Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Di betang itu ada olek handuran

Bekas rumah kepala suku dayak ngaju, kini nyaris punah. cucunya, ulek handuran, 75, sia-sia mencari bantuan dana untuk biaya pemugaran. rumah adat di tmii meniru bentang di kampung buntoi ini. (ils)

19 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI hilir Sungai Kahayan, anak Sungai Kapuas yang terletak jauh di tengah hutan Kalimantan Tengah, ada sebuah kampung bernama Kampung Buntoi. Tertutup rimbun oleh pohonpohon tinggi yang menyulitkan sinar matahari tembus ke bumi, ada sebuah rumah renta. Sepi, dengan pekarangan rumah yang tidak terurus, beberapa sudut di dindingnya bahkan telah lepas. Rumah yang kini menjadi saksi bisu dari kehidupan suku-bangsa Dayak di Kalimantan adalah rumah kepala suku Dayak Ngaju, bernama Sina Jala. Kini rumah Singa Jala itu hanya dihuni cucunya bernama Ulek Handuran (75 tahun) yang telah memiliki 40 orang cucu dan 4 orang buyut. Betang (atau lamin untuk suku-bangsa Dayak bagian timur) dewasa ini tidak banyak lagi yang berdiri tegak dan terawat rapi. Dahulu umumnya betang berdiri di sepanjang tepi sungai. Rumah-rumah panjang itu rata-rata berukuran panjang 100-200 meter, bahkan pernah ada yang sampai 400 meter. Sehingga dalam peristiwa yang luar biasa, rumah semacam ini bisa menampung 500-600 orang warga. Tentu saja betang kakek Ulek Handuran lambat laun akan punah juga. Meskipun sekarang masih tetap tegak berdiri di atas tanah setinggi 2,5 meter berkat topangan empat batang kayu ulin besar dan beberapa tiang penyangga lainnya yang juga terbuat dari kayu terbagus (kayu besi), toh nyaris tidak berfungsi lagi. Dari sekian banyak cucu-cucunya, upanya tidak ada yang mau atau enggan tinggal di betang ini. "Ibu saya masih lahir di rumah ini," ujar kakek Ulek Handuran. Dia kini, bagaikan penunggu betang saja. Matanya menembus ke ruang-ruang dalam yang kini kosong melompong. Dari bentuk rumah utama, ada menempel dua buah bangunan samping. Di sebelah hulu sungai, disebut tambiran ngaju, sedang bangunan lain yang menempel di bagian hilir sungai disebut tambiran ngawa. Tambiran ngaju tinggal kerangka saja, sedangkan tambiran ngawa kini jadi gudang beras dan ubi kayu. Selama 7 tahun terakhir ini, Ulek Handuran telah meminta bantuan ke mana-mana agar ada yang bersedia memugar rumah adatnya ini. Hasilnya nyaris nihil. Pada 1973 salah seorang kerabatnya menaksir ongkos restorasi akan memakan biaya Rp 3 juta. Tahun berikutnya ada seorang misionaris Jerman yang membantu sebagian ongkos pemugaran tersebut, dengan mengirim 10.000 lembar sirap ulin. Tahun lalu Kanwil P&K Kabupaten Kapuas di Kuala Kapuas, 27 Km dari Buntoi, berjanji akan memberikan biaya pemugaran. Tapi hingga kini belum ada tanda-tanda pelaksanaannya. Pihak propinsi telah melemparkan masalah ini ke Pusat, sebagai penanguniawab pemugaran. Kemudian kake Ulek Hanauran mengeluh lagi: "Saya minta bantuan ini bukan untuk diri saya. Kalau dipugar 'kan bisa untuk Balai Desa." Kakek dan nenek ini bersedia pindah ke rumah yang lebih kecil (yang dibuatkan, tentu saja) kalau betangnya dijadikan Balai Desa. Juga keadaan sekitar betang ini tidak asli lagi. Karena berdampingan dengan tambiran ngaju, telah berdiri dua buah rumah melekat di bumi (bukan rumah panggung), bekas Markas Divisi IV ALR Kahayan Hilir. Kabarnya pavilyun Kalimantan Tengah di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) mengambil contoh dari betang Singa Jala ini. "Tapi Damang kok tidak pernah berkonsultasi dengan saya," kata Ulek Handuran Damang Saililah adalah seniman dari Kuala Kapuas yang merancang rumah adat di pavilyun TMII. Suku-bangsa Ngaju adalah salah satu 6 suku-bangsa yang dominan dari ratusan suku-bangsa Dayak di Kalimantan. Tapi melihat betang di TMII, tampaknya lebih indah dan asli ketimbang yang ada di Kampung Buntoi. Tangga betang di TMII berbalok kayu yang ditakik dan dahulu, kala di malam hari ditarik ke atas untuk mencegah binatang buas atau musuh. Sementara yang ada di Buntoi, berujud tangga biasa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus