AKSI mogok kuliah mahasiswa UKI di kampus Jalan Diponegoro,
Jakarta, sampai akhir pekan kemarin masih berlanjut. Hasilnya
belum kelihatan. R. Mangastowo, rektor yang mereka tuntut supaya
diganti (TEMPO 17 Juni '78), masih tetap di kursinya.
Rektor yang berpangkat laksamana laut itu, nampaknya masih punya
kesempatan untuk meneruskan kepemimpinannya di perguruan Kristen
tadi. "Saya yakin yayasan UKI tidak akan mengambil orang lain
untuk menduduki pimpinan UKI," katanya kepada wartawan TEMPO
Slamet Djabarudi.
Keterangan Yap Thiam Hien, sekretaris Yayasan UKI yang memimpin
tim penanggulangan aksi mahasiswa, juga tidak menunjukkan adanya
pergeseran pimpinan universitas. "Rektorium untuk menggantikan
rektor tidak akan dibentuk. Seluruh persoalan akan ditangani
oleh panitia," kata pengacara terkenal itu.
Masalah yang jadi sumbu aksi mahasiswa, seperti gugatan mereka
supaya ruangan milik UKI yang sekarang ditempati Akademi
Sekretariat & Management Indonesia, Fakultas Psikologi UI dan
Lembaga Bahasa (P & K), segera dikosongkan, karena universitas
kekurangan ruangan kuliah, sudah mulai diatasi oleh "panitia
Yap". Rektor UI Mahar Mardjono sudah diajak berembug untuk
membicarakan bagian dari gedung UKI yang ditempati Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia.
Pesangon Rp 5 Juta
Menurut Mangastowo yang jadi bulan-bulanan dalam aksi mahasiswa
8 Juni itu, dia telah menerima kesanggupan UI untuk
mengembalikan ruangan yang ditempati Fak. Psikologi pada akhir
tahun 1977.
Percaya pada janji tersebut, ia merasa optimis tidak akan ada
kesulitan ruangan kuliah walaupun mahasiswa baru masuk. Tapi
ternyata, "sampai April dan Mei tahun ini fakultas psikologi itu
belum juga pergi. Penghuni yang bertempat tinggal di situ malah
minta pesangon Rp 20 juta," katanya mengeluh.
Dalam perjanjian dengan Himpunan Sekolah Kristen yang memiliki
gedung tersebut, kata Mangastowo, Fakultas Psikologi dalam
kedudukan peminjam hanya akan menggunakan ruangan itu untuk
perkuliahan. "Tapi kemudian ternyata ada yang digunakan untuk
tempat tinggal. Malah ada yang dipakai oleh Pusat Bahasa P & K.
Himpunan Sekolah Kristen tidak ada hubungan dengan P & K.
Tahunya hanya Psikologi UI," sambungnya. Karena terlanjur heboh
Rektor UKI akhirnya menyanggupi pesangon Rp 5 juta dengan harapa
n kckurangannya akan diselesaikan oleh pemerintah. "Kami yang
meminjamkan malah kami harus bayar," katanya.
Tentang uang pungutan Rp 10.000 untuk mahasiswa baru dalam
rangka masa perkenalan, sang rektor memang mengaku. Tapi katanya
jumlah itu pun berdasarkan permintaan mahasiswa sendiri. Untuk
berbagai keperluan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa mengusulkan
daftar sampai berjumlah Rp 9.600. Jumlah ini kemudian dibulatkan
jadi Rp 10.000. Sisa yang Rp 400 diberikan kepada mahasiswa
untuk acara perkenalan mahasiswa baru. Jumlah itu dianggap cukup
karena bagaimana pun Dewan Mahasiswa masih dibekukan, hingga
kegiatan dan biaya pun jadi jauh lebih kecil. Kalau biasanya Rp
2.500, sekarang cukup Rp 400. Tetapi rupanya mahasiswa, menurut
Mangastowo, menganggap ada yang tidak benar dalam pungutan
tersebut. "Uangnya ada di kas. Masa harus saya bawa ke
mana-mana," cetusnya.
Lama Mogok, Rugi
Agak berhati-hati Mangastowo menyebutkan bahwa aksi mahasiswa
itu dipimpin oleh sejumlah "mahasiswa abadi", yang sempat ia
sindir dalam acara perkenalan mahasiswa baru dengan mengharapkan
agar anak-anak baru itu jangan jadi "mahasiswa abadi." Katanya,
di antara mereka ada yang sudah kuliah sampai 15 tahun, sudah
kawin, tapi tak lulus-lulus juga. "Mereka sering meminta supaya
segera diluluskan. Tapi kalau permintaan itu dipenuhi,
universitas bisa payah," begitu ceritanya.
Berperawakan kecil dan berkacamata, Mangastowo yang menduduki
kursi rektor sejak 6 tahun yang lalu, pada mulanya tenang-tenang
saja menghadapi para mahasiswa. Tetapi setelah membaca laporan
dalam pers yang menyebutkan seolahlah ia membuat laporan Rp
28.000 untuk kursi yang harganya cuma Rp 7.000 di pasar, ia jadi
naik darah juga. "Saya akan cek. Nanti kalau tidak benar
mahasiswa akan saya tuntut. "Saya tidak pernah bikin laporan
begini," katanya menahan marah.
Kursi-kursi yang dianggap para mahasiswa sebagai sumber korupsi,
dalam aksi tanggal 8 Juni memang jadi korban pelampiasan rasa
kesal mahasiswa. Ada 40 buah yang rusak. Untuk kursi-kursi yang
jadi korban itu Mangastowo berkata: "Kalau tahu mahal kenapa
dirusak?"
Untuk menyelesaikan persoalan yang digugat oleh para mahasiswa,
"Panitia Yap" tanggal 13 Juni mengadakan dengar pendapat dengan
para dosen. Sesudah itu dilanjutkan pula dengan mahasiswa.
Mangastowo secara tersendiri sudah menyampaikan segalanya kepada
panitia. Ia menganggap penyampaian masalah di luar kesempatan
dengar pendapat lebih baik. Katanya untuk menghindarkan anggapan
kalau-kalau dia akan membela diri. Tapi di balik itu ada alasan
lain lagi. Ia mau berangkat ke Iran tanggal 23 Juni. Untuk hadir
dalam pertemuan International Association of University
Presidents. "Sudah ada izin dari yayasan," katanya.
Tentang para mahasiswa sendiri, nampaknya mereka sudah melunak
dengan adanya perhatian. Mereka sudah diajak oleh panitia
penanggulangan untuk mengemukakan pikiran-pikiran mereka. Atas
permintaan yang berwajib mereka sudah menghapus corat-coret yang
kiranya bisa kelihatan dari jalan raya. Tak lama lagi mereka
juga akan kembali ke ruang kuliah. "Habis tujuan kami 'kan
kuliah. Terlalu lama mogok, rugi juga," kata Henry Hasibuan
mahasiswa tingkat V fakultas hukum.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini