ADA seorang hansip. Ia ditahan karena suatu pelanggaran, yang menyebabkan penduduk protes. Jika berita seperti itu dimuat dalam sebuah media massa, misalnya majalah ini, bagaimana penilaian Anda: ini berita yang menampilkan hal positif atau hal yang negatif? Ternyata, bisa ada dua opini. Pendapat pertama: itu berita menampilkan hal yang negatif. Sebab, menambah buruk citra petugas hansip. Lagi pula, kenapa hanya berani bicara soal pelanggaran hansip - mentang-mentang mereka orang kecil dan tak kuasa? Pendapat kedua: berita itu positif. Alasannya: di sana tergambar sebuah kasus, bagaimana sistem sosial-politik Indonesia mampu memperbaiki kekurangan-kekurangannya sendiri. Pelanggaran ternyata tak dibiarkan. Penduduk ternyata didengarkan keluhannya. Memang, ini "hanya" menyangkut hansip. Tapi justru hansip itulah yang langsung, dan sehari-hari, berhubungan dengan rakyat banyak yang kecil-kecil. SIAPA yang benar di antara kedua pendapat itu? Jika pertanyaan ini dilontarkan masyarakat luas, agaknya sulit memperoleh jawaban yang final. Sebab, membaca sebuah berita tidak selamanya memang bebas dari perasaan dan kepentingan sepihak. Beberapa waktu yang lalu ada sebuah diskusi tentang peranan pers. Seorang pembicara mengkritik bahwa pers cenderung hanya menulis berita-berita buruk, dan tak mempedulikan berita baik. Benarkah? Di satu pihak memang diakui, ada tendensi pers untuk menganggap bahwa berita baik itu bukan "berita". Tapi di pihak lain, memang tidak mudah menentukan dengan cepat dan tepat apa yang bisa disebut "berita baik". Misalnya pertanyaan kongkret: Berita jatuhnya Syah Iran itu termasuk berita "baik" atau berita "buruk"? Pertanyaan itu tak mudah dijawab. Mungkin soalnya karena bergantung pada kaca mata yang kita pakai waktu membaca. *** TEMPO sendiri tidak pernah beranggapan, good news is no news, bahwa kabar baik tak layak ditulis sebagai berita. Pembaca yang tanpa prasangka dapat melihat, misalnya, berita di rubrik Ilmu & Teknologi: banyak sekali penemuan bangsa Indonesia ditampilkan di sana. Bagi kami, berita itu benar-benar layak sebagai berita karena dinegeri yang cenderung dicemoohkan ini, ternyata, banyak prestasi teknologi dan keilmuan yang dicapai, betapapun sederhana. Justru kesederhanaan itu menunjukkan kemampuan kita secara kreatif menyesuaikan diri dengan kondisi yang ada. Begitu pula berita kegiatan oleh swasta di rubrik Ekonomi & Bisnis. Ia melukiskan hidupnya sektor ini biarpun tak selamanya cemerlang. Begitu pula cerita kami tentang hal-hal baru yang bermanfaat yang dilakukan pemerintah, baik di bidang Hankam maupun Pendidikan, misalnya. Tapi tentu sebuah media tak bisa melulu bercerita berita "baik". Masyarakat ini bukan surga, tanpa cacat. Hanya orang komunis dan kaum fanatik lain yang percaya adanya surga di negeri mereka. Jadi, selalu ada ketidaksempurnaan. Cerita kami tentang keputusan presiden tentang birokrasi di pelabuhan misalnya adalah cerita "berita gembira" bagi usahawan. Tapi jika pekan berikutnya dikisahkan ada yang belum beres dalam pelaksanaannya, apakah "berita gembira" itu harus dianggap tidak pernah ada? Memang, sebuah berita bisa dibaca (dan dikutip) untuk macam-macam tujuan. Kadang bahkan untuk tujuan sepihak yang sempit. Tapi membaca sebuah majalah itu ibarat memandang seorang wanita: Enak atau tidak enak itu bukan ditentukan oleh bagian-bagiannya, melainkan oleh keseluruhannya. Itulah yang disebut Gestalt dalam ilmu psikologi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini