SENIN pekan ini, tatkala menyampaikan jawaban Pemerintah atas pemandangan umum fraksi-fraksi mengenai RUU-PA seminggu sebelumnya, Menteri Agama Munawir Sjadzali mengatakan hahwa lahirnya RUU-PA itu merupakan kehendak sejarah. "Maka. terimalah RUU-PA itu dengan lapang dada," ujarnya. Lapang dada. Tampaknya inilah kata kunci dalam diskusi mengenai RUU-PA ini. Mungkin sikap itulah yang menyebabkan silang pendapat yang terjadi selama ini dilakukan tanpa saling pelotot sembari menggebrak meja. Maka, di DPR, misalnya, dalam pemandangan umum sejak Senin pekan lalu, kecuali F-PDI yang tampak masih sedikit "ngotot", semua fraksi secara eksplisit setuju dengan RUU ini. Tak adanya gejolak yang merisaukan di DPR bisa jadi merupakan pertanda semakin dewasanya kehidupan berpolitik di Indonesia. Toh itu bukan berarti perbedaan pendapat tak ada sama sekali. Di dalam tubuh Fraksi Karya Pembangunan (F-KP), misalnya, di bawah permukaan, ternyata suasana perdebatan cukup hangat sebelum Fraksi Beringin itu menyampaikan pandangan umum. Pembicaraan pertama tentang RUU-PA terjadi 22 Maret lalu antara DPP Golkar dan F-KP. Ketika itu disepakati akan dibentuk tim sembilan orang -- lima dari F-KP dan empat dari DPP. Tim bertugas menelaah dan menghimpun pendapat-pendapat tentang RUU-PA. Hasil inventarisasi masalah yang berupa konsep-konsep alternatif itu akan diberikan ke DPP Golkar sebagai masukan. Tim RUU-PA ini mengadakan rapat pertama pada 13 April lalu. Sejak awal, pada rapat yang dipimpin oleh A.E. Manihuruk itu, sudah terlihat ada ganjalan. Pihak F-KP menanyakan status dan tujuan rapat tersebut. Utusan F-KP itu menanyakan: katanya kedatangan mereka untuk membentuk tim. Mana tim yang akan dibentuk itu? Dari DPP yang semula disepakati akan hadir empat orang, ternyata hadir sepuluh orang. Manihuruk menjelaskan bahwa rapat itu bebas. Pro dan kontra boleh, tapi terbatas dalam ruang rapat itu saja. Tujuannya, kata Manihuruk, mencari jalan agar pandangan umum tentang RUU-PA oleh F-KP berjalan lancar. Hadirin sepakat. Problem yang dilemparkan adalah bahwa RUU-PA itu harus mengacu pada Ketepatan MPR 1973 tentang Wawasan Nusantara, yang antara lain menyebutkan Kepulauan Nusantara merupakan satu kesatuan hukum. Sementara itu, RUU ini dibuat untuk melaksanakan UU Nomor 14 Tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman. Dan RUU-PA ini hanya akan mengatur kedudukan dan wewenang peradilan agama. Berbagai pendapat pun mengalir. Ada yang menganggap UU Nomor 14/1970 itu sudah ketinggalan. Jadi, mungkin peradilan agama bisa disatukan dengan peradilan umum saja. Pendapat lain memandang kalau seperangkat hukum agama Islam diberlakukan, dari sudut wawasan hukum secara nasional itu sudah merupakan usaha merealisasikan "Piagam Jakarta". Pada rapat pertama itu Manihuruk menginventarisasikan tiga hal. Pertama, RUU-PA merupakan pelaksanaan UU Nomor 14/1970. Kedua, PA sudah ada meskipun penamaannya masih bermacam-macam. Ketiga, apakah dengan RUU-PA ini kita masih konsisten dengan gagasan-gagasan nasional. Suasana makin hangat ketika seorang dari kelompok muda DPP menanyakan latar belakang konscptor RUU-PA ini. Dua anggota senior tak setuju hal tersebut dipermasalahkan. Akhirnya, rapat dibubarkan. Rapat kedua yang berlangsung 17 April 1989 di DPR juga berlangsung alot. Pasalnya, lima anggota F-KP tetap menanyakan kapan tim sembilan dibentuk, siapa ketuanya, dan kapan rapatnya. Sementara itu, anggota DPP yang hadir hertambah satu dengan Prof. Padmo Wahjono, anggota Kelompok Kerja Politik DPP Golkar. Manihuruk menjawab, tim yang dibentuk adalah mereka yang hadir pada rapat kedua itu. Inne Erna Adriana Soekaryo, Ketua Koordinator Bidang Kesra F-KP, yang mendampingi lima anggota F-KP itu, langsung menjawab, "Kalau begitu, saya dan teman-teman (F-KP) minta izin untuk diam selama rapat." Manihuruk kabarnya sempat marah mendengar jawaban Inne. Ada dugaan, F-KP sengaja mengambil sikap itu karena F-KP belum punya sikap terhadap RUU-PA. Yang ada, kata sebuah sumber TEMPO, hanyalah pendapat Koordinator Kesra dan Koordinator Polkam. Kedua koordinator itu memang ditugasi F-KP mengadakan telaahan terhadap RUU-PA. Namun, ketika itu, mereka belum memadukan hasil kerja masing-masing. Yang membuat kisruh adalah beredarnya hasil kerja Koordinator Polkam, yang berbentuk makalah 17 halaman dan diberi judul "Pokok-Pokok Pikiran Fraksi Karya Pembangunan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Peradilan Agama". Isinya, meminta agar RUU ditinjau kembali karena menimbulkan dualisme dalam peradilan di Indonesia. Yakni, peradilan negara yang menerapkan hukum negara berdasarkan Pancasila dan UUD 45, serta peradilan agama yang menegakkan hukum Islam. Untung saja, DPP Golkar cepat bertindak. Dalam sebuah rapat yang dipimpin Ketua Umum Golkar Wahono, makalah tersebut dinyatakan tak pernah ada. Lalu bagaimana rapat yang dipimpin Manihuruk tadi? Karena mengalami jalan buntu, urusan pembahasan RUU-PA itu diserahkan kepada Ketua Umum. Akhirnya, hasil kerja Korbid Kesra dan Polkam itu disatukan, dikonsltasikan dengan DPP, dan menghasilkan apa yang disampaikan F-KP dalam pemandangan umum pekan lalu. Yaitu, menerima RUU-PA dengan mengajukan pertanyaan dan saran atas sembilan point yang dirasakan perlu dalam RUU itu. Friksi semacam itu tak cuma terjadi di Golkar. F-PDI juga mengalaminya. Kabarnya ada kelompok Djupri, Ketua Tim Intern F-PDI, tentang masalah RUU-PA ini, yang setuju dengan diberlakukannya RUU-PA, dan kelompok Soerjadi-Nico yang rupanya belum "sreg" menerima RUU-PA. Pandangan Soerjadi-Nico inilah yang kemudian muncul di pandangan umum F-PDI di DPR. Sementara itu F-ABRI menerima RUU-PA dan sama sekali tak melihat RUU-PA merupakan gejala penerapan Piagam Jakarta. Yang paling "adem-ayem" kali ini memang F-PP -- yang paling lantang menyuarakan kata "setuju" atas RUU-PA itu.Toriq Hadad, Rustam F. Mandayun, dan T.B. Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini