Pada Juni 1992, Muspika Kecamatan Malinau berserta rombongan dari Departemen Transmigrasi Kalimantan Timur mendatangi warga Tanjungkeranjang, Desa Malinau, Kecamatan Malinau. Mereka menyatakan, antara RT VI Tanjungkeranjang dan pusat Kecamatan Malinau akan dibangun lokasi transmigrasi untuk 250 unit rumah. Masyarakat, pada saat itu, bersedia melepaskan tanah adat dengan kompensasi 13 kepala keluarga RT Tanjungkeranjang dimasukkan dalam program transmigrasi. Memang, pembicaraan saat itu belum mencapai kata sepakat. Soalnya, tak semua warga yang berhak atas tanah tempat lokasi transmigrasi hadir pada saat itu. Menurut rencana, pada Agustus 1992. Tapi rombongan tak kunjung muncul. Tiba-tiba, setahun kemudian (Juli 1993), penggarapan lokasi transmigrasi yang direncanakan disiapkan. Untuk tahap pertama dibangun 100 buah unit rumah. Masyarakat, yang tanahnya terkena proyek menagih janji. Ketika warga bertanya tentang lokasi 13 unit rumah untuk mereka, Camat Malinau menjawab bahwa lokasi transmigrasi ini tak diperuntukkan bagi warga setempat. Masyarakat jadi resah dan kecewa. Tanah adat, sepanjang 2 km, yang dipakai sebagai kebun cokelat dan buah-buahan oleh penduduk, kini dibabat dan dibakar. Kami, masyarakat kecil, jadi heran. Mengapa kami jadi korban pembangunan? Mengapa kasus seperti Kedungombo, Badega, Cimacan, juga menimpa kami di pedalaman Kalimantan Timur? Kami mohon agar pihak yang berwenang menangani masalah transmigrasi di Tanjungkeranjang bersikap arif, sehingga pembangunan mencapai sasaran. Nama dan alamat pada Redaksi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini