TEMPO telah menampilkan beberapa tulisan dalam rubrik Memoar. Pada 27 Mei 1989, TEMPO memunculkan rubrik tak tetap itu dengan tokoh senior, yakni Prof. Mr. Sunario. Ia tokoh yang terlibat langsung dengan Konperensi Asia-Afrika. Ia tokoh nasionalis seperti terungkap dalam memoarnya itu. Yang menarik dalam Memoar TEMPO itu adalah dua pernyataan Prof. Sunario. "Saya ini sarjana hukum. Jangan bicara kalau tidak ada bukti." Dan kedua, mengenai sejarah, dia berkomentar, "Sejarah sekarang kurang akurat." Sehubungan dengan dua pernyataan itu, saya ingin berkomentar sekitar peci seperti dikatakan jelas Prof. Sunario. Peci, katanya, pada dirinya karena nasionalis, bukan karena Islam. Nah, sekarang kita sebaiknya berbicara yang ada bukti dan sejarahnya. Harus diakui, sebelum Islam masuk Indonesia, ikat kepala yang bernama blangkon bagi orang Jawa atau nama lainnya bagi orang luar Jawa telah ada. Kenyataan ini membuktikan, ikat kepala di Indonesia tidak seragam. Timbul pertanyaan, bukankah tutup kepala itu menjadi seragam setelah Islam hadir di Indonesia? Jadi, seandainya Islam tidak masuk ke Indonesia akankah kita temui bentuk peci semacam yang dipakai Prof. Sunario atau yang banyak kita temukan sekarang? Seyogyanya, sebagai seorang Islam, walaupun dirinya nasionalis dan lebih-lebih intelektual lulusan fakultas hukum, Prof. Sunario harus mengakui kebesaran Islam. Yakni, dengan peci yang kecil itu Islam telah berhasil menyatukan bangsa Indonesia dan membentuk sebuah paham: nasionalisme. Nasionalisme Islam bukan terkait dengan daerah atau kekaguman pada keindahan alam yang akan menjadikan chauvinisme. Melainkan nasionalisme yang mencari ridla Allah. Nasionalisme dalam Islam tidak ke Barat atau ke Timur, melainkan menghadapkan wajah kepada Allah semata. Di sekitar pembatalan Uni Indonesia-Belanda dengan nada bangga Prof. Sunario mengatakan bahwa pembatalan itu terjadi waktu dia menjadi menlu. Nah, kembali kita harus berbicara dengan bukti dan kenyataan sejarah. Untuk membuat sejarah akurat dan diketahui generasi sekarang, sebaiknya cerita tersebut jangan terpotong begitu saja. Sehingga dapat mengaburkan sejarah. Sebelum Mr. Sunario menjadi menlu, ada sebuah kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Mr. Burhanuddin Harahap (almarhum). Perdana menteri ini menelurkan sejarah utama, yaitu menyelenggarakan pemilu pertama pada 1955. Selain prestasi gemilang itu, sewaktu kemelut Irian Barat (kini Irian Jaya) dengan berani ia membatalkan perjanjian Indonesia-Belanda secara sepihak. Menlunya sekarang masih dikaruniai usia panjang, yaitu Mr. Anak Agung Gde Agung. Ia dapat berbicara banyak. Oh ya, kapan Mr. Anak Agung Gde Agung dimemoarkan? Tetapi pada waktu itu Soekarno, sebagai presiden, tidak memberikan tanda tangannya, dengan alasan menunggu pemerintahan baru hasil pemilu 1955. Dan kebetulan Mr. Sunario yang menjadi menlu. Kabinet baru ini dikenal dengan Kabinet Ali-Rumldham, kabinet terakhir di zaman pemerintahan parlementer. Kalau benar-benar ingin mendapatkan data akurat dalam sejarah, sebaiknya penyumbang Memoar tak berbicara sepotong-sepotong, yang akhirnya membuat lingkaran setan bagi generasi baru. Akibatnya, kita akan memiliki generasi bodoh. Sedang TEMPO dengan Memoar-nya berharap banyak, yaitu si pelaku sejarah mengatakan yang benar dan yang salah secara gamblang. Contohnya, Memoar dari Prof. Slamet Iman Santoso (TEMPO, 27 April 1989), yang enak dan menggelitik. MAS BILAL Jalan Straudga 3 Dwikora, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini