DI hilir Sungai Kahayan, anak Sungai Kapuas yang terletak jauh
di tengah hutan Kalimantan Tengah, ada sebuah kampung bernama
Kampung Buntoi. Tertutup rimbun oleh pohonpohon tinggi yang
menyulitkan sinar matahari tembus ke bumi, ada sebuah rumah
renta. Sepi, dengan pekarangan rumah yang tidak terurus,
beberapa sudut di dindingnya bahkan telah lepas.
Rumah yang kini menjadi saksi bisu dari kehidupan suku-bangsa
Dayak di Kalimantan adalah rumah kepala suku Dayak Ngaju,
bernama Sina Jala. Kini rumah Singa Jala itu hanya dihuni
cucunya bernama Ulek Handuran (75 tahun) yang telah memiliki 40
orang cucu dan 4 orang buyut.
Betang (atau lamin untuk suku-bangsa Dayak bagian timur) dewasa
ini tidak banyak lagi yang berdiri tegak dan terawat rapi.
Dahulu umumnya betang berdiri di sepanjang tepi sungai.
Rumah-rumah panjang itu rata-rata berukuran panjang 100-200
meter, bahkan pernah ada yang sampai 400 meter. Sehingga dalam
peristiwa yang luar biasa, rumah semacam ini bisa menampung
500-600 orang warga.
Tentu saja betang kakek Ulek Handuran lambat laun akan punah
juga. Meskipun sekarang masih tetap tegak berdiri di atas tanah
setinggi 2,5 meter berkat topangan empat batang kayu ulin besar
dan beberapa tiang penyangga lainnya yang juga terbuat dari kayu
terbagus (kayu besi), toh nyaris tidak berfungsi lagi. Dari
sekian banyak cucu-cucunya, upanya tidak ada yang mau atau
enggan tinggal di betang ini.
"Ibu saya masih lahir di rumah ini," ujar kakek Ulek Handuran.
Dia kini, bagaikan penunggu betang saja. Matanya menembus ke
ruang-ruang dalam yang kini kosong melompong. Dari bentuk rumah
utama, ada menempel dua buah bangunan samping. Di sebelah hulu
sungai, disebut tambiran ngaju, sedang bangunan lain yang
menempel di bagian hilir sungai disebut tambiran ngawa. Tambiran
ngaju tinggal kerangka saja, sedangkan tambiran ngawa kini jadi
gudang beras dan ubi kayu.
Selama 7 tahun terakhir ini, Ulek Handuran telah meminta bantuan
ke mana-mana agar ada yang bersedia memugar rumah adatnya ini.
Hasilnya nyaris nihil. Pada 1973 salah seorang kerabatnya
menaksir ongkos restorasi akan memakan biaya Rp 3 juta. Tahun
berikutnya ada seorang misionaris Jerman yang membantu sebagian
ongkos pemugaran tersebut, dengan mengirim 10.000 lembar sirap
ulin. Tahun lalu Kanwil P&K Kabupaten Kapuas di Kuala Kapuas, 27
Km dari Buntoi, berjanji akan memberikan biaya pemugaran. Tapi
hingga kini belum ada tanda-tanda pelaksanaannya. Pihak propinsi
telah melemparkan masalah ini ke Pusat, sebagai penanguniawab
pemugaran.
Kemudian kake Ulek Hanauran mengeluh lagi: "Saya minta bantuan
ini bukan untuk diri saya. Kalau dipugar 'kan bisa untuk Balai
Desa." Kakek dan nenek ini bersedia pindah ke rumah yang lebih
kecil (yang dibuatkan, tentu saja) kalau betangnya dijadikan
Balai Desa. Juga keadaan sekitar betang ini tidak asli lagi.
Karena berdampingan dengan tambiran ngaju, telah berdiri dua
buah rumah melekat di bumi (bukan rumah panggung), bekas Markas
Divisi IV ALR Kahayan Hilir.
Kabarnya pavilyun Kalimantan Tengah di Taman Mini Indonesia
Indah (TMII) mengambil contoh dari betang Singa Jala ini. "Tapi
Damang kok tidak pernah berkonsultasi dengan saya," kata Ulek
Handuran Damang Saililah adalah seniman dari Kuala Kapuas yang
merancang rumah adat di pavilyun TMII.
Suku-bangsa Ngaju adalah salah satu 6 suku-bangsa yang dominan
dari ratusan suku-bangsa Dayak di Kalimantan. Tapi melihat
betang di TMII, tampaknya lebih indah dan asli ketimbang yang
ada di Kampung Buntoi. Tangga betang di TMII berbalok kayu yang
ditakik dan dahulu, kala di malam hari ditarik ke atas untuk
mencegah binatang buas atau musuh. Sementara yang ada di Buntoi,
berujud tangga biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini