Undang-undang yang melarang perbuatan suap yang berlaku hingga
sekarang ini, hanya terbatas pada bidang tertentu dan pelaku
yang mempunyai kedudukan tertentu, . . .
(Penjelasan Umum UU tentang Tindakan Pidana Suap).
KELUAR dari ruang sidang, wakil-wakil fraksi di DPR
senyum-senyum, dan sejarah akan mencatat 6 fasal Undang-Undang
tentang Tindak Pidana Suap, yang disetujui DPR-RI pada 2 Oktober
lalu jam 11.20, bermula dari lapangan bola. Rancangan (RUU) yang
diajukan pemerintah Mei lalu, sebenarnyalah, hanya hendak
mengancam penyuap dan olahragawan (atlet dan orang-orang yang
aktif di bidang olahraga). Yaitu setelah para penegak hukum,
polisi, jaksa dan hakim, kerepotan mengurus beberapa orang
tersangka kasus penyuapan yang diadukan PSSI (Persatuan
Sepakbola Seluruh Indonesia).
Semula pemerintah mengusulkan agar UU tersebut dicantumkan saja
dalam salah satu fasal KUHP (dalam bab Kejahatan Terhadap
Kesopanan fasal perjudian). Penyuap diusulkan agar dipidana
dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda
sebanyak-banyaknya Rp 10 juta. Olahragawan (setiap orang yang
berperanan dalam olahraga) yang menerima suap diharapkan dapat
diancam hukuman penjara paling lama 3 tahun atau denda paling
banyak Rp 6 juta. Sedangkan atlet atau pemain diancam hukuman
penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp 2 juta.
Ngluyur
DPR lalu mengembangkannya lebih Iuas. "Sebab suap tidak hanya di
bidang olahraga saja," kata Johny Sukirman, anggota Komisi
III/DPR dari FKP. Perluasan delik tindak pidana suap memang
konsep FKP. Sedangkan Penjelasan Umum tersebut menyatakan: " ...
perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan sifatnya perlu
dilarang."
Namun, begitu dijelaskan lebih lanjut, yang diancam dengan
hukuman adalah perbuatan suap yang menyangkut kepentingan umum
saja. "Kalau seorang ayah memberi uang kepada anaknya, agar si
anak tidak memberiahu kepada ibunya ke mana sang ayah ngluyur,
itu tidak termasuk dalam UU tersebut," kata yonya L.M. Gandhi
dari FKP.
Si penyuap ialah "barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu
berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang
berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut
kepentingan umum." Untuk itu si penyuap dihukum dengan pidana
penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp
15 juta (akumulatif).
Sedangkan si penerima suap, yaitu yang menerima "sesuatu janji
.... ," dapat dipidana paling lama 3 tahun atau denda
setinggi-tingginya Rp 15 juta (alternatif).
Tindak pidana yang diatur dalam UU tersebut adalah tindak pidana
suap di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UU lain. Yaitu
fasal-fasal anti suap dalam KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) yang
sudah diperberat ancaman hukumannya melalui UU tentang Tindak
Pidana Korupsi. Dan juga di luar ketentuan suap dalam pemilihan
umum anggota DPR/MPR.
Selama ini, baik fasal suap dalam KUHP, UU korupsi maupun dalam
pemilihan anggota DPR/MPR, memang terbatas jangkauannya.
Yaitu "terbtas pada bidang tertentu dan pelaku yang mempunyai
kedudukan tertentu" saja. KUHP dan UU anti korupsi hanya
mengancam pegawai negeri, hakim dan penasihat di pengadilan yang
menerima suap dan penyuapnya -- ancamannya memang berat: hukuman
penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun dan atau denda
sebanyak-banyaknya Rp 30 juta.
Fasal suap dalam UU pemilihan umum hanya berlaku bagi
"barangsiapa" yang dengan pemberian atau janji menyuap
seseorang. Baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk
memilih maupun supaya menjalankan haknya dengan cara tertentu.
Sedangkan UU yang baru mengancam si penyuap mana saja dan si
penerima siapa saja. Termasuk anggota sesuatu organisasi profesi
(advokat, wartawan, dokter, olahragawan dan sebagainya) yang
"menerima sesuatu atau janji" kemudian berbuat sesuatu atau
idak berbuat sesuatu yang berlawanan dcngan kewenangan dan
kewajiban yang ditentukan kode etik profesi. "Sesuatu" atau
"janji", begitu UU menyebutkan, "tidak selalu berupa uang
atau barang" -- bisa juga, misalnya, berupa kedudukan.
UU yang akan segera diundangkan tersebut merupakan RUU hukum
pidana yang paling cepat dselesaikan DPR -- dan yang paling
singkat rumusannya Tapi, menurut Anggota Komisi III/DPR V.B. da
Costa, "fasal-fasalnya abstrak dan mengambang --
pelaksanaannya banyak diserahkan kepada praktek." UU yang baru
tersebut memang tidak memuat ketentuan cara penyidikan,
penuntutan, pemeriksaan di muka hakim bahkan tanpa peraturan
peralihan maupun peraturan penutup - seperti lazimnya ketentum
pidana khusus. Juga tak mengatur ketentuan pidana bagi
perantara, misalnya atau orang yang terlibat atau membantu
terlaksananya suatu kejahatan penyuapan.
Namun toh banyak yang memilih peraturan yang buru dengan
pelaksanaan yang baik daripada sebaliknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini