Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Bercerita dan berlucu-lucu saja ...

"the alexander roy london ballet theater" grup balet yang didirikan di paris dan menetap di london, mengadakan pertunjukan di teater terbuka, tim, dengan membawakan beberapa nomor balet klasik.

24 Desember 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

7 Deember yang lalu, penonton balet di Jakarta kedatangan kafilah "internasional" yang bernama 'The Alexander Roy London Ballet Theater'. Mereka memainkan beberapa buah nomor di Teater Terbuka TIM. Didirikan di Paris tahun 1965, rombongan ini main pertama kali di Inggeris tahun 1967 dan mankal di London. Sesudah menyaksikan pertunjukan,penonton yang hampir memenuhi teater dibikin kecewa. Mereka baru sadar bahwa yang dihadapi bukan rombongan kelas satu sebagaimana Felix Blaska atau Martha Graham yang juga pernah masuk TIM. Di bawah ini catatan teknis dan latar belakang oleh Sal Murgianto, seorang penari penting di TIM yang juga banyak menulis soal tari: Penonton hampir memenuhi teater pada malam 7 Desember 1977, pertanda penggemar balet di Ibukota cukup banyak - walau di kelas utama lebih separo penonton berkulit putih. Coppelia, sebuah repertoar yang cukup dikenal mengawali pertunjukan. Ceritanya: tentang seorang tua pem buat boneka yang dipermainkan oleh ekelompok anak muda yang mengingini bonekabohekanya yang mirip manusia. Awal pertunjukan agak kurang lancar. Penari-penari boneka telah berada di pentas ketika pengantar acara baru mengucapkan selamat malam, sementara lampu ruangan belum juga dipadamkan. Juga waktu untuk menunggu musik pengiring terlampau santai. Coppelia, yang digarap menurut koreografi Saint Leon (1870), terlalu berhasrat bercerita. Gerak gestikulasi banyak dipergunakan, sedang gerak penari boneka sengaja disusun untuk memancing tawa. Saya kira warna semacam ini sengaja ditonjolkan grup ini dalam turnya ke Asia Tenggara agar lebih mudah "berkomunikasi". Kalau dugaan ini benar, asumsi seperti itu patut disayangkan. Mereka tak tahu justru di dunia Timur tari-tarian klasik dengan gerak abstrak telah menjadi milik. Untung saja, walau hanya secuil di tampilkan juga sebuah pas de deux dari Les Sylphides. Sebuah nomor yang merupakan "ringkasan" pertunjukan balet klasik. Ini menjadi arena pertunjukan kebolehan teknik, ekspresi dan juga ketrampilan gerak, baik bagi primadona maupun penari pria utama - sekalipun malam itu pas de deux Alexander Roy (sang direktur) dan Cristins Gallea (primadona) jatuhnya sedang-sedang saja. Koreografi Alexander Roy sendiri, yang modern, justru lebih menarik. Terasa ada kesearan dalam Castles In The Air dan Fasquenade. Juga nomor terakhir, Pasquinade, memperlihatkan semangat yang lebih dari lainnya. Tetapi penonton sempat dibuat risau ketika harus menunggu lebih dari 20 menit untuk menantikan nomor kedua. Ekstase Sebagaimana tari klasik kita yan, kebanyakan lahir di lingkungan istana, balet klasik adalah tarian istana Eropa yang berkembang turun-temurun. Gerak balet klasik sendiri mulanya memang berkembang juga dari sumber kehidupan manusia, hanya kemudian dibesut oleh para ahli untuk mendapat gerak ideal (elegance of movement and graciousness). Kodifikasi akademis ini menjauhi perwujudan ekspresif emosi manusia dan imitasi alam. Demikian pula ekstase telah sejak berabad-abad disingkirkan dari estetika balet klasik. Secara ringkas, gerak balet tidaklah memfokus pada realisme tetapi idealisme. Inilah sebenarnya yang menjadi landasan tarian istana baik di Barat maupun di Timur. Bahkan jika misalnya ditampilkan laku dramatik, impersonifikasinya lebih ke arah simbolik. Tidak realistis. Dalam pertumbuhannya mencapai "sistim gerakan ideal" - terutama setelah menjadi profesional, ruang lingkup diperluas dengan kemahiran gimnastik, ketrampilan teknik gerak. Teknik tersebut berkembang berdasar aturan-aturan intelektuil yang bertolak dari prinsip estetika geometris tanpa mempertimbangkan gerak naluriah tubuh penari. Gimnastik Bertumbuhnya kemampuan gimnastik menyebabkan berkembangnya perbendaharaan gerak yang baru, yang tetap konsekwen dengan prinsip-prinsip klasiknya. Kemudian dengan bantuan sarana-sarana praktis (pentas, kostum, perlampuan dan dekor balet berkembang menjadi tontonan "spektakuler". Sekalipun demikian, setiap usaha memasukkan impuls-impuls realistis akan menghancurkan keklasikan dan keabstrakannya. Pada abad ke-20 ini wajah balet baik di Eropa maupun di Amerika memang telah berubah. Tetapi dalam balet manapun, bercerita dan berlucu-lucu saja jelas belum cukup. Kodifikasi akademis, teknik, idealisasi, adalah beberapa ciri khas balet, klasik maupun modern. Ada baiknya perwakilan negara-negara Barat di Jakarta mensponsori kedatan8an grup-grup yang lebih baik, agar sunggunnya kepada kita. Bukankah di Inggeris ada Roal Bullet yang pernah melahirkan Margot Fonteyn yang legendaris? Nama-nama seperti Maurice Bejart, Robert Joffrey dan bahkan Martna Graham dan Marce Cunningham akan cukup meyakinkan -- di samping penari klasik besar masa kini seperti Nurejev, Barysnikov dan masih banyak lagi. Sebutan "internasional" sekali-kali tidak berarti "kulit putin", bukan? Melainkan mutu. Sal Muiyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus