Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

<font face=arial size=2 color=#FF0000>Tempo Doeloe</font><br />Rame-rame Beli TV Tabung Jumbo

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAHUN ini, hampir semua pabrikan televisi memperkuat produk mereka dengan teknologi light-emitting diode. Selain layarnya begitu memanjakan mata dengan kombinasi jutaan warna, televisi model ini amat hemat energi. Ditambah teknologi 3D, ia masuk kelas premium. Dan sebentar lagi, televisi tabung akan berhenti diperdagangkan, menyusul TV hitam-putih yang sudah jadi barang usang.

Tentu, televisi dengan tabung jumbo punya zamannya sendiri. Pada akhir 1970-an, produk elektronik itu membanjiri pasar Tanah Air. Dengan harga yang cukup mahal, televisi jadi penanda kelas sosial. Betapa ramai­nya masyarakat berburu kotak hidup ini, ketika itu, ditulis majalah Tempo dalam Laporan Utama edisi 1 September 1979.

Mula-mula diceritakan perihal warga Kecamatan Melak yang bermukim di pinggir Sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Penghasilan mereka, sesudah dipakai untuk keperluan hidup sehari-hari, masih bersisa. Uang sisa itu mereka pakailah buat membeli pesawat televisi. Mereka tergoda cerita bahwa pemerintah akan membangun lebih banyak stasiun relay, agar siaran televisi menjangkau seluruh pelosok Nusantara.

Penghuni Pulau Simeulue, Aceh, yang memiliki pohon cengkeh juga demikian. Seusai panen, mereka rame-rame ke daratan Aceh, bahkan ada yang sampai ke Medan, untuk membeli televisi. Seperti warga Melak, mereka yakin betul siaran TV akan segera merambat masuk ke desa mereka.

Tapi celaka. Di dua tempat tersebut, stasiun relay ternyata masih berupa impian. Ditunggu-tunggu, tak juga dibangun. Alhasil, pesawat TV terbeli, tapi gambarnya belum terlihat. "Televisi di sini hanya buat hiasan belaka," kata Camat Melak, Ridwan Syach­rani.

Di Jawa, kisahnya lain lagi. Penduduk Desa Bungbulang, 75 kilometer ke arah selatan dari Garut, Jawa Barat, mulai membeli televisi pada 1977. Namun, begitu dibawa pulang, benda itu hanya mengeluarkan suara dan garis-garis gerimis hitam-putih pada layar. Pertengahan tahun, muncul seorang pedagang dari Tasikmalaya menjual pesawat AC/DC yang membuat takjub orang-orang di sana. Soalnya, setelah memakai itu, layar televisi mereka tak lagi menampilkan gambar gerimis. "Kok, gambarnya bisa tertangkap," teriak Sulaeman, Kepala Kampung Bungbulang.

Maka ramailah orang berduit di desa itu membeli pesawat AC/DC. Kalau tak ada uang kontan, perhiasan dilepas. Sebagian menjual kerbau yang tadinya mereka pelihara untuk membantu mengolah tanah pertanian. Ada pula yang sampai menggadaikan sawah dan menjual tanah pekarangan.

Soal gadai dan jual sawah ini terjadi juga di Sumatera Barat. Memang belum terdengar orang Minang melakukannya untuk membeli televisi. Namun ada anak muda menggadaikan sawah lantaran hendak membeli sepeda motor yang dia lihat di iklan televisi.

Melihat gejala itu, di Desa Sei Rimbang, Kabupaten 50 Kota, Kerapatan Adat Nagari memutuskan melarang penduduk menggadaikan atau menjual sawah. Sawah hanya boleh dijual atau digadaikan jika mereka memang sudah suntuk—misalnya tak ada uang lagi untuk upacara penguburan.

Walau animo memiliki televisi begitu besar ketika itu, penelitian Lembaga Ekonomi dan Kemasyarakatan Nasional LIPI yang dipimpin Dr Alfian pada 1978-1979 menunjukkan penyebaran produk ini masih terbatas. Selain harganya mahal, pembangunan stasiun relay belum merata.

Menurut riset itu, kepemilikan televisi menjadi tanda status sosial dalam masyarakat. Karena itu, para tokoh masyarakat—tokoh agama tidak ketinggalan—berlomba memiliki benda ini. Di Soppeng, Sulawesi Selatan, misalnya, orang desa yang masuk toko biasanya tak begitu paham mengenai ukuran layar pesawat TV. Bagi mereka, pokoknya televisinya harus yang paling besar. Sudah begitu, agar tetangga tahu mereka punya televisi baru, antenanya dipilih yang paling tinggi, lengkap dengan lampu warna-warni di ujungnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus