YOGYAKARTA beruntung dalam Festival Tari Rakyat Tingkat
Nasional 1977. Festival pertama ini diselenggarakan Departemen
P&K, diikuti 20 propinsi. Hanya Kalimantan Tengah, Sulawesi
Tengan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, NTT, dan Timor
Timur yang tidak ikut. Alasan mereka sangat teknis. "Jadi bukan
karena tak punya tari rakyat," kata Parmiadi dari Humas P&K.
Dedengkot-dedengkot yang dipasang sebagai juri adalah SD
Hulmardani, Sudarsono, D. Djajakusuma, Suwandono, Mamang
Suriaatmadja dan Amir. Ketuanya A.P. Suhastjarjo. Tapi mereka
hanya menyeleksi suara-suara yang sengaja dipungut dari
penonton, untuk menentukan pemenang. Piala tunggal dari Menteri
P&K Syarif Thayeb, yang akhirnya dibawa ke Yogya, agak
disayangkan oleh beberapa orang. Ketua Juri malah berpendapat
penilaian langsung dari penonton sebenarnya kurang adil. "Dari
mana mungkin masing-masing tari yang berlainan dinilai menurut
baik-buruknya?"
Tari Tayub
Yogyakarta membawa nolnor keserlian rakyat 'Badui', yang hidup
di Kabupaten Sleman dan sekitarnya (TEMPO 12 Nopember 1977).
Mereka menjelaskan teater ini berasal dari Arab diimpor
nenek moyang kita yang pernah tetirah ke sana dan diberi
kepribadian kita sendiri. Temanya tentang sekelompok perajurit
yang mengadakan latihan perang. Digiring oleh 3 buah terbang
genjring, sebuah jedor, sebuah tambur serta sejumlah vokalis
yang menyanyikan ayat-ayat tertentu dari Pitab Qur'an.
14 orang penari Badui itu tampak di Senayan, di mana kegiatan
berlangsung tanggal 28 s/d 30 Nopember lalu. Sebagai peserta
terakhir, rombongan Yogya telah berhasil mendapat tepuk tangan
gegap gempita. Ini sudah pertanda para penonton akan
menobatkannya sebagai juara. Ia dianggap meraih prestasi dalam
penampilan yang bersifat edukatif. Sementara juri bisik-bisik:
pesta yang menggembirakan itu sebenarnya agak berbeda dengan
temanya. Betul menggembirakan, tetapi yang diadu sebenarnya
banyak bukan tari rakyat, tapi tari klasik.
Bagaimana dengan Yogyakarta. Apa ini tari rakyat? Mereka
menampilkan kostum seperti Cerita 1001 Malam. Seorang penonton
langsung teringat cerita Abunawas, meski mereka juga pakai kain
batik yang dililitkan di pinggul. Yang lucu, kelihatan
barangkali kaos kaki mereka yang putih-putih, sementara di
tangan tergenggam tongkat pendek sebagai senjata.
Tari ini kabarnya memang berkembang subur dalam masyarakat. Di
tempatnya kini, ia tetap ditanggap terus kalau orang lagi hajat
atau pada hari-hari besar. Jadi bukannya seperti tari Joged
Pinggitan dari Bali yang mulgkin tidak populer lagi (yang
populer Joged Bumbung) Ketua juri sempat bilang kepada TEMPO:
kalau ia boleh mengatakan seleranya, yang menang adalah peerta
Jawa Tengah, yang membawakan Tari Tayub. Barangkali terlepas
dari kenyataan bahwa Tari Badui itu juga salahsatu tarian rakyat
Yogya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini