7 Deember yang lalu, penonton balet di Jakarta kedatangan
kafilah "internasional" yang bernama 'The Alexander Roy London
Ballet Theater'. Mereka memainkan beberapa buah nomor di Teater
Terbuka TIM. Didirikan di Paris tahun 1965, rombongan ini main
pertama kali di Inggeris tahun 1967 dan mankal di London.
Sesudah menyaksikan pertunjukan,penonton yang hampir memenuhi
teater dibikin kecewa. Mereka baru sadar bahwa yang dihadapi
bukan rombongan kelas satu sebagaimana Felix Blaska atau Martha
Graham yang juga pernah masuk TIM.
Di bawah ini catatan teknis dan latar belakang oleh Sal
Murgianto, seorang penari penting di TIM yang juga banyak
menulis soal tari:
Penonton hampir memenuhi teater pada malam 7 Desember 1977,
pertanda penggemar balet di Ibukota cukup banyak - walau di
kelas utama lebih separo penonton berkulit putih.
Coppelia, sebuah repertoar yang cukup dikenal mengawali
pertunjukan. Ceritanya: tentang seorang tua pem buat boneka yang
dipermainkan oleh ekelompok anak muda yang mengingini
bonekabohekanya yang mirip manusia. Awal pertunjukan agak kurang
lancar. Penari-penari boneka telah berada di pentas ketika
pengantar acara baru mengucapkan selamat malam, sementara lampu
ruangan belum juga dipadamkan. Juga waktu untuk menunggu musik
pengiring terlampau santai.
Coppelia, yang digarap menurut koreografi Saint Leon (1870),
terlalu berhasrat bercerita. Gerak gestikulasi banyak
dipergunakan, sedang gerak penari boneka sengaja disusun untuk
memancing tawa. Saya kira warna semacam ini sengaja ditonjolkan
grup ini dalam turnya ke Asia Tenggara agar lebih mudah
"berkomunikasi". Kalau dugaan ini benar, asumsi seperti itu
patut disayangkan. Mereka tak tahu justru di dunia Timur
tari-tarian klasik dengan gerak abstrak telah menjadi milik.
Untung saja, walau hanya secuil di tampilkan juga sebuah pas de
deux dari Les Sylphides. Sebuah nomor yang merupakan "ringkasan"
pertunjukan balet klasik. Ini menjadi arena pertunjukan
kebolehan teknik, ekspresi dan juga ketrampilan gerak, baik bagi
primadona maupun penari pria utama - sekalipun malam itu pas de
deux Alexander Roy (sang direktur) dan Cristins Gallea
(primadona) jatuhnya sedang-sedang saja.
Koreografi Alexander Roy sendiri, yang modern, justru lebih
menarik. Terasa ada kesearan dalam Castles In The Air dan
Fasquenade. Juga nomor terakhir, Pasquinade, memperlihatkan
semangat yang lebih dari lainnya. Tetapi penonton sempat dibuat
risau ketika harus menunggu lebih dari 20 menit untuk menantikan
nomor kedua.
Ekstase
Sebagaimana tari klasik kita yan, kebanyakan lahir di
lingkungan istana, balet klasik adalah tarian istana Eropa yang
berkembang turun-temurun.
Gerak balet klasik sendiri mulanya memang berkembang juga dari
sumber kehidupan manusia, hanya kemudian dibesut oleh para ahli
untuk mendapat gerak ideal (elegance of movement and
graciousness).
Kodifikasi akademis ini menjauhi perwujudan ekspresif emosi
manusia dan imitasi alam. Demikian pula ekstase telah sejak
berabad-abad disingkirkan dari estetika balet klasik.
Secara ringkas, gerak balet tidaklah memfokus pada realisme
tetapi idealisme. Inilah sebenarnya yang menjadi landasan tarian
istana baik di Barat maupun di Timur. Bahkan jika misalnya
ditampilkan laku dramatik, impersonifikasinya lebih ke arah
simbolik. Tidak realistis.
Dalam pertumbuhannya mencapai "sistim gerakan ideal" - terutama
setelah menjadi profesional, ruang lingkup diperluas dengan
kemahiran gimnastik, ketrampilan teknik gerak. Teknik tersebut
berkembang berdasar aturan-aturan intelektuil yang bertolak dari
prinsip estetika geometris tanpa mempertimbangkan gerak naluriah
tubuh penari.
Gimnastik
Bertumbuhnya kemampuan gimnastik menyebabkan berkembangnya
perbendaharaan gerak yang baru, yang tetap konsekwen dengan
prinsip-prinsip klasiknya. Kemudian dengan bantuan sarana-sarana
praktis (pentas, kostum, perlampuan dan dekor balet berkembang
menjadi tontonan "spektakuler". Sekalipun demikian, setiap usaha
memasukkan impuls-impuls realistis akan menghancurkan keklasikan
dan keabstrakannya.
Pada abad ke-20 ini wajah balet baik di Eropa maupun di Amerika
memang telah berubah. Tetapi dalam balet manapun, bercerita dan
berlucu-lucu saja jelas belum cukup. Kodifikasi akademis,
teknik, idealisasi, adalah beberapa ciri khas balet, klasik
maupun modern.
Ada baiknya perwakilan negara-negara Barat di Jakarta
mensponsori kedatan8an grup-grup yang lebih baik, agar
sunggunnya kepada kita. Bukankah di Inggeris ada Roal Bullet
yang pernah melahirkan Margot Fonteyn yang legendaris? Nama-nama
seperti Maurice Bejart, Robert Joffrey dan bahkan Martna Graham
dan Marce Cunningham akan cukup meyakinkan -- di samping penari
klasik besar masa kini seperti Nurejev, Barysnikov dan masih
banyak lagi. Sebutan "internasional" sekali-kali tidak berarti
"kulit putin", bukan? Melainkan mutu.
Sal Muiyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini