Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Dari Pengakuan Algojo 1965

1 Oktober 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

REKONSILIASI tidak bisa dimulai dari ingkar; ia harus diawali oleh pengakuan. Itulah yang seharusnya dilakukan para pelaku pembunuhan massal 1965 dan mereka yang menyokong kejadian itu. Dalam frasa truth and reconciliation, terma "kebenaran" diletakkan mendahului "rekonsiliasi" untuk menunjukkan yang satu merupakan syarat mutlak bagi yang lain.

Kini, 47 tahun berlalu sejak pembunuhan besar-besaran terhadap anggota Partai Komunis Indonesia dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengannya. Rekonsiliasi masih jauh dari angan-angan. Yang abadi hingga kini: para pelaku—juga organisasi serta aparatur negara yang menyokong aksi sadistis itu—sibuk menyangkal atau membela diri seraya mengingatkan tentang "bahaya laten" komunisme.

Tak ada angka pasti tentang jumlah korban. Pada Desember 1965, Sukarno pernah membentuk komisi pencari fakta yang dipimpin Menteri Negara Oei Tjoe Tat untuk mencari tahu. Karena tak leluasa bekerja dan khawatir pada reaksi tentara, komisi itu menyimpulkan 78 ribu orang terbunuh—angka yang dipercaya terlalu kecil. Laporan Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban menyebutkan korban tewas sekitar satu juta. Menurut mantan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat Sarwo Edhie Wibowo, setidaknya tiga juta orang terbunuh. Para aktivis kiri mempercayai dua juta.

Meminjam Robert Cribb, kaum kiri membesar-besarkan skala pembantaian untuk menekankan kesalahan para pelaku. Bagi para penentang komunis, angka yang tinggi menegaskan bahaya PKI, angka yang rendah akan mengurangi kesalahan mereka. Dalam hal ini, pengingkaran tampaknya dimulai dari statistik.

Dalam semangat mengungkap "truth" itulah film The Act of Killing karya sutradara Joshua Oppenheimer layak mendapat perhatian. Dibuat selama tujuh tahun, film itu memuat kesaksian terbuka seorang bergajul yang pernah membunuh ratusan orang PKI di Medan. Kesaksian itu menguak motif lain para jagal: dendam pribadi. Bagi Anwar Congo, jagal itu, orang-orang PKI harus dibunuh karena mereka melarang film Barat—"kapitalisme" yang bertahun-tahun telah menafkahi Anwar sebagai tukang catut karcis bioskop. Sejumlah algojo lain menyampaikan apologia yang tak baru: mereka membunuh untuk menyelamatkan negara dari bahaya komunis.

Dalam alam pikir Orde Baru yang belum sepenuhnya pupus di masyarakat, permohonan maaf yang diajukan Presiden Abdurrahman Wahid pada awal reformasi dulu layak diapresiasi. Sebagai kepala negara dan kiai Nahdlatul Ulama, Gus Dur secara terbuka menyatakan penyesalan. Patut disayangkan, 13 tahun setelahnya segelintir ulama NU justru menolak meminta maaf kepada para korban dan meminta Presiden Yudhoyono mengikuti jejak mereka. Sikap ini mereka ambil setelah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mengumumkan hasil investigasi tentang tragedi ini. Sejarah mencatat, NU adalah organisasi yang aktif berperan "membersihkan" PKI di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Betapapun penolakan tak surut, langkah untuk menyembuhkan luka 1965 harus terus dilakukan. Membentuk pengadilan ad hoc untuk mengadili para pelaku—kini uzur atau bahkan sudah meninggal—tampaknya bukan rencana yang mudah dilakukan. Proses rekonsiliasi yang membutuhkan undang-undang diperkirakan memakan waktu lama meski tak sepatutnya diabaikan.

Permintaan maaf pemerintah mungkin jadi solusi jangka pendek. Penyesalan bisa dinyatakan dengan memberi kompensasi yang wajar kepada para korban. Aksi pemerintah ini diharapkan diduplikasi oleh masyarakat di level yang lebih mikro. Benih permaafan itu sebetulnya bukan tak ada sama sekali.

Di Palu, Sulawesi Tengah, Wali Kota Rusdi Mastura secara resmi dan terbuka meminta maaf kepada bekas anggota PKI. Kepada keluarga korban ia menjanjikan kesehatan gratis dan beasiswa. Ia juga berencana mendirikan monumen di bekas lokasi kerja paksa PKI. Sebagai pegiat Majelis Syuro Muslimin, ia mengaku organisasinya terlibat dalam aksi mengganyang PKI.

Di luar itu, tak selayaknya kita alergi terhadap komunisme. Sudah lama ideologi itu bangkrut. Uni Soviet porak-poranda, Cina kini sama kapitalisnya dengan Amerika. Ide masyarakat tanpa kelas adalah utopia yang usang dan sia-sia.

Karena itu, tak perlu melarang penyebaran ajaran komunisme, Marxisme, dan Leninisme. Ketetapan MPRS tentang itu sebaiknya dihapus saja. Tak boleh ada pembredelan buku yang menyangkut 1965—juga yang lainnya. Yang justru harus diperangi adalah stigmatisasi pada komunisme dan para korban. Menyebut komunis sebagai ateis merupakan salah kaprah yang bertahun-tahun telanjur dipercaya. Dengan kata lain, hadapi komunisme dengan rileks. Sebab, ideologi itu sesungguhnya biasa-biasa saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus