Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Asas tunggal bagi gereja

Persatuan gereja indonesia (pgi), akhirnya menerima asas tunggal. cukup alot, semula kalangan gereja mempersoalkan apakah organisasi agama, termasuk gereja adalah organisasi kemasyarakatan. (nas)

20 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERSATUAN Gereja Indonesia (PGI), akhirnya, menenma asas tunggal. Itulah hasil pertemuan konsultasi antara Dirjen Bimas Kristen Protestan Departemen Agama dan PGI, di Graha Wisata Remaja, Ancol, Jakarta, dua pekan lalu. Cukup alot, memang, jika diingat Majelis Ulama Indonesia (MUT) saja, misalnya, telah menerima asas tunggal itu dalam munasnya yang ke-3 Juli tahun silam. Sampai pekan ini, praktis PGI adalah organisasi yang terakhir yang menerima UU No. 8 Tahun 1985, yang mewajibkan setiap organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila. Sebelum ini, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) tergolong yang belakangan menerima asas tunggal itu -- setelah melalui kongres yang ricuh di Padang, April lalu. Apa sebenarnya yang mengganjal persekutuan 199 gereja Kristen Protestan itu, sehingga begitu lama baru menerima Pancasila? Pada mulanya, memang, kalangan gereja ini mempersoalkan apakah organisasi agama -- termasuk gereja -- adalah organisasi kemasyarakatan. "Disadari, gereja adalah lembaga keagamaan yang juga melaksanakan tugas-tugas kemasyarakatan," kata Dr. Fridolin Ukur, Sekjen PGI. "Tapi harus jelas kaitannya dengan UU, sebab hakikat gereja tidak sama dengan PSSI, misalnya," tambahnya. Itulah silang selimpat pikiran, yang terjadi ketika RUU Organisasi Kemasyarakatan itu dibahas di DPR. Kala itu, PGI, yang masih bernama DGI (Dewan Gereja-Gereja di Indonesia), bersama dengan MUI, MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia), Walubi, serta Parisadha Hindu Dharma Pusat, memang bersepakat menyampaikan pokok-pokok pikiran mereka, sebagai masukan bagi RUU itu. Intinya ialah: "Setiap agama mempunyai dasar agama yang universal, yang berlaku untuk semua tempat dan zaman, yang tidak boleh ditambah dengan suatu paham lain di samping dasar agama yang otentik." Memasukkan asas Pancasila, secara tersirat, dinilai oleh pimpinan puncak organisasi-organisasi agama itu menambah paham lain. Bahkan, MAWI dengan terus terang menyatakan diri, tidak wajib berasaskan Pancasila. Sebab, MAWI bukanlah organisasi tersendiri, melainkan hanya bagian atau sebuah perangkat saja dari Gereja Katolik yang hanya ada satu di seluruh dunia yakni Katolik Roma. Selain itu, "Gereja Katolik bukanlah ormas. Dan MAWI, sebaai salah satu bagian Gereja Katolik itu, juga bukanlah ormas," kata Mgr. Leo Soekoto Sekjen MAWI, kala itu. Di kalangan PGI sendiri, sesungguhnya, tak ada kesatuan pendapat. Salah satu anggota PGI, Dewan Pantekosta Indonesia, misalnya, dalam mubesnya yang pertama, 1983, di Senayan, Jakarta, telah lebih dulu menyatakan menerima Pancasila sebagai asas. "PGI ogah-ogahan menerima Pancasila, karena ini mengaburkan perbedaan antara dasar dan asas," kata sebuah sumber di Dewan Pantekosta Indonesia. Selama ini, pada PGI terdapat dasar dan asas, yang berhubungan antara yang satu dan yang lain. Yakni, "PGI berdasarkan Yesus Kristus dan Juru Selamat," kata Soenarto Martowirjono, Dirjen Bimas Kristen Protestan. Tapi mengapa PGI -- organisasi dengan 13 juta jemaah -- kemudian menerimanya? Memang, pemilu hampir di ambang pintu, dan ada yang mengatakan, PGI tak ingin melewati batas waktu yang ditentukan pemerintah, yakni Juni 1987. Dan, menurut rencana, Sidang Majelis Pekerja Lengkap PGI di Jayapura, Februari tahun depan, akan mengesahkan perubahan anggaran dasar PGI yang baru, yang berisi ihwal asas tunggal Pancasila itu. Kata Fridolin Ukur, "Kami menerima Pancasila itu bukan karena ikut-ikutan, atau formalitas saja. Tapi jelas hubungannya antara iman dan penerimaan." Tentang yang lain-lain, "Ha-ha-ha, itu 'kan tak mesti dikomentari," tambahnya. Dengan demikian, tinggal MAWI yang belum secara tegas menerima asas tunggal Pancasila ini. Tapi, dalam sidangnya di Klender, Jakarta, tahun silam, MAWI telah menelurkan pernyataan, "Dalam hal penyesuaian MAWI dengan UU No. 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan tidak ada masalah". Bagaimana rumusan penyesuaian itu, "Masih dalam pembicaraan," kata sebuah sumber di MAWI. Apa komentar Dirjen Bimas Katolik? "Kami sudah berusaha, sesuai dengan tugas kami: membimbing," ujar Ign. Imam Kuseno Mihardjo, Dirjen Bimas Katolik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus