Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Fasal Suap Ini Lebih Luas

6 fasal undang-undang tentang tindak pidana suap disetujui DPR-RI, UU tersebut merupakan RUU Hukum Pidana yang cepat diselesaikan DPR dan yang paling singkat rumusannya. (hk)

11 Oktober 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Undang-undang yang melarang perbuatan suap yang berlaku hingga sekarang ini, hanya terbatas pada bidang tertentu dan pelaku yang mempunyai kedudukan tertentu, . . . (Penjelasan Umum UU tentang Tindakan Pidana Suap). KELUAR dari ruang sidang, wakil-wakil fraksi di DPR senyum-senyum, dan sejarah akan mencatat 6 fasal Undang-Undang tentang Tindak Pidana Suap, yang disetujui DPR-RI pada 2 Oktober lalu jam 11.20, bermula dari lapangan bola. Rancangan (RUU) yang diajukan pemerintah Mei lalu, sebenarnyalah, hanya hendak mengancam penyuap dan olahragawan (atlet dan orang-orang yang aktif di bidang olahraga). Yaitu setelah para penegak hukum, polisi, jaksa dan hakim, kerepotan mengurus beberapa orang tersangka kasus penyuapan yang diadukan PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia). Semula pemerintah mengusulkan agar UU tersebut dicantumkan saja dalam salah satu fasal KUHP (dalam bab Kejahatan Terhadap Kesopanan fasal perjudian). Penyuap diusulkan agar dipidana dengan hukuman penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 10 juta. Olahragawan (setiap orang yang berperanan dalam olahraga) yang menerima suap diharapkan dapat diancam hukuman penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp 6 juta. Sedangkan atlet atau pemain diancam hukuman penjara paling lama 2 tahun atau denda maksimal Rp 2 juta. Ngluyur DPR lalu mengembangkannya lebih Iuas. "Sebab suap tidak hanya di bidang olahraga saja," kata Johny Sukirman, anggota Komisi III/DPR dari FKP. Perluasan delik tindak pidana suap memang konsep FKP. Sedangkan Penjelasan Umum tersebut menyatakan: " ... perbuatan suap dalam pelbagai bentuk dan sifatnya perlu dilarang." Namun, begitu dijelaskan lebih lanjut, yang diancam dengan hukuman adalah perbuatan suap yang menyangkut kepentingan umum saja. "Kalau seorang ayah memberi uang kepada anaknya, agar si anak tidak memberiahu kepada ibunya ke mana sang ayah ngluyur, itu tidak termasuk dalam UU tersebut," kata yonya L.M. Gandhi dari FKP. Si penyuap ialah "barangsiapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang dengan maksud untuk membujuk supaya orang itu berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu dalam tugasnya, yang berlawanan dengan kewenangan atau kewajibannya yang menyangkut kepentingan umum." Untuk itu si penyuap dihukum dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun dan denda sebanyak-banyaknya Rp 15 juta (akumulatif). Sedangkan si penerima suap, yaitu yang menerima "sesuatu janji .... ," dapat dipidana paling lama 3 tahun atau denda setinggi-tingginya Rp 15 juta (alternatif). Tindak pidana yang diatur dalam UU tersebut adalah tindak pidana suap di luar ketentuan yang sudah diatur dalam UU lain. Yaitu fasal-fasal anti suap dalam KUHP (Kitab UU Hukum Pidana) yang sudah diperberat ancaman hukumannya melalui UU tentang Tindak Pidana Korupsi. Dan juga di luar ketentuan suap dalam pemilihan umum anggota DPR/MPR. Selama ini, baik fasal suap dalam KUHP, UU korupsi maupun dalam pemilihan anggota DPR/MPR, memang terbatas jangkauannya. Yaitu "terbtas pada bidang tertentu dan pelaku yang mempunyai kedudukan tertentu" saja. KUHP dan UU anti korupsi hanya mengancam pegawai negeri, hakim dan penasihat di pengadilan yang menerima suap dan penyuapnya -- ancamannya memang berat: hukuman penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 tahun dan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 30 juta. Fasal suap dalam UU pemilihan umum hanya berlaku bagi "barangsiapa" yang dengan pemberian atau janji menyuap seseorang. Baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya menjalankan haknya dengan cara tertentu. Sedangkan UU yang baru mengancam si penyuap mana saja dan si penerima siapa saja. Termasuk anggota sesuatu organisasi profesi (advokat, wartawan, dokter, olahragawan dan sebagainya) yang "menerima sesuatu atau janji" kemudian berbuat sesuatu atau idak berbuat sesuatu yang berlawanan dcngan kewenangan dan kewajiban yang ditentukan kode etik profesi. "Sesuatu" atau "janji", begitu UU menyebutkan, "tidak selalu berupa uang atau barang" -- bisa juga, misalnya, berupa kedudukan. UU yang akan segera diundangkan tersebut merupakan RUU hukum pidana yang paling cepat dselesaikan DPR -- dan yang paling singkat rumusannya Tapi, menurut Anggota Komisi III/DPR V.B. da Costa, "fasal-fasalnya abstrak dan mengambang -- pelaksanaannya banyak diserahkan kepada praktek." UU yang baru tersebut memang tidak memuat ketentuan cara penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di muka hakim bahkan tanpa peraturan peralihan maupun peraturan penutup - seperti lazimnya ketentum pidana khusus. Juga tak mengatur ketentuan pidana bagi perantara, misalnya atau orang yang terlibat atau membantu terlaksananya suatu kejahatan penyuapan. Namun toh banyak yang memilih peraturan yang buru dengan pelaksanaan yang baik daripada sebaliknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus