"LIPUT berita sampai ke negeri Cina." Itulah pemeo baru wartawan sejak Cina kembali menurunkan "tirai bambu" di seantero negeri. Ketika semua wartawan asing diperintahkan meninggalkan negeri itu (terakhir yang angkat kaki dari Cina adalah John Pomfret dari AP dan wartawan VOA, Allan Pessin) koresponden TEMPO Richard Ehrlich, 37 tahun, tak termasuk yang terkena ultimatum. Karena itu ia buru-buru melepas seluruh atribut wartawannya. "Kalau saya ketangkap, saya bisa bilang turis gembel," katanya. Cina bagi Ehrlich, yang tiba di Beijing, awal Juni, sehari setelah tentara melakukan pembersihan terhadap demonstran di Lapangan Tiananmen, sebetulnya bukan negeri yang asing. Ia sudah berulang kali bolak-balik ke sana selama tujuh tahun terakhir. Tak heran bila Ehrlich, yang sehari-hari bertugas di Bangkok, gampang mendapatkan visa dari kantor perwakilan Cina di Hongkong. Kesulitan justru ditemuinya setiba di Beijing. Hotel Beijing yang strategis untuk memantau perkembangan dl Tiananmen sudah dikelilingi tentara. Terpaksa Ehrlich menginap di Hotel Jianguo, yang terletak di daerah diplomat asing, di Jalan Raya Changan. Ketika tentara menduduki lapangan olahraga di seberang Hotel Jianguo, Ehrlich diminta asisten manajer hotel pindah kamar ke belakang. "Mereka pasti menembaki kamarmu dan menghancurkan hotel ini bila melihat lampu kamar menyala malam hari," ujarnya. Tentara Cina memang tak main-main. Mereka memandang curiga setiap orang asing yang berkeliaran di jalan-jalan. Mereka tak segan-segan menembak atau menahan wartawan asing yang ketahuan mewawancarai penduduk atau mengambil gambar mereka. "Tak ada kesan ramah seperti yang pernah saya jumpai pada tentara Afghanistan," ujar Ehrlich, yang mengirim laporan penarikan mundur tentara Uni Soviet dari Kabul, Februari lalu. Rasa takut tak cuma menyelimuti orang asing, tetapi juga penduduk. Mereka tak lagi berani bicara atau dekat-dekat dengan orang asing. "Persis seperti yang digambarkan George Orwell dalam buku 1984. Di mana-mana kamera video siap mengawasi gerak-gerik masyarakat yang mulutnya terbungkam," tambahnya. Ehrlich, yang fasih berbahasa Mandarin, Hindi dan Spanyol, mulai membantu TEMPO, awal 1988, sewaktu berkantor di New Delhi. Dalam tempo satu setengah tahun laporannya banyak sudah dimuat dalam rubrik Luar Negeri. Bahkan laporan dari Kabul kami angkat jadi Laporan Utama. Ketika meliput Afghanistan, Ehrlich, yang baru melakukan perjalanan panjang dari Kabul ke Charikar, ditangkap tentara Afghan. Tapi, "saya bisa melarikan diri," ujar alumnus Sekolah Jurnalistik pada Columbia University itu Amerika Serikat. Di Cina, Ehrlich, yang dilahirkan di New York City, untuk sementara masih aman-aman saja, dan tetap mengirimkan bahan tulisan. Laporan kami tentang Cina selama tiga pekan terakhir sebagian besar adalah sumbangan Ehrlich dari Beijing. Juga laporan tentang situasi terakhir Cina seperti Anda baca minggu ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini