Pada tanggal 22 November 1993, petugas Yayasan TVRI datang ke rumah saya. Tujuannya menagih iuran televisi. Saya keberatan membayarnya. Oleh petugas yayasan saya diminta membuat surat pernyataan tertulis. Itu saya penuhi. Adapun alasan berkeberatan saya adalah: 1. Karena iuran televisi dipungut oleh Yayasan TVRI berdasarkan Keppres No. 40 tahun 1990 dan Surat Keputusan Menteri Penerangan, bukan berdasarkan undang-undang. Jadi, tak dapat dipaksakan, karena bersifat sukarela. 2. Dulu, pada waktu siaran televisi hanya dilakukan oleh Yayasan TVRI sendiri, saya patuh membayar iuran TV. Sekarang sudah banyak siaran TV swasta seperti RCTI, SCTV, TPI, ANTV, dan mungkin akan ditambah lagi. Belum lagi siaran dari luar negeri yang dapat ditangkap melalui antena parabola dengan cuma- cuma. TV swasta boleh menayangkan iklan untuk mencari dana, sementara TVRI dilarang melakukannya. Itu tidak wajar dan tidak sehat ditinjau dari sudut persaingan. Seolah-olah Yayasan TVRI menghidupi siaran TV swasta belaka. 3. Di negara lain, misalnya negara tetangga kita sesama anggota ASEAN, tak ada iuran televisi. Siaran televisi dibiayai oleh hasil iklan dan subsidi pemerintah. Tidak adil bila kepada rakyat Indonesia yang pemilik pesawat televisi dipungut iuran televisi oleh Yayasan TVRI. Apalagi isi siaran TVRI kebanyakan untuk kepentingan pemerintah dan kepentingan umum. 4. Jika pungutan itu berbentuk pajak dan berdasarkan undang- undang, saya akan membayarnya. Diusulkan: iuran televisi diubah menjadi pajak televisi. Itu kalau memang Pemerintah memerlukan dana dari masyarakat. Tapi pajak televisi harus masuk APBN, dari APBN Pemerintah menyubsidi Yayasan TVRI. Itu sesuai dengan ketentuan Pasal 23 UUD 1945. Dan penggunan dana subsidi harus diawasi oleh BPKP dan BPK. SUHARSONO HADIKUSUMOPensiunan Pegawai Pajak Jalan Pejuangan 2 RT 08/10 KebonJeruk Jakarta Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini