Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Posisi Jaksa Agung masih lowong. Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkapkan ada lima nama yang masuk radar Presiden Joko Widodo. Mereka adalah Mas Achmad Santosa (mantan komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi), Muhammad Yusuf (Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan), Hamid Awaludin (mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia), Widyo Pramono (Jaksa Agung Muda Pidana Khusus), serta Andhi Nirwanto (Wakil Jaksa Agung).
Pada era Presiden Soeharto, Kabinet Pembangunan III disempurnakan dengan kehadiran tiga pejabat baru di bidang hukum. Ketiganya adalah Ali Said sebagai Menteri Kehakiman, Ismail Saleh sebagai Jaksa Agung, dan Mujono sebagai Ketua Mahkamah Agung.
Majalah Tempo edisi 21 Februari 1981 menulis tentang sosok Jaksa Agung Ismail Saleh, yang kala itu dikenal sebagai trouble shooter atau penjebol kesulitan.
Sebagai pegawai baru di Kejaksaan Agung, sambil berputar-putar ke segenap tingkat di gedung berlantai lima itu, ia sempat "melapor" ke bagian kepegawaian. Nama Haji Ismail Saleh, SH, lahir di Pati, 7 September 1926, NRP... NIP....
Di bagian penyensoran, Ismail memberi amanat agar petugas cepat-cepat menyelesaikan tugasnya. Belakangan, dia mengatakan kecepatan sensor sangat penting karena menyangkut kepentingan masyarakat luas. Buku dan barang cetakan lain yang perlu segera dilarang, kata dia, harus cepat diumumkan. Majalah atau koran asing yang harus segera dibaca masyarakat juga mesti cepat diloloskan.
Amanat yang lain? "Pembinaan terhadap watak dan integritas moral penegak hukum adalah lebih tinggi dibanding kemampuan intelektual," ujarnya. Citra kejaksaan yang ia inginkan ialah dapat menyangkal tuduhan selama ini bahwa jaksa adalah oknum yang patut ditakuti—lebih menonjol sebagai penuntut daripada pembela masyarakat dari ancaman kejahatan.
Sebagai penuntut umum, kata dia, pertama-tama jaksa harus dapat menuntut dirinya sendiri. Supaya jak benar-benar berarti "bijak" dan sa adalah "rasa"—bijak dan rasa. "Saya juga menginginkan jaksa tidak mengkomersialkan pekerjaannya, hukum dan keadilan—dengan membuat orang yang salah jadi benar atau sebaliknya."
Seperti rekan seperguruan Perguruan Tinggi Hukum Militer, Mudjono, Ismail menganggap penyelesaian perkara menjadi prioritas. Tak disebutkan setinggi apa perkara-perkara yang menumpuk di kantor-kantor kejaksaan. Perintah pertama kepada para kepala kejaksaan tinggi dari berbagai daerah yang memperkenalkan diri kepadanya juga tentang penyelesaian perkara.
Pelayanan hukum, menurut Ismail, tak boleh ditunda-tunda—menyangkut aspek-aspek kemanusiaan yang tak pantas diabaikan. Konduite pejabat kejaksaan akan diukurnya juga dari keterampilannya menyelesaikan perkara. Cara ini diharapkan dapat mencambuk para jaksa.
Sambil menjabat di Badan Koordinasi Penanaman Modal, sebagai penjabat ketua, bapak dua putri dan seorang putra ini masih tetap sebagai Sekretaris Kabinet (sejak 1978). Dia seorang yang cepat dalam bekerja. Di mana ada ketidakberesan, Presiden mengirimnya sebagai "Mr. Fix-It" (tukang bikin beres). Mayor jenderal ini juga mengecap karier sebagai oditur (1962) di Jakarta sambil kuliah di PTHM. Ia juga pernah bertugas di bidang "penyidikan", yaitu ketika menangani krisis Pertamina. Dengan menjadi Jaksa Agung kini, otomatis Ismail juga bertugas mengendalikan tim anti-penyelundupan, Tim 902, dan mengetuai Tim Pemberantasan Korupsi.
Kedua tim tadi akan terus dimanfaatkan. Dan, "Saya tidak mengadakan tim-tim baru." Sedangkan beberapa perbedaan yang terkadang timbul antara tim-tim yang ada dan instansi semacam Bea dan Cukai serta Opstib tak dinilainya sebagai "benturan". Pengalaman melakukan pendekatan dengan berbagai pihak, semasa menjabat Sekretaris Kabinet, tampaknya akan diatasinya, "Kalau ada yang namanya benturan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo