Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hasil kajian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama Aliansi Zero Waste Indonesia dan Global Alliance Incinerator Alternative sejak awal 2024 mengungkap bahwa proyek Pembangkit Listrik Tenaga Sampah atau PLTSa tidak baik untuk lingkungan, kesehatan, dan tidak berguna atau sia-sia. “Pemerintah patut melupakan rencana pembangunan PLTSa,” kata M. Jefry Rohman dari tim advokasi persampahan Walhi Jawa Barat, Kamis 20 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kajian itu menyoroti proyek PLTSa dari beragam aspek, mulai dari pendanaan, iklim, dan energi, serta tahapan perencanaan hingga implementasi. Kajian juga mengelaborasi peran lembaga keuangan internasional dalam mendorong proyek ini. Hasil kajian juga menyajikan studi kasus berbagai proyek PLTSa di berbagai kota yang menunjukkan kegagalan. “Investasi pada proyek PLTSa dapat dianalogikan sebagai menabur benih kerusakan atau kehancuran,” ujar Jefry.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PLTSa merupakan respon pemerintah terkait masalah darurat sampah di 12 kota di Indonesia. Volume sampah yang mengalami peningkatan signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2023 jumlah sampah mencapai 70 juta ton dan belum dibarengi dengan peningkatan sistem pengelolaannya. Proses pembakaran sampah akan meningkatkan produksi gas rumah kaca yang artinya turut mempercepat krisis iklim.
Menurut perhitungan Zero Waste Europe, setiap satu ton sampah yang dibakar akan menghasilkan 1,7 ton gas karbondioksida (CO2). Dengan jumlah sampah harian DKI Jakarta yang mencapai 7.702 ton misalnya jika diasumsikan semua sampah tersebut dibakar, dalam sehari PLTSa dapat menghasilkan 13.093 ton CO2 atau 4.779.091 ton CO2 per tahun. Selain itu dalam praktiknya, sistem pembakaran sampah seperti PLTSa akan menghasilkan dioksin, senyawa kimia beracun yang banyak dihasilkan dari pembakaran sampah plastik.
Paparan racun ini, menurut Zero Waste Europe, dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan berbagai permasalahan kesehatan. Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), senyawa beracun ini dapat menyebabkan kanker, menyerang sistem imun, dan mempengaruhi sistem reproduksi. Selain bertebaran di udara, dioksin juga memiliki kemampuan masuk ke dalam rantai makanan sehingga risiko paparan racun ini untuk manusia dan hewan semakin tinggi.
Di Bandung, rencana pembangunan PLTSa berujung kegagalan setelah ditolak warga dekat lokasi proyek seperti di Desa Citatah kemudian pindah ke Gedebage. Rencana PLTSa menguat kembali setelah Gubernur Jawa Barat terpillih, Dedi Mulyadi, dalam kampanyenya mewacanakan PLTSa sebagai solusi untuk menanggulangi sampah wilayah Bandung Raya. Sambil menunggu pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemeprosesan Akhir Sampah (TPPAS) Legok Nangka selesai di Nagreg, Kabupaten Bandung, pemerintah pusat mendorong pemerintah Kota Bandung untuk bisa menempatkan dan mengoperasionalkan 10-15 insinerator.
Namun, kata Jefry, tahapan pembangunan PLTSa belum bisa dilakukan karena masih terkendala persyaratan administrasi yang harus segera diselesaikan dan dipenuhi pemerintah provinsi Jawa Barat. Walhi Jabar menduga, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menolak karena ada kesalahan prosedur perizinan yang pada awalnya bermetode sanitary landfill menjadi PLTSa. Dari data timbulan sampah sisa makanan yang dikeluarkan Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Jawa Barat 2022, area Bandung Raya memproduksi sampah organik sekitar 2.327 ton per hari, Kota Bandung menyumbang 60 persen atau sekitar 1.389 ton per hari.
Sementara dari data 2023, timbulan sampah Kota Bandung tercatat naik yaitu 1.766 ton per hari atau meningkat 10,8 persen dari 2022. Limbah sisa makanan menjadi komponen terbesar sampah, yaitu 44,5 persen, plastik dan kertas masing-masing 16,7 dan 13,1 persen. Dari tiga jenis sampah tersebut, menurut Walhi Jabar, lebih dari 60 persen sampah di Kota Bandung dapat dikelola melalui sistem pengomposan dan daur ulang sesuai kategorinya, tanpa harus mengandalkan PLTSa.
Ketiga lembaga itu menyarankan pemerintah mengatur sampah dari sumbernya, yaitu masyarakat dan industri plastik. Fokus pada masyarakat bisa dilakukan dengan memberi pendampingan, edukasi, dan monitoring pengolahan sampah di masyarakat. Sementara di bidang industri, pemerintah perlu mengatur produksi plastik dalam bentuk regulasi.