaga RT dan RW ini dikukuhkan. "Kedudukan RT dan RW ini menjadi perpanjangan tangan lurah atau kepala desa," ujar Yuwono. "Ini menambah panjang jenjang birokrasi pemerintahan." Menurut Dirjen PUOD Atar Sibero "Secara struktural RT dan RW bukan bagian lembaga pemerintah." Sebab, sistem pemerintahan selama ini hanya sampai di tingkat desa atau kelurahan Tapi, "Dari segi fungsi menampung partisipasi masyarakat, peranannya tidak kecil, dan tak bisa dipisahkan dari pemerintahan," ujar Atar Sibero. "Namun, tidak perlu distrukturkan. Sebab, jika distrukturkan, sifat lembaga itu akan hilang," tambahnya. Karena itu, menurut Dirjen, yang penting kini meletakkan peranan lembaga RT dan RW itu pada proporsi yang semestinya. "Bukan menjadi perpanjangan tangan pemerintah, yang akhirnya memperpanjang jalur birokrasi," katanya. Dirjen Atar tak menolak kemungkinan, dari puluhan ribu kelurahan di seluruh Indonesia, ada RT dan RW yang, seperti kata Yuwono Asparin, menimbulkan 5-K, yakni korban waktu, korban pikiran, korban tenaga, korban harta benda, dan korban perasaan. Tapi, secara keseluruhan, Dirjen menilai masih jauh lebih banyak kemanfaatan RT dan RW yang dirasakan masyarakat. "Tidak mungkin seorang lurah bisa mengunjungi satu per satu warganya. Karena itu, peranan RT dan RW sangat dibutuhkan, seperti dalam hal bergotong royong, atau bila ada kematian," katanya. Karena itu agaknya, Yuwono mengusulkan, agar RT dan RW itu dibebaskan dari tugas-tugas pemerintahan, dan dikembalikan saja ke fungsi semula, sebagai pemelihara nilai kemasyarakatan -- seperti kegotongroyongan dan kekeluargaan. Mungkinkah? R. Moch. Zainullah, lurah Sidodadi, Surabaya, misalnya, terus terang tak bisa membayangkan bagaimana jika ia tak dibantu oleh perangkat RT dan RW. Kelurahan Sidodadi berpenduduk lebih 15 ribu jiwa. "Kalau tak ada RT dan RW, siapa yang tahu kerjanya si polan ini, dan si polan yang lain suka mencuri," katanya. Diakui atau tidak secara struktural, lembaga RT dan RW memang telah menjadi aparat terbawah dari pemerintahan. Tapi apa kebahagiaan menjalankan tugas tak bergaji ini? "Jadi ketua RW itu korban perasaan, dan juga korban uang," kata Binarto, 55, yang sudah sepuluh tahun menjadi Ketua RW Kampung Gili, Surabaya Utara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus